Pratu

3.2K 171 3
                                    

Ini tentang pertemuan pertama kami, hal paling penting dan juga krusial. Berlangsung pada bulan Agustus 2015.

Siang itu di saat ada banyak nasabah yang akan melakukan transaksi di Bank. Aku yang saat itu menjadi seorang teller pun dibuat kewalahan. Dari pagi hingga menjelang siang, nasabah yang datang ke bagian teller memang tak pernah ada habisnya. Saat tengah lelah-lelahnya tiba-tiba saja orang yang berada tepat didepanku merengkuh leherku kasar. Terlalu cepat semuanya terjadi, aku bahkan mungkin sudah lunglai jika orang itu tak menahanku erat-erat. Terlambat sadar jika dia yang menyergapku erat adalah seorang perampok Bank.

Setelah tersadar aku masih tak tahu harus melakukan apa, rasanya sudah pasrah jika pun aku harus enyah dari muka bumi. Tapi aku masih sempat memikirkan Ibu dan Bapak meski juga pasrah seraya merasakan goresan pisau yang semakin dalam melukai leherku tepat di bawah rahang kanan. Aku tahu mereka akan sangat sedih saat bungsunya yang sudah mereka kuliahkan dan baru lulus harus mati muda.

Aku sedikit sedih. Aku bahkan belum sempat memberikan apapun, barang secarik kain batik untuk Ibu dan selembar baju koko untuk Bapak.

Saat aku dan anganku hanya berpikir bahwa aku akan mati saat itu juga, namun saat itu juga seorang pria mendencitkan pintu untuk masuk ke dalam di saat orang-orang berhamburan keluar dari dalam area Bank. Aku tak tahu bagaimana cara dia menyelamatkanku, yang aku tau gerakannya tak kalah cepat dari perampok itu ketika mengambil alih tubuhku.

Ku pikir aku akan mati sebelum sempat menerima gaji pertamaku. Tapi mas Azam yang saat itu masih pria asing bagiku, menyelamatkaku dari kematian.

Aku masih ingat dialog pertama kami.

"Ada keluarga kamu yang bisa dihubungi ?" Tanyanya di lorong rumah sakit sesaat setelah aku keluar dari ruangan tindakan untuk mengobati luka gores di rahang bawahku yang memerlukan beberapa jahitan.

"Tidak perlu Mas." Jawabanku berlawanan dengan pertanyaanya.

Di Jakarta aku tinggal bersama kakakku-Mbak Tashi. Kami merantau sejak mulai kuliah di Jakarta. Tapi Minggu lalu Mbak Tashi menikah dan baru minggu lalu aku pindah dari unit apartemennya ke sebuah kost di daerah Jati Padang, Jakarta Selatan. Aku butuh satu Jam menaiki Busway untuk sampai ke tempat kerjaku.

Sementara Ibu dan Bapak tinggal di Brebes. Mereka adalah seorang petani dan pemilik toko oleh-oleh di Kaligua, sebuah daerah wisata dataran tinggi yang terkenal dengan perkebunan tehnya.

Aku tak tega harus menghubungi Mbak Tashi. Dia bahkan baru masuk bekerja hari ini, setelah mengambil cuti untuk pernikahannya, aku tak akan mungkin mengganggu hanya karena hal semacam ini.

"Mereka harus tahu, mereka akan mengkhawatirkan kamu." Dia masih berusaha, dan kekeh.

Namun aku sama kerasnya saat itu. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, saya baik-baik saja."

Di pikiranku saat itu, aku masih harus waspada pada pria di hadapanku. Aku bahkan tak mengenalnya. Tapi, kini di pikiranku. Kami memang dua bungsu yang sama-sama keras kepala dan tak ingin kalah. Bisa bertahan sejauh ini adalah pencapaian hebat yang bisa sama-sama kami capai.

"Kamu tinggal dimana?" Lagi dia bertanya.

Kali itu aku diam, memincingkan mata. Yang benar saja, kami bahkan baru pertama kali bertemu. Tak mungkin aku langsung memberitahu alamat tempat tinggalku kepada orang asing, sekalipun pria di depanku ini sangat tampan. Aku masih ingat kata-kata pembawa acara berita favoritku yang sudah meninggal, begini katanya.

"Waspadalah... waspadalah... kejahatan selalu mengintai dimana-mana dan pelakunya pun bisa siapa saja!"

Kalau begitu, pria tampan mungkin juga bisa melakukannya.

Sejuang Restu ( USAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang