Juan Yudha Pradana

61 3 2
                                    

Secepat kilat, malam yang damai itu, kini telah menjelma menjadi pagi yang cerah. Namun tak secerah hati lelaki yang satu ini. Tatkala dirinya yang tengah berada dalam zona nyaman tiba-tiba harus terbangun dengan paksa, karena satu pukulan ringan yang menghampiri tubuhnya.

"Bangun, pemalas!" sambil melayangkan satu pukulan kepada lelaki yang tengah tertidur lelap itu.

"Bang Fais apaan sih, gue juga bisa bangun sendiri!" jawabnya dengan kesal yang tak terbendung lagi. Lalu perlahan duduk untuk sekedar mengumpulkan kembali nyawanya karena habis tertidur.

"Ikut gue!" seraya menarik kaus lelaki itu dengan paksa, lalu membawanya keluar kamar.

"Woi santai dong, gak usah maksa kayak begini, norak lo!."

Rupanya, Bang Fais membawanya ke ruang tamu. Dimana semua anggota keluarga sudah berkumpul dengan lengkap. Sorot mata tajam menatap lekat lelaki itu, seperti ingin melahap dirinya hidup-hidup. Termasuk seorang bapak usia lima puluhan yang tengah berdiri dengan tegapnya, menyambut kedatangan lelaki itu dengan antipati. Wajahnya tidak secerah hari ini. Lelaki itu lalu melayangkan senyuman ringan yang tak dibalasnya sama sekali.

"Pagi Yah, Bang Alif, Bang Fais, Bang Riza" sapa lelaki itu, khas dengan wajah yang seolah tak memiliki kesalahan apapun. Padahal dirinya tau, saat ini dirinya sedang berada disituasi siaga satu.

Hening, tak ada jawaban sama sekali. Segala basa-basi yang dirinya lakukan tak mampu membuat bibir mereka bergeming.

"Oke, saya minta maaf" ucap lelaki itu, lagi, wajahnya kali ini tertunduk pasrah.

Namun PLAK!!! Satu tamparan mendarat dipipi sebelah kanannya. Dirinya yang baru saja bangun dari tidurnya itu, nyaris saja terjatuh.

Rasanya panas sekali bekas tamparan itu. Entah berapa lama ayahnya mengumpulkan tenaga untuk menampar dirinya, yang membuatnya nyaris oleng dan hampir terjatuh. Sementara itu, ketiga kakaknya hanya menyaksikan kejadian itu dengan tatapan heran. Tak ada tindakan apapun. Lelaki itu tertunduk pasrah. Ia tahu, kini ia tak bisa main-main lagi, ayahnya sudah berada pada puncak kemarahannya.

"Kemana saja kau, satu minggu tidak pulang, sudah bosan kau hidup dengan ayah?" masih dengan sorot mata tajamnya, nada bicaranya khas orang Sumatera.

Lelaki itu masih tertunduk pasrah. Mulutnya bungkam. Bersuara sedikit saja saat situasi seperti ini, akan jadi masalah baru untuk dirinya, jadi, hal paling ampuh saat ini yaitu diam dan pasrah dengan segala sesuatu yang akan terjadi.

"Hah kenapa kau diam? Lihat wajah kau memar-memar itu? Kau kira ayah tidak tau apa yang sudah kau lakukan selama satu minggu itu?." Kali ini, tubuh ayahnya semakin mendekat, memerhatikan wajah putranya dengan lekat.

Perlahan, lelaki itu mengangkat wajahnya. Mencoba mengumpulkan sisa tenaga yang ada untuk balas menatap wajah sang ayah.

"Saya minta maaf" jawab sebuah suara yang sedikit kelu.

Hampir saja tangan sang ayah kembali melayangkan pukulannya, lagi. Namun entah apa hal yang telah mengurungkan niatnya itu. Ayahnya nyaris kehilangan kata-kata, dirinya menatap wajah putranya itu dengan lekat.

Ada rasa miris, sedih, dan bersalah atas perlakuan dirinya terhadap putranya itu. Biar bagaimana pun juga, mau semarah atau sekesal apapun dirinya terhadap putranya itu, ia selalu menyayangi putranya, mencintainya, dan berusaha semaksimal mungkin untuk selalu menjaga putranya, dan menemaninya serta mendidiknya hingga ia dewasa. Selalu ada rasa sesak dihati ketika memperlakukan kasar putranya yang satu ini, karena lagi dan lagi, jauh didalam lubuk hatinya, ia amat mencintai putranya, tanpa batas.

"Jangan lakukan ini lagi!." Ucap ayahnya dengan tegas. Lantas berlalu pergi. Diikuti dengan ketiga kakaknya yang juga meninggalkan lelaki itu yang masih terdiam disana.

Secantik Edelweis (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang