Untuk semua hal yang tak bisa kita katakan, mari kita bicarakan.
***
Aku memikirkannya. Aku memikirkan apa yang sebaiknya aku tulis di dalam buku ini. Butuh waktu beberapa detik bagiku, untuk mengumpulkan ingatan dalam satu rotasi putaran penuh, saat kepala ini baru saja dihantam oleh kesadaran bahwa sebenarnya aku tak memiliki alasan khusus untuk menulis.
Hatiku tak terisi, kecuali keheningan. Hampa, bahkan udara kosong pun berserakan di dalamnya.
Tidak. Mungkin aku hanya kesepian.
Duduk—menatap coklatnya dinding ruangan sambil membayangkan saat musim dingin berlalu dengan bunga-bunga yang bermekaran di luar sana, aku selalu mengatakan bahwa, 'aku akan baik-baik saja'. Tapi sekeras apapun aku berusaha, aku tetap tidak bisa mengabaikan luka yang masih terbuka.
Aku kira segalanya telah tiada—lenyap bersama harapan yang telah sirna dimakan waktu. Namun saat aku menutup mata, aku menyadari bahwa; mungkin saja jiwa yang patah ini masih bisa terselamatkan.
Menunggu tanpa mengeluh, dan aku berharap bahwa mungkin pegas hatiku akan datang mengikuti angin musim gugur yang bertiup untuk menyambut musim dingin. Melewati perasaan yang sudah kusampaikan pada bunga-bunga yang bermekaran, nyatanya masih ada banyak hal yang harus kukatakan padamu secara langsung.
Bunga-bunga itu tidak cukup, lantas apa yang harus kugunakan untuk membuatmu percaya, bahwa aku benar-benar akan kembali jika kau mau menungguku.
Kau tahu? Saat seseorang tengah berada di titik terendah dalam hidupnya, ia hanya memerlukan satu hal. Satu saja. Ia hanya membutuhkan seseorang berada di sisinya. Tak perlu mengatakan apapun, tak perlu juga melakukan apapun. Hanya diam di sisinya, dan menemaninya itu sudah cukup. Lebih dari cukup.
Saat kau menjauh, kau perlahan juga memudar. Rasa realitasku, perlahan ikut memudar.
Menyimpan begitu banyak memori itu menyakitkan. Saat bunga-bunga yang bermekaran itu telah tumbuh untuk menghilangkan semua yang menyakitkan, mereka masih menolak untuk pergi dan menghilang begitu saja.
Saat itu, setiap hari rasanya hanya ada air mata yang tak terhitung jumlahnya, untuk menjadi daya tahanku lalui kekeringan.
Apa yang salah dengan kepalaku? Apa yang salah dengan hatiku? Nyatanua, aku bahkan sudah tenggelam dalam kebisingan suara-suara yang selalu mengganggu rungu. Tidak ada yang berubah di sini. Semuanya tampak sama. Ruangan ini masih coklat, bentuknya tetap persegi dan semakin hari rasanya semakin dingin. Tunggu, sudah berapa lama aku di sini?
Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, selain membuang waktuku untuk menatap langit-langit ruangan ini, dengan isi kepala yang bercokol—bertanya-tanya tentang ke mana peginya orang-orang?
Kenapa aku sendiri?
Kenapa aku masih bernapas?
Dan... siapa sebenarnya, aku?
Aku tidak pernah menoleh ke belakang, juga tidak pernah melihat ke depan. Hanya saja, kedua mataku menatap hal yang sama setiap harinya.
Saat aku kembali tersadar, dan ingin kembali untuk pulang, aku bahkan baru menyadri satu hal di dalam diriku yang berubah.
Aku tidak tahu jalan pulang.
Hari itu aku mulai menutup suaraku sendiri, dan mulai terbiasa hanya dengan mendengar suara itu.
Aku ingin bernapas tanpa rasa sakit; aku selalu membenci hari ini.
Aku ingin pulang; tapi di mana rumah yang sesungguhnya?
Mengapa tempat ini begitu gelap tanpa dirimu? Aku tidak ingin kesepian, di mana perginya orang-orang?
Tidak. Mungkin aku terjebak karena terus menciptakan ratusan monster di dalam kepalaku.
Aku mulai rusak.
Tolong katakan, apa yang akan kulakukan setelah mengambil pecahan kaca akibat jatuhnya cangkir seseorang pada makan siang tadi?
Selamatkan aku.
Aku tidak bisa menguasai diriku sendiri dalam kegelapan ini.
Aku selalu berharap bahwa akan ada bunga yang bermekaran lagi, untuk kau ulurkan padaku.
Aku membutuhkanmu.
Karena kesalahan hari itu, hari ini dan mungkin hari esok. Aku menjadi terbiasa mengulang kesalahan yang sama.
Aku marah pada diriku sendiri dan berakhir kehilangan suara dirimu yang selama ini menjadi satu-satunya penutup rasa sakitku.
Aku tenggelam dalam kegilaan ini. Menjadi pecundang yang telah kehilangan dirinya sendiri, aku lantas kehilangan bunga di dalam ruang hatiku yang kosong ini.
Tidak pernah ada lagi yang akan memanggil namaku untuk kembali, dan begitu pun aku. Tubuh, pikiran dan hatiku terhenti. Lalu selanjutnya mataku tertutup rapat.
Maaf, aku kalah dan berakhir berantakan.
Saat kau kembali pada waktu di mana kita pertama kali bertemu, jangan berada di dalam ruangan itu. Jangan menangis dan menatapku seperti itu, agar aku bisa melewatimu.
Arin, aku merindukanmu lebih daripada yang bisa kutanggung. Saat kita tidak memiliki waktu untuk kembali, maka kau harus membiarkanku pergi.
Maaf, harus berpisah seperti ini.
—Kim Taehyung.
Note :
Untuk semua pembacaku. Untuk kamu yang membaca ini. Untuk kamu yang sedang menangis. Untuk kamu yang sedang merasa lelah. Untuk kamu yang bahkan merasa bahwa dunia ini hanya semakin membuatmu terluka, kamu tidak sendirian. Jangan menyerah. Seberapa besar lukamu. Seberapa parah sakitmu. Seberapa sakit hatimu. Kamu tidak sendiri. Aku di sini. Aku hidup di dalam tulisan ini untuk kalian semua. Saat kamu merasa bahwa dunia begitu jahat, seperti apa yang selama ini Taehyung rasakan. Jangan menyerah. Jangan kalah. Jangan berakhir seperti itu. Untuk kamu yang merasa bahwa kesepian tengah menjadi teman hidupmu. Jangan merasa seperti itu. Aku di sini, selalu hidup dalam tulisan ini. Untuk kamu yang merasakan bagaimana luka milik Taehyung, Ahrin dan Jimin. Aku yakin kamu bahkan kauh lebih kuat dari mereka. Untuk kamu yang memiliki keluarga, atau teman yang seperti mereka. Aku mohon untuk tidak membiarkannya sendiri. Jangan tinggalkan mereka dan peluk mereka.
Semoga tidak ada yang memilih untuk menyerah seperti Taehyung. Sejak awal ini bukan kisah yang yang indah. Tapi, bukan juga kisah yang buruk. Ini bukan kisah yang berakhir bahagia, namun juga bukan cerita yang menyedihkan. Ini hanya sebagian cerita dari bagaimana hidup itu berjalan. Begitu keras dan begitu kejam. Tentang luka, dan cara berbagai orang melewatinya. Tentang masa lalu yang begitu pahit dan cara melaluinya.
Arin memilih untuk bertahan dengan semua sisa lukanya. Namun, semua tetap tidak akan berhasil karena perasaan bersalah tetap menghantuinya. Penyesalan selalu datang di akhir. Maka memaafkan dan meninggalkan setelahnya, lebih baik daripada meninggalkannya begitu saja. Seberapa besar lukamu, seberapa perih sakitmu, jangan pernah menyimpannya terlalu lama. Jangan pernah membalas sakitmu dengan rasa sakit yang lain.
Jimin memilih untuk bertahan dan sebisa mungkin memperbaiki kesalahan masa lalunya. Ada Yoongi di sisinya, maka ia perlahan menyembuhkan lukanya. Seseorang juga memerlukan seseorang yang lain. Bukan untuk pelampiasan, bukan juga untuk membalaskan dendam. Hanya untuk melepas semua penat yang singgah. Menguatkan, dan membantunya bertahan.
Taehyung memilih untuk menyerah. Saat semua orang meninggalkannya, bahkan diri sendiri pun tak cukup untuk menolongnya. Ada saat di mana seseorang hanya memerlukan seseorang di sisinya. Hanya diam, tak melakukan apapun dan itu semua jauh lebih baik daripada sendiri. Luka yang dibiarkan begitu saja bukan perkara yang serendah itu. Lukanya bisa membusuk. Menjalar ke berbagai sisi bagian tubuh, sampai rasa keputusasaan datang dan menghantam kewarasan.
Untuk kalian yang sedang merasakan pahitnya luka, aku harap kalian bisa mengambil sikap baik dari Jimin. Bertahan, memperbaiki, dan menyembuhkannya. Seberat apapun itu, aku yakin bahwa Tuhan akan selalu setia bersama kalian❤
Terima kasih,
karena telah bertahan.
—Rinu
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] SLECHT | ✓
Fanfiction[Completed] [Dark Romance] "We are made of all those who have built and broken us." ©2017