Jakarta

64 4 0
                                    

Edelweis terbangun disebuah ruangan kecil yang sedikit kusam. Apakah ini Bandung. Tanyanya. Ah, bukan, ini Jakarta.

Dengan susah payah, ia meraih jam yang berada disamping tempat tidurnya, pukul 03.00 pagi. Ia segera bangun, sambil mengumpulkan sisa tenaga untuk bangkit.

Sebuah sajadah terhampar dengan indah didalam sebuah kamar berukuran kecil itu. Diikuti seseorang yang tengah menghamba kepada Tuhan-nya. Betapa syahdu terasa pada pagi ini. Dimana pun tempat dan waktunya, menghamba kepada Tuhan itu sama rasanya. Tenang, tentram, dan juga syahdu. Apalagi untuk perempuan penyuka pagi yang satu ini. Katanya, pagi selalu memiliki ke-syahduan tersendiri, yang sayang untuk dilewati. Makannya, ia sangat menyukai pagi, karena pagi, selalu membawa dan mengawali sebuah cerita yang akan dinikmati.

Selepas ia bercengkrama dengan Tuhan-nya, secangkir kopi pun tengah diracik olehnya. Ayah tuh suka banget kopi hitam tanpa gula. Katanya. Kopi tersebut ia racik untuk sang ayah yang sedang duduk diteras sambil membaca koran.

“Buat ayah.” katanya dengan nada ceria khas Edelweis.

“Waduh, rajin banget sih anak ayah ini, pagi-pagi udah siapin kopi untuk ayahnya.” Balas sang ayah yang tak kalah cerianya.

“Hehehe.. iya dong, silakan dinikmati kopinya.”

Hening sejenak. Edelweis sedang menikmati suasana Jakarta, tempat barunya tinggal, sementara sang ayah sedang sibuk membaca koran. Edelweis mencoba mengamati sang ayah yang sedari tadi sibuk dengan korannya, koran dalam genggaman ayahnhya itu, sesekali dibaca, lalu berganti halaman lagi, begitu seterusnya. Karena merasa penasaran, akhirnya Edelweis bertanya.

“Ayah baca apa sih? Dari tadi Edel didiemin aja” tanya putrinya yang sedikit gemas.

“Ya ampun.. sampe lupa nih ayah”

“Tuh kan” Edelweis memasang wajah cemberut.

“Ayah lagi cari-cari lowongan pekerjaan nak, kita butuh biaya untuk hidup disini, apalagi ini ibu kota. Lagian uang tabungan kita hanya cukup untuk satu minggu ke depan saja, itu pun belum tentu”
Edelweis terdiam.

“Ayah juga akan cari sekolah yang cocok untuk kamu.”

Edelweis tersenyum, menatap sang ayah yang sangat dicintainya itu. begitu juga sang ayah, ia sangat mencintai putrid satu-satunya itu. Semua, akan dilakukan demi kebahagiaan putrinya, apapun itu. Edelweis memeluk erat ayahnya, ayahnya pun membalas pelukan itu dengan tak kalah eratnya.

Dinginnya pagi kala itu, tak lagi terasa dingin bagi Edelweis. Pelukan ayahnya sudah membuatnya kian terasa hangat. Bagi perempuan penyuka pagi itu, maka pagi ini adalah pagi yang sempurna. Ia berharap, semoga hari-hari yang akan ia dan ayahnya jalani, akan terus lebih baik seterusnya.

***

Mentari bersinar terang membakar siang. Edelweis diminta ayahnhya untuk membeli bahan makanan untuk dimasaknya nanti sore.

Sementara itu, ayahnya sedang tidak di rumah karena hendak mencari lowongan pekerjaan yang sedari tadi dibacanya dikoran. Ke Pasar siang-siang, mana ada sayuran seger jam segini, duh. Keluhnya.

Edelweis sudah terbiasa dengan suasana pasar Jakarta, ia pun sudah hampir hafal letak-letak tempat sayuran, buah, dan juga lauk-pauk. Bukan karena ia pernah tinggal di Jakarta, tetapi sewaktu dirinya tinggal di Bandung, ia sering ikut jualan sayuran bersama Mang Rudi, tetangganya di Bandung. Jadi, soal belanja disini, ia sudah hafal betul letak-letaknya, tak khawatir lagi nyasar.

Edelweis berjalan menyusuri gang rumahnya dibawah terik sang mentari. Walaupun sesekali sedikit menggerutu kesal karena terkadang selama perjalananya itu, ada beberapa laki-laki yang menggodanya.

Secantik Edelweis (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang