Awal Mula Sebuah Kisah

31 2 0
                                    

Gemerlap berganti hembusan angin dini hari
Hangat.. membelai sebuah tragedi
Begitu tenang namun sisakan sesak yang perlahan terasa nyeri
ia.. memeluk tubuhnya seorang diri

Diantara sebuah ingatan yang menjajah otak
Serta beberapa suara yang dipaksa bungkam padahal ingin sekali terkuak
Ia.. memilih menengadah kedua telapak
Membawa serpih sayap-sayap yang dipaksa mengepak

Ada apa duhai tuan?
Jika saja dinding-dinding kamar itu dapat bicara
Sudah ia ajak diskusi di setiap malam yang membuatnya terjaga

Ia.. memang tak pandai mengatur rupa
Tak pandai pula mengolah rasa

Diantara semua luka yang dibalut tawa
Sedih yang dibalut manisnya senyum yang selalu terjaga
Pada sepertiga malam ini.. akhirnya pecah jua
Tak apa, lelahmu telah usai, tak perlu malu terlihat lemah dihadapan Sang Pencipta
Hanya Dia yang takkan meninggalkan mu meski kamu dalam keadaan paling buruk

Tetaplah mengepak
Wahai.. sisa sayap yang patah
Kamu akan kembali temukan arah..
Semua beban yang kau pikul perlahan hilang, sudah.

Tetaplah mengepak
Wahai.. sisa sayap yang patah

Sebuah puisi karya tangan seorang Juan Yudha Pradana. Ia tulis ketika waktu bergerak menuju fajar. Akhir-akhir ini, ia jadi sering tidur terlampau larut, bahkan sampai dini hari, macam sekarang ini. Jam tidurnya berantakan. Sementara itu, aktivitas selama jam tidur yang berantakan itu, ia habiskan dengan mengolah kalimat demi kalimat, entah itu menjadi larik sebuah lagu, atau menjadi sebuah bait puisi. Selain sering menghabiskan waktunya dengan menulis, tak lupa juga ia titip sebuah doa dan larik-larik harapan kepada langit yang sedang ia tatap. Tak banyak, namun sarat dengan sebuah rasa.

Tak lama, segera ia membenamkan kepalanya pada sebuah bantal yang berukuran tak terlalu besar. Waktu menunjukan pukul 03.25 WIB. Sedikit kesal dirinya ketika menatap detik jarum jam, bisa-bisanya tidur terlampau larut, bahkan dini hari sementara pagi ia harus berangkat sekolah dan dipaksa beraktivitas normal. Ia berusaha memejamkan mata, meski sulit.
.
.
.
Dering alarm dengan lagu berjudul Clock milik ColdPlay itu berbunyi. Juan terbangun dengan sangat malas. Kemudian ditatap layar handphone kusamnya itu, waktu menunjukan pukul 05.00 WIB tertulis disana "Waktunya Sholat woyyyy!." Segera ia mematikan alarm tersebut dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Usai wudhu dan sedikit membersihkan tubuhnya, lelaki itu lalu mengenakan sebuah Koko, lengkap dengan Peci. Ia menatap bayangan Maya dirinya dalam cermin. Lihatlah disana. Siapa yang tak terhipnotis melihat dirinya. Tubuhnya yang tinggi dan tegap, kedua mata hitamnya yang tajam, tatanan wajah yang ideal orang biasa menyebutnya tampan, kulit sawo matang khas orang Indonesia. Sekarang, ia mengenakan pakaian untuk sholat. Wajahnya basah, namun tak berarti eloknya berkurang meski sedikit.

"Allahu Akbar."

Usai melaksanakan dua rakaat Subuh, tak lupa beberapa doa dipanjatkan. Selalu ada doa untuk seseorang yang selalu ia rindukan, katanya, sebaik-baiknya ekspresi rindu adalah yang selalu dilangitkan melalui doa, katanya, memeluk memiliki ragam cara, berdoa salah satunya. Ya, Juan sangat rindu sosok Ibu, sosok yang tak pernah ia saksikan seperti apa rupa aslinya, bagaimana suaranya, bagaimana indah senyumnya, serta bagaimana hangat pelukannya. Sama sekali tak pernah ia rasakan itu semua. Katanya, Ibu orang yang ramah, peduli, perhatian, masakannya juga enak tak tertandingi. Suaranya Ibu juga bagus, Ibu sering bernyanyi dulu, tak sedikit yang terpikat oleh Ibu karena indah suaranya ketika bernyanyi. Ibu juga punya senyum yang bagus, seperti yang sering Juan saksikan dalam foto, berhias lesung pipi yang semakin membuat siapapun terpikat dibuatnya. Selain itu, Ayah pernah bilang bahwa Ibu adalah sosok yang lembut, penuh rasa kasih sayang, dan sosok wanita yang hebat. "Sekali lagi, Ibu, saya rindu." Gumamnya.

Terbesit rasa ingin kembali kepada masa itu, masa sebelum semua terasa serumit ini. Namun jalan yang terbaik bukan harus kembali, namun menjalani sisa hari ini. Bersama harapan yang baru, mimpi-mimpi yang baru, serta semangat yang baru.
.
.
.
Sementara itu pagi di sebuah rumah berukuran mungil. Edelweis asyik bercermin, sambil menyisir rambut panjangnya dengan riang. Menghias dirinya dengan polesan seadanya, tetapi tetap saja terlihat luar biasa. Siapapun yang melihatnya, akan jatuh hati dibuatnya.

Hari ini, adalah hari pertama Edelweis masuk SMA yang baru. Awal yang menyenangkan, semoga. Ia begitu semangat mengemas keperluannya sekolah. Tak hanya itu, ia juga menghias diri sebaik mungkin. Dengan rambut panjang yang dibiarkannya terurai, wajah dengan sentuhan bedak seadanya, dan polesan lipbalm untuk membuat lembab bibir mungilnya. Ia siap untuk pergi sekolah.

"Ayah, Edel berangkat ya."
"Iya sayang, silakan duluan ya, ayah masih beberapa menit lagi berangkat."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Hati-hati ya."
"Siap komandan, hehe."

Ayahnya tersenyum. Mengiringi pamit putrinya itu, dengan menatapnya sampai ia hilang dari pandangan. Waktu memang selalu berlari dengan cepat, baru kemarin ia menyaksikan Edelweis kecil, saat ini, Edelweis kecil telah menjelma menjadi Edelweis remaja yang manis dan periang. Dimasa remaja seperti ini, bahkan Edelweis itu hanya dibesarkan oleh ayahnya yang luar biasa. Tiba-tiba dada ayahnya sesak mengingat hal itu. Dirinya berharap, Edelweis tak pernah berkecil hati, meski hanya tumbuh bersama ayah melewati masa remajanya ini.
.
.
.
Edelweis menaiki bus untuk pergi sekolah. Sebenarnya, ia tak begitu mengerti bagaimana caranya naik bus di kota besar seperti ini. Kemarin, ia masih ditemani ayahnya, ditunjukan bagaimana caranya, dimana letak berhentinya dan tata cara bayarnya. Sekarang, ia harus mempraktekkannya sendirian. Tak apa, ia pasti akan terbiasa. Terbiasa dengan riuh kendaraan yang saling bersahutan, ditambah debu yang bebas melayang diudara, ditambah lagi pengap dan berbagai macam aroma dalam bus yang mencuri udara segar setiap harinya. "Oke, aku akan terbiasa dengan ini."

Bus melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalan demi jalan ibu kota yang sedang sibuk. Sesekali macet, maklum ada beberapa titik lampu merah. Waktu terus bergerak maju. Ditatapnya sekali lagi jam tangan hitam yang sedang ia kenakan. Ah, masih aman. Belum waktunya menggerutu telat. Kemudian ia alihkan kembali pandangannya kepada jalanan ibu kota yang ramai.
.
.
.
"Aaaaaaaargh!." Jerit satu penumpang bus. Bus tiba-tiba saja berhenti dengan paksa. Sang sopir menggerutu kesal, lalu memaki pengendara tersebut yang mengganggu laju Bus ini. Karena Edelweis duduk di jajaran depan, ia sedikit bisa menangkap rupa pengendara itu. Seorang pemuda dengan pakaian SMA, mengendarai sepeda motor hitam. Terlihat ia berkali-kali meminta maaf kepada sopir Bus itu, sambil sesekali terlihat seperti memberikan penjelasan mengapa bisa terjadi seperti ini. Namun sang sopir terlampau kesal, sehingga terdengar sedikit memaki dan membentak pengendara motor itu.

Edelweis menghela napas panjang. Bersyukur tidak terjadi apa-apa. "Ngeselin ya itu pengendara, untung ganteng." Keluh salah satu penumpang Bus. Edelweis lalu geleng-geleng kepala sambil tersenyum ringan.

Bus kembali melaju, pun pengendara motor hitam dengan seragam SMA yang katanya ganteng itu pun melaju.
.
.
.

Monokrom

Seperti apa warna cinta?
Apakah putih sebagai tanda kemurniannya?
Apakah merah yang mewarnai setiap rekahnya?
Atau kah jingga yang membawa hangatnya?
Atau barangkali putih, atau hitam, atau keduanya yang menjadikan ia kelabu menyertainya?

Jadi, seperti apa warna cinta?

.
.
.

Hi! Sampai disini dulu ya, cerita masih bersambung. Huhu kangen banget gw nge-wattpad lagi, sekarang baru lagi gw sempetin setelah melewati berbagai macam drama yang membuat gw enggak produktif disini lagi. Cerita kali ini lebih banyak penjelasan dan monolog sih. Yuk baca lagi yuk😉☺️☺️☺️☺️

Secantik Edelweis (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang