Di Kedai Kopi Lain

101 5 0
                                    

Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Tidak ada lagi jam masuk kuliah hari itu untuk Caramel. Ia berjalan keluar dari gerbang Universitas Udayana, berencana pergi entah kemana, yang penting tidak pulang ke rumah, begitu yang Caramel inginkan.

Sebuah moge berhenti disamping Caramel yang sedang berjalan dengan malas.

"Caramel, ikut gue ayo!" Ajak seseorang dibalik helm full face berwarna hitam.

"Males." jawab Caramel dingin.

"Ayo ih, lo mau kemana?"

"Bukan urusan lo."

"Oke gue anterin lo, ayo naik!"

Caramel kembali berjalan mengacuhkan Daffa. Sedangkan Daffa setia mengikuti sambil membawa motornya.

"Ayo Caramel.."

"Ga usah ganggu gue!"

"Gue janji ini yang terakhir."

Caramel menghentikan langkahnya.

"Kalo lo ikut gue sekarang, lo bisa cepat terhindar dari gue. Kalo lo tetap jalan, gue bakal terus ganggu lo."

Caramel mengeraskan rahangnya. Jengkel, tapi yang Daffa katakan memang ada benarnya.

Caramel beranjak naik ke motor Daffa. Kemudian memakai helm yang disediakan Daffa.

Daffa tersenyum. Terlalu mudah membujuk Caramel ternyata.

"Kenapa ga jalan-jalan sih?!" bentak Caramel karena Daffa yang tidak juga menjalankan motornya.

"Oooooh jadi lo mau jalan-jalan sama gue?"

Tolol, umpat Caramel.

"EHH NGGA NGGA, IYA INI JALAN."
Daffa segera menjalankan motornya ketika Caramel berusaha turun.

"Pegangan boleh kali."

"Najis."

"Caramel cantik."

"..."

"Caramel mau jadi pacar Daffa?"

"BACOT!" Teriak Caramel.

Kan galaknya keluar kalo sama gue, batin Daffa.

"Ini mau kemana?" tanya Daffa.

"Pulang."

"Tapi gue ga mau, hehe."

Yaudah ngapain lo nanya, tolol. Batin Caramel.

Sekitar 25 menit Caramel harus mendengarkan ocehan Daffa sepanjang perjalanan, akhirnya mereka sampai di suatu tempat. Daffa memarkirkan motornya, kemudian Caramel turun dan melepas helmnya.

Familiar.

"Ayo." Daffa berjalan mendahului Caramel. Mereka masuk ke sebuah kedai kopi yang memiliki 2 lantai.

Sedikit takjub, Caramel menyusuri keindahan interior kedai tersebut. Menikmati aroma kopi, serta alunan instrumen yang sengaja diputar untuk membuat para pelanggan semakin betah.

"Lantai satu ini khusus buat para orang tua, tapi kalo ada anak muda yang mau nongkrong disini sambil berbagi pengalaman ya boleh-boleh aja. Kalo lantai dua, itu khusus buat anak-anak muda. Masalah interior, pasti beda. Disini, lebih klasik. Kalo di atas, lebih modern." jelas Daffa tanpa Caramel minta. Mereka menaiki lantai dua lewat tangga.

Daffa membawa Caramel duduk di meja bar. Tepat didepan Caramel, Daffa memulai kegiatannya menyeduh kopi untuk Caramel.

"Kenapa lo bawa gue kesini?" tanya Caramel.

"Karena lo suka kopi."

"Tolong alasan yang lebih bisa gue terima."

Daffa menghentikan kegiatannya, kemudian menatap Caramel.

"Dulu, kedai gue ini ga semaju seperti sekarang. Sering jatuh bangun, sering dapat rugi. Tapi, ada wanita yang selalu ada buat gue saat jatuh. Membantu gue buat bangkit lagi, memberi banyak ide buat tempat ini. Hingga tempat ini jadi seperti sekarang. Gue bangga sama dia, Caramel."

Caramel terdiam. Entah siapa wanita yang Daffa maksud.

"Terus sekarang, wanita itu dimana?" tanya Caramel lagi.

"Pergi."

"Terus apa hubungannya sama gue?"

"Lo mirip dia."

"..."

"Doakan gue supaya bisa dapetin dia lagi ya, Mel."

"Tapi kenapa ga lo biarkan dia pergi? Kalo lo sayang sama dia, harusnya lo biarkan dia bahagia dengan pilihannya, Daf."

"Dia ga bahagia Mel, dia bahagianya cuman sama gue. Gue tau itu."

Iya, Daffa memang selalu percaya diri. Makanya Caramel juga selalu jengah dengan kepercayaan diri Daffa yang entah seberapa tingginya.

"Nih, Caramel Macchiato buat Caramella."
Daffa menyuguhkan secangkir Caramel Macchiato.

"Walau disogok sama ini, gue tetep ga bakalan baik sama lo. Gue ga bakalan biarkan hidup gue diusik sama orang macam lo, gue ga bakalan buka dunia pergaulan gue buat berteman sama lo." tegas Caramel.

Daffa tersenyum. "Asal lo minum kopi yang gue buat, itu udah bikin gue bahagia kok."

Caramel menyeruput Caramel Macchiato yang telah disuguhkan Daffa. Lebih manis dari Cafe Lattee buatan Kevin. Ya tentu saja, kan beda.

Tangan yang berbeda menghasilkan rasa yang berbeda. Cafe Lattee hadir saat aku merasa hidupku terlalu banyak masalah. Caramel Macchiato ini hadir dan membuatku dilanda bingung.

Bingung mengapa ada dua rasa kopi yang tidak bisa ku lupakan.

Cafe LatteWhere stories live. Discover now