Kukira kalimat-kalimatnya hanya untuk menenangkanku agar tak merasa terbebani di saat dia mengucapkannya. Aku pikir yanb benar saja, di saat mas Azam menempat di Kalimantan dan aku di Jakarta bagaimana sebuah pertemuan akan terjadi.
Aku tak berharap apapun pada pria itu, yang aku mau hanyalah agar beban hutangku lunas padanya. Aku tak pernah berharap dia adalah jodohku, dan hari itu adalah keberuntungan untuk kami bertemu. Tapi itu dulu, hingga seseudahnya semua berubah, aku menginginkan dan mengharapkan mas Azam.
Beberapa hari setelahnya, setelah pertemuan kami yang naas itu kulihat ada sebuah akun dengan namanya mengikuti hampir semua sosial media milikku, disusul sebuah nomor asing yang ternyata milik mas Azam menghubungiku. Setelah itu entah mengapa aku yakin saja bahwa dia tak berbohong tentang dirinya. Awal mula kami menjadi lebih sering berkomunikasi, tapi saat beberapa kali mencoba untuk meminta nomor rekeningnya untuk mengembalikan uang yang dipinjamkannya untukku dia selalu menolak. Dia hanya ingin pertemuan selanjutnya, hingga akhirnya berlangsung satu tahun kemudian, delapan bulan lebih tepatnya. Waktu yang panjang sebelum akhrinya kami bertemu kembali.
Senin, 25 April 2016 kami kembali bertemu. Tak kusangka sepulangnya dari kantor dia menyambutku. Kala itu aku memang sudah pindah dari satu Bank ke Bank yang lainnya, meski aku memberitahunya dimana. Aku tak pernah menyangka akan ada hari itu. Seorang pria berdiri di depan gedung kantor membawa sebuket bunga untukku dan yang lebih gila ini adalah pertemuan kedua kami.
Waktu mengantarkan kami untuk lebih saling mengenal, semakin dekat. Tak pernah kusadari hubunganku akan sejauh ini, selangkah lagi menuju sebuah kesakralan dengan satu raihan restu dari Mama mas Azam. Aku ingat kala itu masih seorang pegawai baru yang baru yang baru lulus dari Universitas tak sebanding dengan dia pria dua puluh tujuh di tahun itu.
Kami tak lebih saling mengenal dengan sebuah janji temu, hanya sambungan telfon yang saling menyaut. Awalnya aku tak terlalu menggubris, apalagi kala mengingat gagahnya dia, terlebih mas Azam adalah seorang Lettu dari angkatan darat. Dia berdinas di Malinau, Kalimantan Utara. Saat hari dimana dia menyalamatkanku adalah waktu dimana dia sedang pulang ke rumah orang tuanya.
Aku tak terlalu piawai dalam cinta, belum pernah sekalipun melabuhkan hati. Tak ada niat menjadikan dia sebagai cinta pertamaku. Lagi pula siapa yang akan menempatkan pria macam mas Azam sebagi cinta pertama, dimana kelak akan menjadi tolak ukur kepada selanjutnya jika harus kandas. Aku yakin siapapun yang menjadikan pria itu sebagai cinta pertama, dia tak akan pernah hidup tenang jika akhirnya dipaksa tak jodoh.
Namun sialnya aku seseorang itu. Mas Azam bahkan mampu meyakinkanku untuk menjadikan dia cinta pertamaku hanya lewat alat komunikasi. Kami sangat jarang bertemu, hanya saat dia datang ke Jakarta beberapa bulan sekali untuk dinas ataupun libur tahun baru dimana aku tak memiliki libur, saat hari raya idul fitri kami tak pernah bertemu sebab aku anak perantauan yang harus pulang ke tempatku, rumah orang tuaku.
Yang selalu ada dalam hubungan, sebuah pertengkaran yang memang ada. Tapi aku tak bisa marah terlalu lama, dimana saat aku baru tak menjawabnya panggilan Mas Azam satu hari keesokan harinya ponselnya sudah tak tersambung dan baru aktif kembali berhari-hari kemudian. Pesan berpamitan selalu ada dan sambutan selamat pagi-malam juga kerap mewarnai.
Lambat laun aku mulai menerima kehadiran mas Azam. Dia menyakinkanku dengan baik ketika suatu sore tiba-tiba ada seorang pria tinggi tegap menenteng ransel besar dengan wajah tertutup topi memasuki pelataran rumah Bapak, dua hari seusai lebaran. Mas Azam datang untuk mengenalkan diri kepada keluargaku di Tegal. Ibuku, Bapak, Mbak Tashi dan suaminya Mas Nindra bahkan dibuat terkejut. Aku yang saat itu tengah menyapu hanya dengan terusan batik selutut, tak kuat lagi untuk memegang gagang sapu. Keluargaku tak ada satupun yang kuceritakan tentang mas Azam, bahkan Mbak Tashi. Kedua orang tuaku terkejut, sekaligus lega saat putrinya yang berusia dua puluh empat tahun, cukup pantas untuk menikah akhirnya mendatangkan pria untuk memperkenalkan diri. Selasa, 27 Juni 2021 di rumah Ibu dan Bapakku adalah pertemuan keempat kami.
Aku ingat peristiwa dua tahun lalu. Kuputar cincin di jari manisku, pemberian mas Azam waktu itu. Tak pernah kulepaskan dari jari manisku. Rasanya saat kuraba benda ini ada disana, sensasi bahagianya masih selalu sama. Ketika dia datang ke rumahku membawakanku dua cinci, cincin yang tengah dikenakan ini yaitu cincin pajanya dan cincin emas putih yang bermata sangat indah. Namun yang paling berkesan adalah cincin ini, cincin yang dia dapat dari Akademinya di tahun terkahirnya menempuh pendidikan disana.
Awalnya aku menolak kedua benda itu, lamaran masih terlalu dini dan aku bahkan baru bertemu dengan Mas Azam saat dia sudah menjadi seorang Lettu. Aku tak menemani saat sulitnya. Tapi dia berhasil meyakinkanku, kebersamaan kami yang saat itu sudah berlangsung sekitar dua tahun menyakinkannya bahwa aku pantas untuk dia.
Keesokan harinya bersamaa dengan waktu seharunya aku kembali ke Jakarta, kami pergi bersama. Mas Azam membawaku menemui keluarganya, kutemukan sambutan baik dari Papanya-Om Seno namun tak dengan Tante Utami. Wanita itu memang tak mengatakannya secara langsung, hanya dia meminta kami untuk menunda waktu untuk menuju kesakralan. Terus tertunda hingga dua tahun ini aku dan Mas Azam terus berusaha.
Dan aku selalu berdoa, aku mampu untuk terus meyakinkan Tante Utami bersama Mas Azam
🥀🥀🥀
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejuang Restu ( USAI )
Short StoryCover by @sparklewhole 🥀🥀🥀 Kupeluk tubuh tegap Mas Azam, sedikit berjinjit untuk meletakan daguku di lekuk lehernya. Dia diam, badannya terlalu kaku untuk membalas pelukanku. Aku berbisik pelan tak mampu untuk bersuara. "Lepaskan saya Mas, saya...