Eleven (Έντεκα)

267 29 7
                                    

*Iblis berjubah putih*

*

Aku menyesal mengapa aku tidak berteriak saja ketika dia muncul dan mengejutkan ku. Akhirnya, meski telat beberapa detik untuk terkejut, aku pun memutuskan untuk berteriak sekencang mungkin. Sayangnya bahkan dalam situasi buruk seperti ini, semua perawat atau petugas —apapun nama nya— yang biasa ada di setiap koridor berlalu lalang, tidak tampak satu pun di tempat ku berdiri sekarang.

Ian memutar bola matanya bosan, sebelum akhirnya membekap mulutku dengan tangannya, dan menyeret ku masuk ke dalam ruangan terdekat dari tempat aku bertemu dengannya tadi.

Aku seperti sudah kehilangan kepercayaan diri untuk bisa lolos darinya saat ini, jadi alih-alih berusaha menghindarinya lagi, aku hanya bisa diam tidak memberontak sama sekali. Namun, begitu Ian melepaskan tangannya dari mulut ku.

Aku berteriak di depan wajah nya, teriakan paling kencang yang pernah bisa dihasilkan dari pita suara ku "Demi dewa Neptunus, Apa sih masalah mu ?"

"Masalah ku, adalah Kau !" Lontar Ian, jari telunjuk nya mengarah padaku, —tepatnya hanya beberapa sentimeter dari hidungku. "Kita belum selesai bicara, kumohon jangan seperti ini, ini bukan hanya melelahkan, tapi juga menyakitkan kau tahu ?" Suara nya 180 derajat berubah menjadi halus, seperti tidak ada masalah diantara aku dan dia sebelumnya. Seperti saat Ia sedang bersama ku dan Chun-chun saat sedang menghibur Chun-Chun tentang tragedi makanan kala itu.

Aku mengerutkan alis ku, samar. Aku berpikir keras dengan sikap nya yang berubah-ubah seperti ini. Karena tidak mengerti, dan menyerah dengan nya aku memalingkan wajah ku darinya, untuk memandang ke arah lain.

Ian menghembuskan nafas berat, seraya menjambak rambutnya sendiri. "Aku bertanya apa itu benar kau ? dan kau marah ! Aku meneriakkan apa yang ku pikirkan tentang siapa sebenarnya kau di kepalaku selama ini dan kau pergi ! Oliv, bisakah kau hanya jelaskan siapa dia ? apa yang kalian lakukan disana ? mengapa kalian pergi kesana ?" Ian meletakkan kedua tangannya di bahu ku, dan menatapku lurus. "Hanya menjawab pertanyaan itu, apa sulit ?"

Rahangku melorot begitu Ian selesai dengan penjelasannya—aku menganggap nya itu penjelasan bukan pertanyaan. Aku melepaskan bahuku dari tangan Ian, dan mendengus. Dia bilang apa ? bertanya ? dia berteriak di depan wajah ku, itu bukanlah pertanyaan tapi itu adalah pernyataan yang ingin dia dengar, dia juga menatap ku seperti menuduh sambil berkali-kali membunuh ku dengan mata dan mulutnya, — kau tahu maksudku.

 Muncul kilat di mata Ian, begitu aku terlihat menganggap lucu ucapannya.

"Dengar aku tidak akan mengulanginya lagi." Kata ku, "Apa kau Orang tua ku ? Saudaraku ? Temanku ? Sahabat ? Peliharaan ? atau..." aku memainkan lidahku pada dinding mulut ku sebelum mengeluarkan kalimat menjijikan ini untuknya, "pacar ku?"

Lidah ku menjadi geli sendiri, saat mengucapkan kalimat 'pacar'.

Ian tidak menjawab, tapi pandangannya tidak berpindah seinchi pun dari wajah ku. Sepertinya rasa marah ku kepada Ian telah membuatku menjadi lebih berani, sehingga aku pun juga tidak mengalihkan mata ku dari matanya.

Kami berdiri cukup lama, hanya untuk saling menghunuskan tatapan tajam kami satu sama lain, sebelum akhirnya mata hijau Ian terpejam selama beberapa detik dan kembali menyala lagi. Ian mengangkat kedua tangannya ke udara, seakan-akan aku telah menodongkan senjata ke arahnya.

"aku tidak punya jawaban atas semua pertanyaan mu, untuk saat ini."

Aku mengurangi intensitas pandangan ku padanya, "Yeah, bagus kalau akhirnya kau sadar. Setidaknya kau tidak mengaku-ngaku." ucapku, yang lebih terdengar seperti guamaman.

The Clarity of RedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang