TDM 03 - Kembali Jumpa

20 12 10
                                    

Ternyata hanya sebuah noda dapat mempertemukan kita di lain masa. Saya Raka, pemilik kopi dan jaket kala itu.

Raka menghembuskan napas dengan lesu. Siang yang redup membuatnya sedikit sesak. Entah, mungkin karena efek cuaca yang tidak menentu. Seperti perasaannya sekarang ini. Mulai jatuh cinta dan ingin mengenal lebih soal gadis itu.

Perlahan dia menghisap tembakau gulung yang terapit di antara dua jarinya. Lalu menghembuskannya dengan penuh kenikmatan.

"Ini jaketnya," Ari yang pertama mendongakkan kepalanya. Kemudian disusul Raka dan Tito.

Setelah dua minggu berlalu, suara itu kembali terdengar di telinga Raka.

Raka diam sejenak. Dia menyimpan rokoknya di atas asbak kecil. "Oh iya. Terima kasih, Mbak," balas Raka menerima jaketnya.

"Eh. Beneran dibalikin," gumam Tito takjub. Dia menoleh kearah Ari yang ikut terkejut. Candaannya ketika itu ternyata dibawa serius oleh gadis bernama Mawar.

Raka menghembuskan nafasnya perlahan. Menenangkan kegugupannya saat menghadapi Mawar. Sosok gadis manis yang berhasil memikatnya. "Em... saya Raka," Raka mengulurkan tangannya. Berniat ingin mengenal Mawar.

"Ma-Mawar," balas Mawar sedikit canggung saat menerima uluran tangan kekar dari laki-laki dihadapannya.

Sejak saat itu. Awal perkenalan resmi kami. Saya dan dia saling mengulurkan tangan dan bertukar nama.

"Kok wangi?" Raka sempat terheran saat mencium bau jaketnya yang hanya di cuci satu bulan sekali. Itu pun jika dia ingat.

Kedua pipi Mawar mulai merona. "Eh, iya. Aku cuci," jawabnya jujur. "Ya udah. Aku duluan," pamitnya kemudian, sesegera mungkin untuk bisa menghilang dari hadapan Raka.

Melihatnya Raka tertawa kecil.

"Cieee, kenalan sama cewek!" Celetuk Tito setelah Mawar berlalu dengan merasa rugi. "Gue juga mau dong dikenalin," lanjutnya datar. Tidak peduli dengan reaksi Raka yang setengah mati sedang menahan gugup.

Sementara Ari hanya diam bersama sikapnya yang bodoamat.

"Gue udah rada bosen sama yang ini," canda Tito menunjuk kearah Ari dengan dagunya.

Merasa sesuatu yang tidak bisa ditolerir. Ari menatap Tito dengan tatapan dingin dan penuh peringatan.

"Hayo, lo. Macan denger, tuh," goda Raka segera berlalu. Kembali menjalankan tugasnya mengecek keamanan pasar.

"Sialan lo emang!" Maki Ari melempar sandalnya kepada Tito.

Hahaha! Aku tertawa dengan tingkah dua makhluk yang tak pernah akur. Namun mampu membuatku iri atas perasaannya yang dapat saling menyatu padu.

Tito dan Ari, mereka sudah bersahabat sejak lama. Bisa dibilang sejak mereka seusia Echa. Hidup di jalanan tanpa kasih sayang dari seorang Ayah dan Ibu. Seperti halnya Raka yang tak pernah mengenal kedua orangtuanya dan terdampar di pelataran tempat pembuangan sampah di kota besar bersama peti kayu dan selimut alakadarnya untuk menghangatkan tubuh mungilnya saat itu.

Namun semuanya seakan tak pernah Raka pikirkan. Hidupnya dulu bersama Om Tora seakan dapat mencuci semua ingatan kelam di masa lalunya. Dia tumbuh bersama orang-orang senasib dengannya, tak terpelajar bahkan tak mengenal kasih sayang membuat Raka benar-benar sadar untuk tidak perlu iri dengan kehidupan hangat yang dimiliki oleh orang lain. Dia cukup beruntung, Om Tora dan istrinya rela membesarkan dirinya meski harus ada imbalan yang kini harus dibayar kontan.

Hidup terlalu perih jika tanpa rasa syukur.

Tbc.

Tergores Duri MawarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang