"March time march. One, two, three, four." Terus saja pelatihku mengulang komando 'goyang itik'! Kakiku sudah terasa kesemutan, lama-lama kegajahan juga.
"Itu yang belakang masih belum benar! Ulangi lagi!" Ya Tuhan berilah hamba kesabaran. Dua atau tiga kali praktik begini pasti langsung khatam, entah apa yang dipikirannya.
"March time march and one, two, three, four." Sumpah, kakiku sudah lembek semua! Lebih baik diajari Niskala daripada Pak Andika. Wait what? Niskala? No, no, no. Aku mengutuk pikiranku tadi.
Aku menoleh ke sebelah kanan, kelompok Marching band strata Bintara sangat menikmati komando-komando yang dilontarkan sang pelatih.
Orang itu! Ah, dia selalu membuatku tersenyum. Wajahnya tak menyiratkan apapun tapi sangat menyenangkan untuk disaksikan.
"CAPEK?" Teriak pelatih di depan sana sontak mengambil alih semua perhatianku. Kenapa sih tidak ada yang menjawab? Padahal muka kalian semua sudah tak bersemangat seperti itu.
"SAYA TANYA, CAPEK TIDAK?" Sekali lagi pelatihku bertanya. Aku jadi geregetan sendiri.
"CAPEK PAK!" Semua pasang mata menatap ke arahku. Pelatih di depan sana sampai menyipitkan matanya demi melihat sosok yang menimpali pertanyaannya. Aku jadi heran sendiri, apakah yang aku perbuat salah?
"Baiklah semuanya bubar! KECUALI KAMU!" Lagi-lagi semua menoleh ke arahku. Pelatih resek itu mendatangi aku. Kenapa sih semua pelatih menyebalkan di sini?
"Ayo Squad Jump! 3 seri." Aku menunjukkan kesalku padanya. "Pak! Aku kan ngejawab pertanyaan Bapak! Kok malah dihukum?"
"Saya gak suka ditimpali! Sejujurnya kenapa gerakan itu diulang-ulang salah satunya karena kamu salah terus! 5 seri!" Aku melongo tak percaya. Bukannya berkurang hukumanku justru ditambah. Menyebalkan.
"Niskala bakal ngawasin kamu, saya ada urusan." Pelatih berkumis itu pergi meninggalkanku di tengah lapang. Bisakah aku kabur dari hukumannya? Tunggu dulu! Apa yang barusan ia katakan? Niskala? Cih, dia lagi, dia lagi.
Aku memutuskan untuk kembali ke pendopo dan tidak AKAN menjalani hukuman itu. Toh, Niskala juga tidak datang. Aku melenggang tak berdosa menghampiri Dyah sesaat sebelum teriakan, "6 seri!" Menggema.
Aku menoleh. Dia sudah berdiri di belakangku.
"6 seri! Udah salah nyengar-nyengir lagi, gue paling gak suka orang kayak gitu! Kabur pula dari hukuman!" Bentak Niskala membuatku bergidik ngeri. Benar kan kataku? tidak AKAN menjalani hukuman. Kita coret kata 'tidak'.
Tanpa banyak omong dan untuk menghindari lebih banyak hukuman padaku, aku langsung melakukannya. Aku meletakkan kedua tanganku yang saling merapat di kepalaku. Aku mulai berganti posisi dari berdiri menjadi jongkok, lalu bangkit lagi dan seterusnya.
"Ti... ga... Pu... luh..." Kakiku mulai terasa sangat pegal. Keringat sudah menetes sejak tadi dari pelipisku. Sumpah! Kaki ini terasa sangat pegal bahkan sepertinya akan mati rasa.
"Lama amat! Kaki lo tuh biar luwes kalau lagi march time." Luwes dari Hongkong. Justru nanti yang akan terjadi adalah makin kaku bergerak. Dasar Mister Sok Tahu.
"Enam puluh!" Aku berteriak sebagai selebrasi atas usainya hukumanku. Tubuhku sudah bermandikan keringat. Kakiku sangat pegal.
Tapi yang aku heran, Niskala tetap setia menunggu aku sampai beres hukuman. Padahal, dia bisa berjalan-jalan dulu atau sekadar mengobrol dengan temannya. Tapi dia tidak sama sekali melakukannya. Sudahlah jangan berpikir yang aneh-aneh, mungkin tanggung jawabnya terhadap tugas negara.
Aku langsung ambruk, terduduk di lantai dengan meluruskan kakiku. Aku masih mengatur irama detak jantungku dan napasku yang tersengal-sengal.
"Capek?" Tanya Niskala sambil ikut duduk di atas lantai.
"Lo nanya retoris banget sih? Ya capeklah, siapa sih yang ngga capek squad jump enam seri. Enam puluh kali, woy!" Jawabku dengan ketus. Selain menyebalkan, ternyata dia juga membuat darah tinggi.
Dia tersenyum menatapku saat aku terus berceloteh tentang kekesalanku. Dia pun memegang betisku yang terbalut celana training hitam.
"Ngapain lo?" Aku langsung memukul punggung tangannya cukup keras. Aku bermaksud menepis tangan dia agar tidak dekat-dekat dengan tubuhku.
"Masa mau dipegang orang ganteng gak mau?" Ya Tuhan sejak bila Engkau menciptakan makhluk yang gede rasa begini? Benar-benar menyebalkan Niskala ini.
"Ya terus mau apa?" Tangannya kembali menuju arah betisku. Tapi sempat aku cengkeram tangannya agar tak menyentuh kakiku.
"Mau gue urut." Aku tertegun mendengarnya. Aku melonggarkan cengkeramanku. Dia langsung menekan area betisku dan menariknya dari pangkal ke ujung kaki. Rasanya cukup enak walau sedikit nyeri.
"Pelan-pelan ih, Kak! Tukang urut gak profesional banget." Aku terperanjat saat dia menekan cukup kuat dan langsung memukul punggung tangannya kembali. Aku lihat punggung tangannya memerah, tapi Niskala tak meringis sedikit pun.
"Kak maaf. Sakit ya?" Aku mengusap punggung tangannya. Begini-begini juga aku masih punya belas kasihan. Dia membalas pertanyaanku dengan senyuman dan menggeleng. Tumben sekali Niskala tak banyak omong seperti biasanya atau memarahiku.
"Kakak sakit?" Tanyaku heran. Dia mengernyitkan dahinya. Senyumnya luntur seketika.
"Sakit apa?" Tanyanya balik.
"Gak biasanya Kakak gak marah. Padahal gue mukulin lo lho, tadi." Sahutku tak berdosa.
"Gak apa-apa." Baiklah aku sedikit lega. Dia pun bangkit dan beranjak. Namun yang aneh, dia meninggalkan sebuah senyuman sebelum pergi. Aku takut sendiri jadinya, apa Niskala kesambet?
Kakiku sedikit enakan. Cukup jago juga dia mengurutku. Aku melihat pria itu lagi di sudut pendopo. Aku langsung menghampirinya dengan senyum yang mengembang lebar. Rasanya berdebar tidak karuan dadaku ini, tapi di sisi lain aku merasa bahagia dan senang. Aku belum pernah merasakan kesenangan dan kebahagiann ini sebelumnya.
"Kak boleh ikut duduk?" Tanyaku lembut. Dia tak menggubrisku, jadi aku putuskan untuk duduk saja.
"Kak!" Panggilku pelan-pelan. Wajah itu langsung menatapku, tepat di kedua mataku. Aku belum bersiap-siap sama sekali, alhasil pipiku terasa panas.
"Nama Kakak siapa?" Tanggung sekali, sudah malu biarlah memalukan sekalian. Aku menjulurkan tangan ke depannya.
"Kenalin Vidya. Kakak namanya siapa?" Dia hanya menatap tanganku yang masih mengambang di udara. Aku tak boleh patah semangat, inilah satu-satunya cara biar aku tahu siapa dia sebenarnya.
"Nama Kakak siapa?" Tanyaku sedikit dengan penekanan. Dia lagi-lagi membisu.
"Kakak namanya siapa?" Tanyaku dengan nada dibuat sabar--sebenarnya sudah sangat kesal sekali. Dia pun bangkit dari duduknya dan melangkah pergi begitu saja.
"Kakak! Tanganku masih terbang lho. Gak akan disalamin gitu?" Teriakku cukup keras agar dia menoleh. Tapi sia-sia. Benar kata Dyah, orang itu sangat dingin dan cuek.
Yah usahaku gagal. Tapi tak apalah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSIVE
Teen FictionDengarkan! Aku belum pernah sama sekali merasakan jatuh cinta. Tapi semenjak bertemu dengannya pertama kali, ada perasaan yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Vidya Larasati Sukma jatuh cinta? Aku sendiri tidak menyangka, tapi tak dapat lagi men...