2.b

145 5 0
                                    

Bibirnya bergetar, giginya menghasilkan suara gemerutuk pelan, mengisyaratkan bahwa gadis itu sedang disergap ketakutan. Mesa terus memainkan jari-jemarinya untuk sedikit mengusir rasa takut bercampur kalut. Dia sedang diinterogasi oleh mamanya di ruang keluarga ini.

"Kenapa kemarin malam kamu tidak ada di kamar?"

"Mama ... tahu dari mana?" tanya Mesa mencoba biasa saja.

Sebenarnya ia heran. Mama baru pulang dari luar kota tadi sore. Dan yang mengetahui perkara besar ini hanya dirinya-Mesa tidak memberitahukan hal ini pada siapa pun. Lalu kenapa mama bisa tahu kalau tadi malam ia pergi?

"Mama tahu dari Misa."

Netra Mesa melebar sedetik. Astaga, ternyata si Misa yang ngasih tahu? Sialan! Kenapa gue bisa lupa kalo dia ada di rumah ini? Bodoh!

Saat Mesa diam, tidak menjawab pertanyaan mama barusan dan malah melamun, Misa pun menegur halus. "Mesa, Mama tanya sama kamu tuh."

Mesa tersentak kaget. "Ah! Iya. Mama nanya apa, Ma?"

"Kamu menginap di rumah teman?"

"I ... iya. Aku nginep."

Jawaban Mesa membuat beliau menghela lega. "Syukurlah. Kamu tidak ke klub malam 'kan?"

"Iya."

"Iya?!"

Mesa jadi gugup saat nada bicara mamanya meninggi, ditambah posisi duduk wanita itu yang menegak. "Maksud aku ... iya, aku gak ke klub."

Mama mengembus pelan. "Hah ... kamu membuat jantung Mama hampir copot, Me. Tapi ... kenapa wajahmu sangat pucat?"

"Masa sih, Ma?"

"Iya. Kamu sedang sakit?"

"Hm, demam sedikit." Mesa mengusap lengannya.

"Kamu deman, Me? Aku ambilin obat ya?"

Mesa hanya mengangguk dengan tawaran saudara kembarnya. Misa pun segera mengambilkan obat demam untuk Mesa. Gadis yang mengenakan jilbab merah marun itu memang selalu perhatian dan peduli pada adiknya.

"Ya sudah, Me. Sana istirahat di kamar kalau kamu tidak enak badan."

Mendengar titah mama, Mesa mengangkat kepala. Memandang wanita yang telah melahirkannya dengan tatapan sulit diartikan. "Apa Mama peduli?"

Sukma mengernyit dengan pertanyaan anaknya. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

"Gak pa-pa." Mesa bangkit dari duduk. Berniat pergi ke kamar dan mengurung diri di sana.

"Tidak ada mama yang tidak peduli pada anaknya, Mesa."

Mesa mendengar kalimat itu terucap dari mama sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan ruang keluarga. Kenapa dadanya mendadak sakit dan sesak?

🌼🌼🌼

Misa masuk ke dalam kamar saudara kembarnya setelah mendapat izin. Gadis itu menaruh penampan berisi obat dan segelas air mineral di nakas samping tempat tidur. Ia lalu duduk di pinggir ranjang sambil memandang Mesa yang terlihat lebih kacau dari biasanya.

"Obatnya diminum, Me."

"Nanti."

Misa tersenyum. "Kamu harus minum obat sekarang, biar panas kamu turun. Aku bantu ya?"

"Gue bukan anak kecil!"

Astaghfirullah .... Misa terus beristighfar dalam hati saat menghadapi Mesa yang sangat kasar dan tak acuh. Dengan lembut nan sabar, ia bertanya, "Kamu baik-baik aja, Me? Sejak aku pulang kuliah tadi, kamu kelihatan murung terus. Kenapa?"

Mesa tidak menjawab, gadis itu malah terdiam dengan tatapan kosong ke depan. Terlihat benar-benar kacau dan memprihatinkan, dia seperti raga tanpa nyawa. Membuat Misa mendadak cemas. "Mesa, kamu lagi ada masalah? Kalau iya, cerita sama aku. Jangan dipendam sendiri. Aku bisa jadi pendengar yang baik kalau kamu lagi punya masalah kok, Me."

"Bukannya setiap hari gue punya masalah?" tanya Mesa balik. Tatapannya yang mengarah pada Misa berubah sinis dan penuh kebencian.

"Ya, aku tahu, semua orang pasti punya masalah, selalu. Bahkan dari hidup sampai mati. Tapi, nggak mungkin setiap hari, Me." Misa menjeda tiga detik. "Dan ... kenapa tadi kamu bohong sama Mama?"

"Bohong ataupun nggak itu bukan urusan lo!" tandas Mesa tajam sambil menantang lawan bicaranya.

Misa menghela napas. Sudah biasa ia mendapat perlakuan tak enak dari Mesa. Namun Misa tak pernah marah ataupun membencinya. Ia berusaha untuk terus menasehati dan mengingatkan Mesa dengan cara yang baik, sekalipun Mesa tidak pernah mengindahkannya.

"Tentu saja urusan aku, Mesa. Kamu itu adik aku. Sudah seharusnya aku mengingatkan kamu saat kamu salah, menasihati kamu agar kamu tidak melakukan kesalahan yang sama. Oke. Bohong, mungkin hal yang sepele. Tapi apa kamu gak mikirin dampaknya? Aku yakin, kamu tahu kalau bohong itu gak baik. Tuhan dan Rasul kita bahkan melarang kita untuk berbohong."

Misa memberikan pengertian sebisa mungkin, berharap Mesa mendengarkannya, kali ini saja. "Me, sekalinya berbohong seterusnya pasti akan tetap berbohong, karena menutupi satu kebohongan dengan kebohongan yang lain. Aku gak mau kamu kayak gitu. Meski berat, mengatakan hal yang sebenarnya itu jauh lebih baik daripada harus bohong."

Mendengar semua penjelasan Misa yang sama sekali tidak Mesa butuhkan, Mesa tersenyum sinis. Tangannya bersidekap dan menghadap kembarannya angkuh. "Gue bosen denger ocehan lo, semuanya omong kosong! Lo bisa tutup pintunya setelah lo keluar!"

"Mesa ..." lirih Misa saat kembarannya mengusir secara halus. "Apa pun alasannya, aku mohon kamu jangan pergi ke bar lagi. Cukup kemarin malam aja."

"Lo tahu dari mana kalo gue pergi ke bar?" sergap Mesa sedikit penasaran.

Untuk pertama kalinya dia ketahuan pergi ke klub malam oleh orang serumah. Selama ini keluarganya tidak ada yang tahu kalau ia sering dugem.

"Aku tahu dari Doni, temen kuliah aku."

Napas Mesa mendengkus kasar mendengar nama yang barusan disebut. Sial, awas aja lo Doni!

🌼🌼🌼

Jangan lupa komen yaaa

Dear, Pelengkap ImanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang