Chapter Three

25 6 0
                                    

Happy reading!

Jangan lupa klik ☆ di pojok bawah ya. Kalo sempet, komen. Biar ada penambah semangat.

"Assalamualaikum," Cowok itu mengucap salam ketika memasuki sebuah rumah minimalis bercat abu itu.

"Waalaikumsalam, sayang." Balas seorang wanita setengah baya yang baru saja keluar dari dapur.

"Lho, kok Mama turun sih?" Cowok tersebut menghampiri wanita yang ia sebut Mama tersebut.

Lisa - wanita setengah baya itu - tersenyum lembut. "Mama baru aja selesai masak buat kamu dan adikmu."

Lisa mengusap sayang bahu tegap putra sulungnya itu.

Cowok itu membawa Lisa untuk duduk di sofa. "Biasanya juga aku yang masak, Ma. Jadi Mama gak perlu khawatir soal makanan." Cowok itu menyodorkan sebuah botol mineral yang baru saja ia buka kepada ibunya.

Lisa menerima botol itu dengan senyum yang mengembang. "Masa kamu terus yang masak, sayang. Terus Mama ngapain? Badan Mama bakal kerasa sakit kalo gak digerakin."

Cowok itu menghembuskan napas berat. "Mama gak boleh kelelahan. Ingat pesan dokter, Ma. Mama harus jaga kesehatan, kalo nanti penyakit Mama kambuh terus gak ada siapa-siapa gimana?"

"Mama gak sakit, Varo. Mama sehat." Lisa menatap tak suka kepada putra sulungnya tersebut.

Varo mengulas senyum tipis. "Iya, Mama sehat. Aku salah bicara. Maaf ya, Ma."

Lisa mengangguk. "Gak apa-apa sayang. Mama tahu kamu khawatir. Tapi, jangan pernah berpikir kalo Mama sakit, sayang. Mama sehat kok. Kamu gak usah terlalu mikirin keadaan Mama." Lisa tersenyum lembut, mengusap bahu sang anak. "Ya udah, sekarang kamu ganti baju terus langsung makan, ya?" Lisa bangkit dari duduknya.

Varo tersenyum pahit, ia tahu Mama sedang dalam kondisi yang buruk. Imunitas tubuh sang Mama menurun drastis sejak kejadian 2 tahun lalu.

"Iya, Ma." Lalu Varo melangkahkan kakinya menuju kamarnya yang berada lantai 2 rumahnya.

Langkah kakinya terhenti di depan sebuah pintu bercat pink. Pintu yang terdapat sebuah gantungan berbentuk huruf 'V&V' itu adalah kamar milik sang adik.

Beberapa kenangan berkelebatan dalam pikirannya. Wajah imut sang adik yang memperhatikan kedua gigi susunya yang tanggal. Wajah cemberut namun menggemaskan bagi Varo. Dia adalah dunia Varo sampai kapan pun. Namun sayang, dunia kecilnya itu harus hancur akibat kelalaiannya di masa lalu.

'Tak ingin berlama-lama di depan kamar sang adik, Varo melanjutkan jalannya menuju kamarnya yang berada dua pintu setelah kamar sang adik.

Varo menyandarkan tubuhnya di balik pintu kamarnya. Kamar yang sama sekali tak tersentuh oleh orang lain - kecuali sang ibu dan adiknya - itu menjadi saksi bisu kepedihan serta perjuangannya bangkit secara tertatih-tatih. Menata kembali segala hal yang hancur dalam satu hari. Hati, jiwa, hidup, dan bahkan keluarganya hancur pada saat yang bersamaan. Hal yang sangat sulit untuk Varo. Kehilangan serta kegagalan mengajarkan Varo; bahwa hidup tak selalu berjalan keinginan kita.

Dengan langkah lemas, Varo berjalan menuju meja belajarnya yang tak pernah kosong dari tumpukan buku-buku, baik itu buku catatan hingga buku paket pelajaran memenuhi meja berukuran 1,5×1 meter itu. Namun, masih ada celah untuk menyimpan beberapa frame yang berisi foto seorang gadis manis nan cantik. Wajah ovalnya menjadikan gadis itu seperti seorang bidadari, ditambah dengan bibir mungil, hidung yang bangir, serta mata bulat yang dihiasi oleh alis tebal.

Gadis itu tersenyum lebar ke arah kamera. Jari telunjuk dan jari tengahnya ia acungkan, membentuk simbol peace. Gigi kelincinya jelas terlihat. Lalu sebelah tangannya merangkul Varo yang memasang wajah datar.

Violet : Ketika si Angkuh DatangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang