Prolog

13.2K 810 5
                                    

Buanglah mantan pada tempatnya, tutup rapat-rapat agar aroma busuknya tidak tercium oleh indera penciumanmu. Kalimat tersebut belakangan ini selalu terpatri pada pikiranku ketika bertemu dengan Revan, sang mantan terindah, sepertinya tidak juga, mengingat aku diputuskan dengan begitu buruk saat itu.

Title mantan terindah tidak cocok disematkan oleh Revan, lebih cocok Revan disebut mantan brengsek, mantan busuk, penghancur hati wanita, si sialan tidak tau diri dan buaya darat. Tingkahnya belakangan ini membuatku amat kesal padanya, terkadang Revan bisa marah tanpa alasan yang jelas, bahkan sudah melebihi emak-emak yang tengah berburu sayuran murah, sungguh beringas. Namun jika ada maunya...Bah, pria itu akan menjelma sebagai malaikat baik hati.

"Untuk desainnya aku ingin yang sederhana saja namun bisa menampilkan kemewahan." Revan menyerahkan map merah muda yang beberapa menit yang lalu kuserahkan, disana terdapat beberapa lembar gambar desain yang kukerjakan beberapa bulan ini, desain yang disiapkan untuk hotel milik keluarga Revan yang baru saja selesai pembangunannya.

Tunggu sebentar, pria ini terlalu banyak mengkhayal kah? sebenarnya Revan mau yang sederhana atau mewah? dua komponen ini sungguh sulit digabungkan tanpa perencanaan yang matang dan sialannya pria itu memberikan waktu dua minggu untuk mengerjakannya.

Sebelum tanganku menggapai map yang sudah diletakkan di atas meja, Revan secara tiba-tiba membuka map tersebut, mengambil selembar kertas disana kemudian merentangkannya tepat di hadapanku, "Desain ini paling tidak kusuka, terlalu banyak hiasan kristalnya. Mengapa tidak menambahkan yang lebih sederhana?"

Aku menatap gambar yang ada di depanku, ini adalah desain untuk ruang tunggu hotel. Tidak ada yang aneh, bahkan di mataku terlihat begitu indah dengan gantungan lampu berkristal yang menampilkan kesan mewah. Selagi menunggu, para tamu bisa menikmati keindahan ruangan ini bukan?.

"Pikirkan sendiri apa yang ingin kamu buat, jika sudah selesai kamu bisa menyerahkannya lagi padaku," Revan mengambalikan kertas tersebut dalam map kemudian mulai menikmati jus jeruk yang belum lagi tersentuh karena terlalu sibuk melihat hasil kerja keras yang kubuat.

Aku mengatur nafasku perlahan, kembali aku berusaha menahan tanganku agar tidak mencakar wajah tampannya. Ini sudah ke sepuluh kalinya kami bertemu hanya untuk membahas hal yang sama, dan sudah kesepuluh kalinya hasil desainku di tolak.

Oh tuhan, aku ingin sekali memutilasi tubuh Revan sekarang. Tidak taukah jika aku cukup lelah menyiapkan semua hal ini, bahkan kantung mataku kubiarkan menghitam karena terlalu banyak bergadang. Bisakah untuk kali ini saja Revan menyetujui desain yang kubuat kemudian enyah dari kehidupanku.

Jika bukan karena permintaan Lita sahabatku yang tidak lain adalah sepupu Revan, aku tidak akan menerima project ini, menandatangani kontrak bersama Revan kemudian mempersilahkan pria itu kembali mengacaukan hariku yang begitu tenang dan damai.

Argh, aku begitu rindu dengan koleksi drama korea yang kukumpulkan sejak kuliah dulu, aku rindu tempat tidur di rumahku dan juga rindu cemilan yang tersimpan rapi di lemari kamarku. Karena Revan aku tidak lagi pulang ke rumah dan terpaksa menetap di kantor untuk sementara waktu.

"Jadi kamu mau yang seperti apa?" tanyaku tidak sabaran, mataku sudah melewati level toleransi dan bersiap untuk tertutup.

"Seperti yang kukatakan tadi, simple namun mewah," Revan beridekap, menampilkan aura kekuasaan yang pria itu miliki, dahulu jika seperti ini aku tidak dapat berkutik sama sekali bak budak yang tidak berdaya pada tuannya.

Aku mengangguk, "Akan kuserahkan tiga hari lagi," singkatku kemudian beranjak dari tempat duduk. Aku berniat meninggalkan cafe ini kemudian memesan taksi, mengendarai mobil merupakan pilihan yang buruk mengingat nafsuku untuk tidur semakin menjadi-jadi.

"Biar kuantar," tangan pria itu mengambil kunci mobil yang di letakkan di atas meja. Tidak takutkah dia jika ada maling yang sengaja mengintai kami kemudian berniat mencuri mobil Revan dengan cara mengambil kuncinya.

Sungguh, efek ngantuk membuat level khayalanku meningkat lebih jauh. Lagipula, jika mobilnya di ambil sekalipun Revan sepertinya tidak ambil pusing. Pria itu memiliki banyak koleksi mobil di mansionnya dengan berbagai merek, dari ratusan juta sampai miliyaran rupiah. Belum lagi kepemilikan rumah yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia sangat memudahkan Revan agar tidak perlu menginap di hotel jika sewaktu-waktu ingin berpergian.

Menceritakan kekayaan Revan memang tidak ada habisnya, pria itu bagaikan Nick Young sedangkan aku hanyalah upik abu yang kebetulan lewat dalam kehidupan pria itu. Lebih tragis lagi dahulu hubungan kami sangat dikecam oleh keluarga Revan. Aku masih bisa mengingat salah satu surahan keluarganya datang ke rumahku kemudian melemparkan sejumlah uang, mengisyaratkan jika aku harus meninggalkan Revan saat itu. Namun semua tekanan tersebut tidak terpengaruh padaku hingga kejadian itu terjadi.

Aku tidak ingin menceritakan lebih dalam karena hal itu terlalu menyakitkan buatku, anggap saja semua kenangan bersama Revan hanya sepercik kenikmatan semata untukku karena dapat mengalami  bagaimana memiliki hubungan bersama salah satu pengusaha muda terkaya di Indonesia.

"Tidak perlu, aku akan memesan taksi online," Aku mengambil ponselku dalam tas berniat segera memesan taksi secepat mungkin. Tetapi belum sempat membuka layar kunci Revan merebut ponsel langsung dari tanganku.

"Tidak perlu, aku akan mengantarmu pulang. Itung-itung kamu bisa berhemat."

Dari kalimat yang dia ucapkan sepertinya Revan masih menganggap jika diriku adalah Lily yang dahulu miskin, mengingat saat itu aku hanya mengandalkan uang seadanya dari orang tuaku yang berada di luar kota dan mencoba bertahan hidup di Jakarta hanya untuk mengejar cita-citaku.

"Tidak perlu, aku bisa masih sanggup membayar ongkos taksi."

"Hentikan kalimat 'tidak perlu' dan terimalah ajakan baikku."

Ajakan baik katanya? Hell!.

"Mr. Handoko, mari berlaku profesional dengan tidak mencampuri urusan orang lain," kakiku melangkah meninggalkan cafe sebelum amarahku memuncak dan berakhir dengan wajah tampan Revan yang di penuhi dengan cakaranku, yang kubutuhkan hari ini hanyalah tidur dan aku tidak sabar memejamkan mataku, menenangkan pikiranku yang sudah dipenuhi makian yang ditujukan pada pria yang tengah mengepalkan tangan dengan posisi siap melampiaskan amarah.

Setelah itu aku yakin, cafe tersebut akan kacau di buat Revan.

Back To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang