Two

27 2 0
                                    

Hari Minggu. Hari kedua latihanku sebagai anggota Marching band Provinsi. Pelatihku yang asli masih cuti karena pergi ke Australia. Entah apa yang ia lakukan, mungkin bermain dengan kangguru.

Akhirnya beginilah. Aku dan junior-junior yang lain dilatih oleh senior-senior—yang permainan musiknya sudah sangat bagus. Marching band menganut tinggi senioritas sebagai formalitas belaka, bukan untuk menjadi paling 'wah' di antara yang lain.

"Kumpul di Pendopo! Baju PDL akan dibagikan." Dyah menoleh ke arahku. Matanya mengisyaratkan untuk bergegas ke sana.

"Males ah, Yah!" Tuturku atas ajakannya. Aku meluruskan kaki-kakiku yang sedikit pegal. Lumayan disuruh jogging mengelilingi lapangan satu putaran. Aku memijat lembut pergelangan kakiku dan mengurut betisku.

"Males ketemu Kak Niskala, ya? Tapi kan lo juga bakal ketemu orang itu." Dia mulai memancingku atau lebih tepatnya menyindir dan membujuk. Aku tidak akan termakan buaiannya.

"Males aja. Dihukum, dihukum aja deh." Dyah terlihat lelah membujukku. Dia pergi tanpa sepatah kata pun.

Aku memilih pergi menuju kolam air mancur di dekat Gedung Marching Band Provinsi. Pergi sebentar sepertinya takkan masalah, mungkin. Semoga saja.

Udaranya sangat menyegarkan. Suara gemercik air jatuh sungguh menenangkan. Cipratan airnya pastilah membasahkan. Tapi tak apalah. Lebih baik basah di badan ketimbang di pipi. Aku duduk di kursi depan air mancur tersebut. Terus menyaksikan air jatuh dan berdebam, lalu mengalir indah.

BUK

"Ini baju lo." Aku memegang ubun-ubunku yang terasa sedikit sakit, sehabis dipukul pelan dengan sesuatu. Sebuah plastik yang dikemas tipis, pastilah baju PDL yang aku tidak sempat bawa tadi.

"Sakit woy!" Aku menarik bajuku ke pangkuan. "Gak usah dipukul gitu bisa, kan? Kasih kek dengan cara baik-baik. Kayak gak punya adab sopan santun banget!"

"Baru masuk dah baperan. Pake acara kabur-kaburan segala lagi. Masih baik gue anterin baju lo, bisa ilang tuh baju! Selain itu ada konskuensinya kalau latihan gak pake baju PDL."

Arrggh! Tuhan kenapa Engkau menciptakan makhluk semenyebalkan ini. Berapa kali lagi hamba harus terus bersabar. Kesal dan menjengkelkan!

Aku bangkit dan balik kanan. Pria itu berada di hadapanku sekarang.

"Gue gak butuh baju ini! Lo bisa jual lagi atau bakar aja sekalian! Satu lagi! Camkan baik-baik, gue bukan kabur dan baperan. Gue hanya menenangkan diri!" Tanganku gemas sendiri ingin mencabik-cabik wajah di hadapanku. Aku melemparkan baju itu ke dada Niskala.

Aku lalu begitu saja. "Vidya!" Seru Niskala di belakangku. "Apa hmm? Lo mau hukum gue? Silakan gak masalah. Lo mau gue lari, pungut sampah, ngepel, manjat, atau terbang, hah? Gue turutin! Bilang aja." Aku berhenti demi meladeninya. Bodoh sekali aku! Bahkan aku menatapnya penuh emosi. Mata hitam kami saling beradu.

"Apaan sih, Kak! Lepasin gak!" Aku lihat raut marah dalam wajahnya. Dia malah mencengkeram tanganku kuat-kuat, lalu menyeretku menuju kursi yang tadi aku duduki.

Niskala mendorongku ke kursi tersebut. Aku tak bisa mencegahnya, alhasil aku jatuh terduduk di atas kursi tersebut. Dia pun duduk di sampingku. Dia pasti akan marah, aku sangat yakin. Aku takut akan bentakannya.

"Vidya! Kayaknya lo tipe orang yang gak suka dikekang aturan, ya?" So pasti, so jelas.

"Tapi di Marching band Provinsi ini, semua terikat aturan. Banyak hal yang gak bisa lepas dari aturan. So, jalani dan lalui. Gue bakal ngajarin lo tentang aturan dengan cara gue. Paham?"

Wajahnya memerah dan rahangnya menegas. Aku tahu dia sangat marah. Luar biasa marahnya kepadaku. Tapi sungguh aneh karena dia mengajak aku berbicara dengan nada lirih. Tidak ada intonasi marah di sana. Aku sangat takjub dia bisa mengontrol emosinya dengan baik.

"Impression lo ke gue boleh gimana aja. Terserah lo, Vid!" Niskala memberikan baju yang sempat aku lemparkan ke arahnya dengan baik-baik. Perkataannya membuat aku tersadar bahwa aku tak boleh membesar-besarkan masalah yang hanya sebesar titik. Boleh jadi itu sangat baik untukku.

Dia pun melangkah pergi. Derap langkahnya seirama dengan suara gemercik air. Kenapa harus begini? Aku merasa bersalah kepadanya, tapi perlakuan dia kepadaku juga salah. Lantas bagaimana? Entahlah aku pikirkan saja nanti-nanti.

Aku memutuskan kembali ke Pendopo. Tak tahu apa niatku untuk pergi ke sana, aku hanya ingin saja.

"Vid! Kemana aja lo? Gue cariin kemana-mana!" Dyah menegurku sambil mendorong halus bahuku. Aku hanya menatapnya, tak menyahutnya.

"OK, gue gak akan bawel. Tapi lo harus tahu, sebentar lagi kita disuruh kumpul di Aula Besar. Pake Pakaian Dinas Latihan lo—PDL! Katanya evaluasi latihan." Biar tidak panjang lebar, aku menanggapi dengan satu kali anggukan.

Aku menatap sekitarku. Baju berwarna-warni menghiasi sejauh mata memandang. Berwarna biru, merah dan hijau. Aku menatap baju yang masih terbungkus plastik rapi di tanganku. Warna hijau. Aku melihat Dyah yang sedang merapikan perlengkapannya mengenakan baju hijau. Ternyata begini sistemnya.

***

"Vid buruan ih! Lo mau kena sembur Kak Niskala lagi? Lo ngapain sih di dalem? Ganti baju atau semedi? Wah jangan-jangan lo pesugihan lagi! Buruan, Vid! Jangan bakar kemenyan, nanti ngepet lo gagal karena ketahuan. Vid, please nanti gue ikutan kena sembur!" Aku yang sedang di dalam kamar mandi sangat terusik. Dia menggedor pintu sudah berapa ratus kali. Dyah berteriak-teriak seperti aku akan membuka perdukunan.

"Ihhh jangan dibuka!" Aku menjerit sambil menyandarkan diri pada pintu. Sialan Dyah! Malah memutar kenop pintu. Aku tidak menguncinya karena aku tidak tahu cara menggunakannya.

"Cepetan woy!" Aku bergegas keluar daripada dia mengamuk di luar sana. Tuh dengar! Dia mulai mengaum.

"Ah kan, Vid! Gue udah bilang, lo tuh kelamaan di WC. Look, orang-orang udah kumpul and finally, we are the last." Kami sudah berlari-lari sepanjang koridor yang cukup jauh dari Aula Besar, hasilnya begini.

"Kalian yang bengong di paling belakang! Silakan bergabung!" Aku menggelengkan kepala cepat-cepat. Tak ada hukuman? Tumben sekali Niskala baik. Tanganku seketika ditarik Dyah dan langsung mengikutinya untuk duduk.

Aku mengedarkan pandangan. Pria tampan dan jangkung bertopi itu berada di depan. Sungguh menawan melihatnya dari sini. Dadaku mulai berdegub tak karuan. Mata hitamnya sedang memerhatikan Niskala berbicara. Memikat hati.

***

OBSESSIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang