Aku mendorong kursi roda Dira, menuju ruangan dokter untuk konsultasi progres pengobatannya sejauh ini. Kukecup keningnya sesaat sebelum meninggalkannya di ruang tunggu di depan rungan dokter, hal yang kusyaratkan saat dia meminta untuk ikut pergi denganku.
Dari hasil pemeriksaan lagi-lagi hal yang kukhawatirkan terjadi. Tak ada progres berarti, tapi aku beryukur setidaknya kesehatan Dira tidak menurun. Kemotrapinya beberapa waktu lalu yang dia jalani memang tak ditolak tubuhnya, tapi tak juga memberikan hasil yang baik. Tapi tadi dokter memberikanku informasi yang sangat tak terduga. Aku tak tahu harus senang atau bagaimana.
Aku terhenti di dapan pintu saat akan keluar dari ruangan ini. Menata perasaanku yang kacau, menampilkan raut yang baik untuk menutupi sesuatu yang buruk. Aku bahkan tak tahu ini berita baik atau buruk. Keluar dari ruangan ini aku disambut oleh senyum cantik itu. Kulangkahkan kaki untuk mendekat ke arahnya, mengecup keningnya sekilas.
"Kamu bisa istirahat cepat malam ini." Ujarku.
Dia tak menanggapi apapun. Kembali kudorong kursi roda Dira. Kami terhenti di depan pintu lift, menunggu pintu besi itu terbuka. Dari pantulannya dapat kulihat Dira mengamati bayangannya serius.
"Itu saya ya Mas?" Tanyanya.
Aku keluh untuk menjawab. "Itu Nyonya Maudira Azam Birendra."
Kali ini senyumnya terbit, senyum kecil yang kali ini tak tampak benar-benar bahagia. "Saya sekarang jelek. Rambut sudah tidak ada lagi, kurus tinggal tulang. Beruntung di hari pernikahan, Kak Anna memberikan MUA terbaik."
Aku menggeleng tegas, aku berlutut di hadapannya. "Kamu cantik..." Kusentuh dahi, hidung lancipnya, bibir ranumnya. "Kamu selalu menjadi perempuan tercantik di hidup saya. Kamu cukup jadi cantik untuk saya, tidak perlu untuk orang lain."
Dia tak menimpali kalimatku. Membuang pandangannya ke arah lain.
"Pintunya sudah terbuka."
Kembali kudorong kursi roda Dira. Kini kami hening. Dia kembali mengamati bayangannya di dinding lift.
"Mau ke atap gedung lagi?" Ajakku.
Dia hanya tersenyum mengangguk.
Dira itu cantik sekali, entah sekarang ataupun dulu. Kecantikannya memang sedikit pudar akibat wajah yang kian menirus, tapi tak berarti sedikitpun dengan yang masih tersisa. Aku tak berbohong Dira sangat cantik. Entah bagaimana harus kugambarkan lagi.
Kami menepi di rooftop, tempat teromantis di rumah sakit ini setelah ruang inap miliknya.
"Kalau lihat pemandangan masih dengan kaca sebagai pembatas, apa bedanya dengan di kamar?" Keluhnya dengan bibir cemberut.
Dira begitu lucu aku dibuat gemas sendiri. Kukecup bibir ranumnya sekilas.
Dia semakin merengut. "Ihh, mas Azam... malu kalau ada yang melihat."
Aku hanya mengernyitkan dahi tak mengerti, berusaha menggodanya.
"Kenapa harus malu, kita pasangan sah. Saya suami kamu, Nyonya Azam."
"Mereka belum tentu tahu kalau kita ini suami Istri, Mas." Cerewetnya mulai kambuh, tapi aku tak pernah keberatan.
Lagi kudekatkan wajahku, ke arah wajahnya. Saat bibirku akan menyentuh bibir ranum itu, lebih dulu kedua telapak tangan menutupi wajah cantiknya. Dia terkekeh, tawanya sumber energi untuk tubuhku. Pandangannya mengajakku untuk melirik ke arah luar, di bagian gedung yang tak memiliki penutup apapun selain pembatas di pinggirannya. Menunjuk ke arah luar, dimana beberapa muda-mudi melirik ke arah kami penasaran.
"Saya malu..."
Kali ini aku mengalah. Memilih duduk diam di kursi yang menghadapkan pemandangan kota malam hari, sementara Dira di atas kursi rodanya berada di sampingku.
Kepalanya kupaksa untuk menyandar ke arahku. Kami menikmati diam sembari menyantap makan malam yang sengaja kupesan untuk datang kesini namun tak tersentuh.
"Minggu lalu saya melewatkan jadwal radioterapi..." ucapnya lirih.
Aku tahu tanpa perlu dia memberitahu. Meski seminggu full yang lalu aku tak sempat datang karena ada latihan di luar kota, aku tetap mengamati semua tentangnya. Tapi baru kutahu alasan tepatnya tadi di ruang dokter.
"Saya tidak mau kemoterapi lagi Mas..." Akan kudengarkan dia. "Kemoterapi itu sangat menyakitkan. Merasakan panas saat cairan itu membakar tubuh saya, nyeri dan panas yang tidak tertahankan tidak bisa saya terima lagi. Semua yang saya jalani ini sia-sia."
Aku hanya diam mendengarkannya, setiap keluh kesah yang memang benar adanya. Wajah Dira yang menahan nyeri dan sakit kerap tergiang.
Menyaksikannya menangisi helai demi helai rambunya yang rontok, menangis meraung merasakan sakit. Namun selalu kuyakinkan untuk bisa menenangkannya, seorang perempuan akan tetap cantik entah dengan surai hitam ataupun kain menjuntai di kepalanya. Dan kini dia memilih kain menjutai untuk terlihat cantik.
"Saya tidak mau menjalani pengobatan lagi. Saya rasa cukup, saya mau pulang ke rumah kita." Pintanya menatapku penuh harap.
Mata indahnya menyorotku penuh harap. Tapi aku tak kuasa untuk membalas tatapannya.
Aku tahu Dira sadar apa yang akan terjadi jika dia terus melanjutkan terapi pengobatan kankernya. Dan dia juga sadar apa yang akan terjadi jika dia mengehentikan semua pengobatan itu. Salah satu dari dua hal akan selamat dan satu lainnya akan menjadi korban.
Kali ini aku harus melihat matanya. "Sejak kapan kamu tahu?" Tanyaku, terkait apa yang tadi baru kuketahui.
Tak tampak raut keterkejutannya. Aku tahu, dia tahu atas apa yang telah dia sembunyikan. Sangat jelas dia menyimpannya dengan apik.
Kali ini Dira yang membuang pandangannya ke luar, mengindari tatapanku.
"Sekarang saya cukup paham dengan tubuh saya sendiri." Jawabnya.
"Lalu?"
"Saya akan mempertahankan janin ini. Sampai tiba saatnya dia dilahirkan saya harap saya masih bisa untuk terus hidup."
Aku membuang nafas kasar, mengetatkan rahangku.
"Jika saya terus melanjutkan pengobatan ada kemungkinan dia akan gugur, atau bahkan lahir tidak dengan utuh. Dan saya tidak mau itu terjadi. Saya mau dia ada dan utuh."
Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya. "Lalu apakah kamu yakin bisa hidup sampai selama itu tanpa pengobatan." Kaliamatku kejam.
Aku marah. Jika itu pilihannya jelas dia tak berada dalam pihakku. Dira lebih menyayangi sesuatu dalam perutnya yang mulai tumbuh daripada aku. Kini aku mulai tampak seperti orang dengki yang cemburu pada anaknya sendiri. Tapi jika diberi pilihan di antara mereka berdua. Jelas aku akan memilih Dira untuk tetap hidup.
"Dia baru berjalan empat minggu, masih berupa gumpalan darah..." gumamnya pelan.
Aku tidak tertarik untuk mendengarkan.
"Dan saya akan terus hidup sampai dia lahir. Saya akan pastikan itu Mas."
"Satu-satunya alasan kamu harus hidup adalah saya. Bukan sesuatu apapun selain saya."
"Mas setiap orang itu pasti mati. Tetap melanjutkan pengobatan atau tidak cepat atau lambat saya juga akan meninggal, jadi apa yang harus dikhawatirkan?" Dia begitu ringan mengatakan kalimat itu. Tak menyadari aku yang mendengarkan ingin meledakkan kepalaku sendiri.
"Dan saya memilih untuk lambat."
🥀🥀🥀
Minggu, 12 Januari 2020.
Brebes.Saya ngga tahu kenapa bisa menulis cerita sedih ini. Tapi, terima kasih sudah mau membaca cerita ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejuang Restu ( USAI )
Short StoryCover by @sparklewhole 🥀🥀🥀 Kupeluk tubuh tegap Mas Azam, sedikit berjinjit untuk meletakan daguku di lekuk lehernya. Dia diam, badannya terlalu kaku untuk membalas pelukanku. Aku berbisik pelan tak mampu untuk bersuara. "Lepaskan saya Mas, saya...