Hari tetep berlalu, sudah tiga bulan sejak diagnosa yang kuterima waktu itu. Aku hebat masih bertahan sejauh ini. Entah sudah berapa kali juga tahapan penyembuhan Kanker aku lalui, kemoterapi salah satunya yang paling menyakitkan. Merasakan panas saat cairan yang berusaha membunuh sel abnormal itu membakar tubuhku, menyebarkan rasa nyeri dan panas yang tak tertahankan kuterima. Mual, muntah, tubuhku yang sudah kurus semakin kurus sebagai efeknya. Indra pengecapku pun sudah tak dapat merasakan apapun, daging tak bertulang itu hanya mampu membantuku untuk berbicara dengan jelas dan mendorong makanan yang grahamku kunyah untuk masuk ke kerongkongan secara paksa. Obatpun semakin banyak jumlah butirnya. Sinar merah panas membakar kulit.
Kini mataku menatap pantulan seorang perempuan di cermin, berbalut baju rumah sakit yang longgar. Di atas kepala tak ada sehelaipun rambut tumbuh, tulang-tulang di wajahnya tampak begitu timbul yang hanya tertutup jaringan kulit, kulitnya pucat pasi. Dia menyeramkan.
Perempuan itu aku, Dira seusai menjalani pengobatan kanker yang tak kunjung membaik. Aku tak tahu kemana hilangnya paras ayu itu, yang kutahu kini tubuhku ringkih hingga saat berjalan pun aku harus tertatih.
Aku menghela nafas pelan, niatku masuk ke kamar mandi adalah untuk membersihkan diri, bukan untuk menyesali semua yang hilang dari tubuhku. Aku keluar dari kamar mandi di dalam ruang rawatku di rumah sakit ini. Mendekat pada kursi tempatku untuk melaksanakan kewajiban seorang muslimah dan berdoa kepada-Nya. Aku tak berharap kesembuhan aku hanya mengharapkan segala yang terbaik untukku. Selesai, kulepas mukenah dari tubuhku, menggantikan sebuah kain untuk menutup kepalaku. Berjalan mendekat ke arah jendela kaca, aku duduk di atas kusen jendela itu yang menampilkan pemandangan Ibu Kota, pemandangan yang selalu menemaniku beberapa waktu terakhir. Meminum obat, pergi ke ruang terapi, duduk di kusen ini sembari membaca beberapa buku yang jumlahnya selalu bertambah menjadi rutinitasku selama di sini.
Tapi saat ini aku hanya ingin melihat lalu lalang orang di bawah sana beraktivitas, bermobilitas kesana dan kemari. Melihat mereka mengingatkanku bahwa aku pun dulu melakukan hal yang sama, sebelum penyakit ini menyerang dan hanya membuatku terkurung disini.
Tuk...tuk...tuk...
Suara ketukan di balik pintu membuat mataku beralih dari luar ke arahnya. Aku tak tahu siapa, tapi kurasa itu bukan Ibu dan Bapak, mereka baru saja pergi setelah kupaksa untuk istirahat di rumah keluarga Mbak Tashi. Mas Nindra menjemput meraka sebelum aku masuk ke kamar mandi tadi. Dokter hanya datang untuk visit di pagi dan sore hari, juga saat aku merasakan keluhan. Aku tak merasa perlu bantuan dan memanggil perawat.
Aku diam hanya menatap pintu, tak mengatakan apapun barang mempersilahkan seseorang disana masuk. Sepuluh... sebelas detik masih tak tanda-tanda orang itu akan masuk. Aku acuh, kubawa pandanganku untuk kembali menatap ke luar.
Lagi-lagi suara ketukan terdengar, membawa pandangan seseorang kembali ke arah sana. Kali ini seorang pria masuk, aku diam menatapnya yang berjalan ragu mendekatiku dan berdiri di ujung ranjangku. Aku tak mengenalnya. Kuamati dia dalam diamku.
Aku ragu untuk mengatakan kalimatku. "Maaf ingatan saya kurang baik..." Berkat penyakit ini aku terkadang kehilangan beberapa ingatanku. "Boleh saya tahu Anda siapa?"
Kutunggu jawabannya, namun mulutnya mengatup rapat. Tanganku hampor terulur pada tombol untuk memanggil perawat tapi aku tak yakin.
Dia maju beberapa langkah mendekatiku, membuatku kian waspada. Kueratkan penganganku pada tongkat di tangan kanan. Namun di luar dugaan, pria itu justru memberikanku sebuket mawar hitam.
"Saya melihat bunga itu di perjalanan saat saya menuju kesini. Kamu selalu suka mawar hitam."
Suara yang keluar dari mulutnya mengagetkanku. Dia mengenalku.
"Boleh saya duduk disana? Hari ini saya sangat lelah." Ujarnya.
Kali ini aku yang hanya diam. Memperhatikan dia yang berjalan ke arah sofa di sudut ruangan. Dia duduk disana sembari menunduk, menumpukan dahinya pada kedua tangan yang saling menaut. Dari wajahnya dia terlihat amat lelah, tubuh tinggi pria itu bahkan masih berbalut baju rapih yang tampak seperti seragam dengan beberapa pin kecil mengkilat. Kuputuskan untuk membiarkan pria itu, entah mengapa aku merasa tak ada yang berbahaya meski aku tak mengenalnya.
Pandanganku kini terfokus pada buket mawar hitam di pelukanku, juga pada tas karton yang pria itu letakkan di depan pintu. Mungkin dia tak seharum mawar lainnya, tapi mataku menyukainya. Bagaimana benang sari hitamnya begitu mencolok di tengah lapisan mahkota bunganya. Mawar hitam, rasanya tak banyak orang yang mengetahui aku menyukai bunga ini. Berusaha kuingat. Mungkinkah pria itu pernah kukenal.
Dan aku melupakan satu orang, satu orang yang setiap sore datang dan menemani tidurku hingga aku terlelap. Dia menyisahkan waktunya untukku, kendati wajahnya begitu lelah.
Tak dapat kutahan bibirku untuk bergetar. Tetes demi tetes air mataku jatuh di sela bunga mawar itu. Detik selanjutnya kulihat dia membuka mata, datang mendekatiku dan kurasakan dia memelukku hangat, meletakkan dagunya di leherku.
"Maaf..." Ucapku lirih, begitu sesak.
"Sore ini begitu cerah." Dia justru berusaha mengalihkan, memelukku kian erat.
"Saya sudah berjanji untuk tidak melupakan mas Azam, tapi begitu sulit untuk mempertahakan ingatan saya agar selalu ada kamu disana." Aku kembali menangis tergugu.
"Saya tidak menuntut kamu untuk selalu mengingat saya. Cukup kamu biarkan saya untuk selalu mencintai kamu."
Aku mengusap tangan mas Azam yang memeluk tubuhku. Merasakan sebuah cincin melingkar di jari manisnya, cincin pernikahan kami dua bulan lalu yang digelar penuh suka cita. Aku tak tahu cara dia mengaturnya, yang kutahu dan cukup kusesalkan dia mendapatkan surat izin menikahiku dari kantornya dengan cara yang tak seharusnya. Aku jelas tak akan lolos karena kondisi kesehatanku, juga tanda tangan Mama mas Azam yang tak terbubuh. Lagi-lagi orang dalam yang berperan.
Dia melakukan hal tak terhomat yang tak pernah dia lakukan sebelumnya untukku, dua bulan lalu aku resmi menjadi Istri Mayor Inf. Azam Birendra Wirawan dengan segala keterbatasanku. Duaj bulan lalu aku resmi menjadi istrinya. Sebuah pesta kebun yang tak di hadiri lebih dari limapuluh orang, yang hanya terdiri dari keluarga, teman terdekat dan pasukan pedang pora di gelar di taman belakang rumah yang dia bangun untuk kami. Sangat berkesan berjalan di bawah hubusan pedang bersama mas Azam, dengan lantunan puisi yang penuh kehikmatan.
"Jika saya bisa meminta kepada Tuhan, saya berharap dia selalu menaruh kamu di ingatan saya." Satu doa yang selalu kupanjatkan di saat ingatku.
"Jika Tuhan tidak bisa meletakan saya di ingatan kamu, biarkan dia meletakkan kamu di ingatan saya selamanya."
🥀🥀🥀
Senin, 6 Mei 2019
Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan bagi yang menjalankan.
Semoga kuat hingga Hari Raya Idul Fitri terkecuali halangan bagi perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejuang Restu ( USAI )
Short StoryCover by @sparklewhole 🥀🥀🥀 Kupeluk tubuh tegap Mas Azam, sedikit berjinjit untuk meletakan daguku di lekuk lehernya. Dia diam, badannya terlalu kaku untuk membalas pelukanku. Aku berbisik pelan tak mampu untuk bersuara. "Lepaskan saya Mas, saya...