Akhirnya aku bebas dari latihan juga. Latihannya kan cuma hari Sabtu, Minggu dan Rabu, kembalilah aku pada realita tanpa hukuman, amukan, dan hujatan. Senangnya hatiku.
"Lo kenapa, senyum-senyum sendiri gitu? Ceritalah." Dyah menyodorkan makanan yang aku minta belikan tadi.
"Gue seneng akhirnya gak liat lagi si muka nyebelin. Gak ada hukuman lagi. Sepanjang latihan pasti ada aja di mana gue debat sama dia, atau gak marah-marah. Kalau paling parah sih ngebatin." Aku menjelaskan dengan semangat sambil nyengir.
"Jangan gitu, Vid. Nanti hal-hal kayak gitu yang bakal lo kangenin dari Kak Niskala. Secara lo deket banget sama dia."
"Lo ngedoain gue suka sama dia? Gak mungkin! Terus deket dari mana coba! Perasaan kalau gue deket-deket sama dia bawaannya naik darah mulu."
"Lo tau kan gue sukanya sama siapa? Si Unnamed, pria paling misterius sekaligus bikin gue haduhhh." Sambungku sambil memejamkan mata.
"Cieee ah udah bikin nama panggilan. Parah-parah. Tapi, lo yakin bakal dapetin dia? Secara banyak banget anak Marching band yang juga tergila-gila sama dia."
"Lo tau gak? Gue itu keras kepala orangnya. Sekali pengen sesuatu, maka gue harus dapetin itu." Aku menaikturunkan alisku saat menatap Dyah.
"Pantes aja debat sama Kak Niskala gak mau ngalah." Katanya menyindir. Tapi benar juga ya. Ah tak apalah, toh Niskala juga tetap dendam sama aku. Tapi ada satu hal yang terus mengusikku. Bukan tentang Niskala, tapi Si Unnamed.
"Dyah, gimana caranya gue deketin Si Unnamed? Serius gue bingung harus mulai dari mana. Bantuin gue ya, Yah." Aku menatapnya dengan wajah yang imut dan memelas, agar Dyah iba melihatku.
"Kenalan aja gih. Gitu aja kok ribet."
"Tak semudah itu Dyahno! Gue gak pernah ngejar cowok, kurang berpengalaman buat mepet-mepet."
"Yaudah melet aja sana, kalau gak bisa mepet."
"Kata Pak Ustadz gak boleh mainan kayak gitu, Dyah." Aku kembali menatapnya dengan wajah memelas. Berharap ada solusi lain yang bisa aku kerjakan dengan mudah hingga bisa mendapatkan hatinya.
"Kalau gitu, lo harus berjuang dan berusaha dengan cara lo sendiri untuk deketin dia. Jadilah diri lo sendiri, paham?" Buntu! Bukannya membantuku dia justru menyerahkan segala keputusan kepadaku. Maksudku menceritakan ini agar mendapat jawaban atas pertanyaanku, Dyah membuatnya justru menjadi lebih runyam.
"Vid lo tau gak?" Aku langsung menoleh ke arahnya. Dia membuatku penasaran. Tapi kalau membahas Niskala, aku tak mau mendengarnya. Aku masih belum mau memaafkannya.
"Kak Niskala ternyata gitu orangnya." Yah kan dia mulai lagi. Bosan aku mendengar tentang pria itu. Tapi tunggu, maksud Dyah apa?
"Suka marah? Suka menindas? Suka ngatur? Suka ngehukum? Suka so disiplin? Suka ngamuk? Lo baru tau?" Aku langsung memotong perkataan Dyah. Aku menebak hal yang kira-kira benar ada pada Niskala itu. Dua hari sudah cukup membuatku hapal dengan wataknya. Untuk apa dia menjelaskan lagi?
"Bukan! Denger dulu gue ngomong!" Dyah malah marah. Padahal aku berbaik hati agar dia tak bersusah-susah menjelaskan. Tapi, baiklah aku akan mendengarkannya.
"Jadi waktu lo kabur, gue ke Pendopo. Nah, gue kepikiran sama lo yang belum bawa baju PDL dan gue tau konsekuensi kalau anak Marching band Provinsi latihan gak pake PDL sangat berat. Gue inisiatif dong bawain baju lo."
"Tapi gue liat Kak Niskala dia misahin satu baju, tapi anehnya dipegang terus bajunya. 'Kak permisi, gue mau bawa baju yang Dyah sama Vidya.' Tapi dia cuma ngasih satu baju aja. 'Kak mana yang Vidya? Biar gue aja yang kasihin'. Dia terus megang erat baju yang ada di tangannya. Dia bilang biar dia aja yang ngasih langsung. Kesimpulan gue, ternyata Kak Niskala gak seburuk apa yang lo kata."
Tetap saja aku tak setuju dengan kesimpulan itu. Bisa jadi dia 'baik' hanya beralasan disiplin dan aturan lainnya. Seperti hari pertamaku latihan, Niskala bilang untuk membawa alat masing-masing tanpa dibawakan orang lain. Analogikan saja seperti itu.
"Udahlah, Yah. Perlakuannya ke gue gak menunjukkan dia itu orang baik, justru sebaliknya dia orang yang suka menindas."
Kata-kata Niskala waktu itu kembali terngiang di telingaku. Kata-katanya yang membuatku diam seribu bahasa. Kalimat yang membuatku berpikir dua kali untuk membencinya, tapi kita lupakan bagian itu. Tak ada alasan aku untuk memaafkannya. Niskala akan tetap menjadi Niskala, tak ada ubahnya.
"Oh iya, evaluasi kemarin ngomongin apa sih? Gue kok lupa ya?" Amnesiaku kumat. Jika setan menggodaku untuk mengobrol saat sesuatu yang penting dijelaskan, pastilah aku lupa.
"Tes minat dan bakat." Jawab Dyah datar. Oh iya baru aku ingat itu.
"Dyah, gue berpeluang gak sih dapetin The unnamed? Gue pengen banget milikin dia." Kalimat itu meluncur bebas dari mulutku di sela-sela lamunanku. Entah apa yang membuatku kurang percaya diri seperti ini, padahal aku belum berbuat apa-apa.
"Tergantung usaha lo dan tekad lo. Kalau lo ngerasa gak bisa ya pasti gak bisa, tapi kalau lo ngerasa bisa lo pasti bisa. Tergantung keyakinan lo aja sih."
"Kalau gak sesuai sama ekspetasi?"
"Belum apa-apa dah takut! Jalani aja dulu. Kalau memang gak sesuai rencana, terus tanam pemikiran bahwa besok bakal jadi hari yang cerah, meski tanpa dia."
Dyah mengembuskan napasnya perlahan. "Mana dong semangat Vidyanya? Lo harus dapetin dia, semangattt Vidyaaa!"
Aku tersenyum lebar mendengar Dyah berteriak menyemangatiku. Mataku berkaca-kaca saat dia bilang seperti itu. Terima kasih, Dyah, ucapku dalam hati.
Aku mendongak, menatap langit biru cerah. Perasaanku sangat merasa tenang dan optimis. Dyah telah membuang segala kerisauanku. Baiklah, Vidya tetap Vidya yang dulu.
Aku bersumpah di bawah langit biru ini. Aku, Vidya Larasati Sukma akan memenangkan hati pria itu. Pria yang mengubah segala perasaan dan kehidupannya. Aku berjanji akan mendapatkannya suatu hari nanti, camkan itu langit biru!
***

KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSIVE
Teen FictionDengarkan! Aku belum pernah sama sekali merasakan jatuh cinta. Tapi semenjak bertemu dengannya pertama kali, ada perasaan yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Vidya Larasati Sukma jatuh cinta? Aku sendiri tidak menyangka, tapi tak dapat lagi men...