Kau membawaku melayang dalam bayang. Membawa anganku untuk berharap begitu tinggi menembus langit, hingga terasa ragaku tak lagi berpijak pada lembah duka. Sampai akhirnya, kau pergi tanpa kata, meninggalakanku menyisakan kenangan kerinduan.
"Bang!" panggilku pada Bang Revan, kakakku.
"Apaan?" Dia langsung berbalik menatapku dengan sarkas.
"Hehehe. Nebeng," ucapku santai.
"Dasar, ya. Udah tau gue mau telat malah minta tebengan. Sono naik taksi aja." Bang Revan meneruskan jalannya menuju motor Scoopy putih yang telah terparkir di depan rumah.
"MA, BANG REVAN NGGAK MAU NGANTER MIRA!" teriakku.
"VAN, ANTER ADEKMU DULU!" respon mama dari dapur.
"IYA, MA ... ayo, cepetan kalau mau nebeng!"
"Hehehe ... sabar, Bang," ucapku dengan cengiran tanpa dosa.
Akhirnya, Bang Revan mengantarku ke sekolah dengan terpaksa, tampak dari raut wajah datarnya yang terlihat dari kaca spion. Sepanjang perjalanan, dia hanya diam tanpa bertanya apa-pun kepadaku.
"Sekolah yang bener." Setelah mengatakan tiga kata itu, Bang Revan langsung pergi. Syukurlah dia mengantarkanku sampai di depan gerbang sekolah. Biasanya, dia hanya mengantarku sampai lampu merah yang tak jauh dari sekolah.
"Mira!" panggil seseorang yang suaranya begitu familiar di telingaku.
"Adnan," lirihku. Saat lelaki manis itu sampai di depanku, dia langsung merangkulku tanpa rasa risih.
"Lepasin, Nan! Ini di gerbang sekolah. Malu dilihatin anak-anak," ucapku seraya berusaha melepaskan rangkulan tangannya.
"Biarin. Kalau mereka komen, berarti mereka iri sama kita," jawab Adnan santai.
"Dasar!" Kekasihku yang satu ini memang tak punya malu sepertinya. Dengan santai merangkulku melewati koridor saat banyak siswa yang berlalu-lalang. Mungkin mereka semua sudah terbiasa dengan pemandangan ini hingga tidak merasa terkejut karena kelakuan Adnan.
Saat sampai di depan kelasku, dia berkata, "Belajar yang pinter biar jadi dokter." Dia mengusap puncak kepalaku dan aku hanya tersenyum sambil mengangguk.
"Ehem," deham seseorang di belakangku, "kalau mau mesra-mesraan jangan di depan pintu, oy."
"Masalah?" sarkas Adnan.
"Eh, Babang Adnan." Devinta langsung kembali ke kelas.
"Ih, jangan galak-galak napa, sih." Adnan hanya tersenyum menanggapi.
"Iya-iya. Ya udah, kamu masuk, gih!"
"Nggak, ah. Kamu ke kelas dulu sana!"
"Gini, deh. Mira masuk dulu. Takutnya ada temenmu yang iri, terus kamu diapa-apain lagi," ucap Adnan membuatku terkikik.
Bagaimana tidak? Seraya mengatakan itu dia menatap Devinta dan dibalas dengan tatapan tajam oleh wanita itu.
"Ya, udah, bye." Aku masuk kelas, mendudukkan diri di tempatku.
Adnan masih saja mengawasi dengan mata elang dari depan pintu. Setelah aku duduk dengan nyaman, Adnan beranjak dari sana dengan melambaikan tangan padaku.
Jam pelajaran berlalu dengan lambat. Bu Hani masih saja bersemangat untuk menjelaskan angka-angka yang berderet di depan sana. Dengan suaranya yang keras membuat seluruh siswa membuka mata lebar-lebar.
"Shut!" Suara samar-samar dari jendela kelas membuatku melirik ke sana.
"Adnan," lirihku. Dengan gerakan bibirnya yang tidak terlalu jelas, membuatku tidak paham dengan apa yang ingin dia sampaikan. Karena diriku yang tak kunjung paham, Adnan memberi kode padaku untuk keluar kelas.

KAMU SEDANG MEMBACA
(not) Perfect
Historia Corta[KUMCER] 'Between Us' "Kenapa?" bingung Cholin. Dia membuka mata karena tak kunjung merasakan ada benda kenyal yang mendarat di area wajahnya. "Alisa." Ternyata ada Alisa yang tiba-tiba hadir di seberang sana sedang menyaksikan mereka. "Sepertinya d...