Chapter 3| Dia kasar

82 40 42
                                    

.

.

Terkadang ingin rasanya aku menangis saat kau berbuat kasar padaku, tapi percuma karena aku tau kamu tak akan pernah bisa mendengarnya.

.

.

Dyra menggulung lengan hodie yang dikenakannya hingga siku saat mobil jemputannya sudah mulai menjauh dari sekolah, dari balik hodie yang dikenakannya itu menampakkan tangan gadis itu yang memerah.

"Awww." Dyra meringis kesakitan saat mencoba menyentuh tangannya yang memerah itu, ia baru sadar perlakuan seorang cowok disekolahnya tadi bisa meninggalkan bekas dan rasa nyeri yang lumayan. Ingatan Dyra kembali pada kejadian siang tadi dikantin sekolah.

Dyra sedang fokus menikmati nasi goreng yang dipesannya, sesekali gadis itu tertawa mendengar lelucon yang dilontarkan cowok dihadapannya, Yoga. Tapi kegiatan mereka terusik saat Elang datang, cowok itu duduk disamping Dyra, memperhatikan gadis itu yang sedang makan.

"kak Elang? Ngapain disini?" tanya Dyra. Bukannya menjawab Elang hanya memperhatikan gadis itu dengan tatapan tajam. Seharusnya Dyra tak bertanya seperti itu, seharusnya ia sadar kalau ia sudah berbuat kesalahan dan setelah ini akan mendapat balasan atas apa yang diperbuatnya.

"Ikut gue!!" hanya satu kata itu yang terlontar dari mulut Elang, cowok itu berdiri dan pergi meninggalkan mereka berdua.

"Aku duluan ya Yoga." Dyra bergegas mengejar Elang yang sudah jauh, langkah gadis dipacu cepat untuk menyeimbangkan langkah Elang yang lebar.

Kini Elang dan Dyra berjalanan beriringan dalam diam, tak ada satu kata pun keluar dari keduanya. Sepertinya keheningan lebih suka melihat mereka seperti ini. Dyra memperhatikan cowok disampingnya, mata tajam Elang membuatnya takut.

"Kak Elang marah ya?" Dyra memberanikan dirinya untuk bertanya, tapi tak ada jawaban yang terlontar dari mulut Elang. "Kak Elang jawab dong jangan diam aja."

"...."

"Kak Elang."

"Lo bisa diam gak sih?!!" Dyra tersentak mendengar bentakan dari Elang, entah mengapa hal itu membuat hatinya sakit. Mungkin karena selama ini tak ada yang pernah membentaknya seperti cowok itu.

"Maaf," ucap Dyra pelan. Ia berhenti berjalan, jawaban Elang cukup membuktikan kalau ia sedang tak ingin bicara.

Elang yang tau Dyra berenti berjalan langsung membalikkan badan, ditatapnya gadis itu yang tengah menunduk sambil memainkan roknya. Entah mengapa hal itu membuat Elang makin emosi, tangannya mengepal di samping tubuh.

"Kenapa lo suka banget bikin masalah sama gue, lo bodoh atau apa sih? Gue bilang apa tadi? Tungguin gue sampai selesai main kan? Masih punya telinga kan? Tapi kenapa lo malah enak-enakan makan di kantin sama pacar lo itu!!"

Dyra diam, kepalanya semakin menunduk mendengar semua pertanyaan Elang, ia tahu betul ini semua kesalahannya.

"Kenapa sekarang diam? Jawab!!"

Bentakan itu membuat Dyra mendongak, menatap wajah Elang yang berdiri tak jauh darinya. Untung saja lorong itu sepi, jadi tidak akan yang mendengarnya.

"Maaf kak, tapi Yoga itu bukan pacarku dia cuma...."

"Jangan membantah ucapan gue!!" Elang maju dan mencengkram tangan Dyra kencang, hingga membuat gadis itu meringis. "Gue gak suka ucapan gue dibantah!!"

"Maaf kak," lirih Dyra pelan.

"Maaf lo bilang? Maaf lo gak ada artinya!"

Hilang sudah kesabaran Elang, ia terus saja membentak, mencaci-maki bahkan menyakiti gadis yang ada di hadapannya. Sedangkan Dyra tak bisa berbuat apa-apa, tangannya terasa perih di cengkraman Elang dan tangisannya pun rasanya tak akan meredakan amarah cowok itu.

Dyra tersadar dari lamunannya saat mobil yang ditumpanginya sudah sampai, ia segera menghilangkan pikirannya tentang Elang dan menggulung kembali Hodie-nya agar bekas luka itu tak diketahui keluarganya. Hal yang pertama dilihat gadis itu saat turun dari mobil adalah seorang wanita paru baya sedang menyiram taman bunga disamping rumah, dengan senyum merekah Dyra menghampirinya dan memeluk wanita itu dari belakang.

"Bunda Dyra pulang," ucapnya sambil mencium pipi Bundanya.

"Dyra, kamu ngagetin aja sih." Bunda melepaskan tangan Dyra dari pinggangnya, ia berbalik dan menatap wajah putrinya sambil mengelus rambut panjang Dyra. "Kamu pasti lapar, Bunda udah siapain makanan kesukaan kamu loh."

Seketika mata Dyra melebar mendengar kata 'makanan' memang sedari tadi perutnya sudah berbunyi, dan untung saja Bundanya sudah menyiapkan makanan untuknya.

"Iya Bunda, Dyra laper. Pakai banget malah," kekeh Dyra, ia segera berlari masuk kedalam rumah mencari makanan. Sedangkan Bunda hanya bisa tersenyum melihatnya, ia sangat senang putri satu-satunya itu bahagia.

"Bunda makanannya dimana, kok gak ada," teriak Dyra dari dalam rumah, membuat Bunda menggelengkan kepalanya.

"Di rak atas Dyra, sebelah kanan tempat bumbu." Bunda pun berteriak, agar Dyra bisa mendengarnya.

"Bunda Dyra gak ngerti, sebelah kanan itu dimananya."

Untuk sesaat Bunda terdiam, air yang keluar dari selang dibiarkan mengalir tanpa arah. Ia baru ingat sekarang atas kelemahan putrinya. Dengan cepat ia berjalan memasuki rumah sambil terus merutuki diri, bagaimana ia bisa lupa akan kelemahan anaknya.

Saat sampai di dapur, mata Bunda menangkap sosok Dyra yang sedang terduduk lesu di lantai. Dengan gerakan pelan Bunda membawa Dyra kedalam dekapannya, mengelus punggung gadis itu dengan pelan.

"Maaf sayang Bunda lupa," bisik bunda ditelinga Dyra.

Inilah yang dari dulu ditakuti Bunda, melihat putrinya tak bisa hidup mandiri meski sudah menginjak sekolah menengah atas. Melihat Dyra seperti ini membuat Bunda takut, takut apakah nanti putrinya akan selamanya seperti ini atau bernasib sama dengan Ayahnya.

"Iyah gak apa-apa Bunda, maafin Dyra juga ya selalu nyusahin Bunda. Mungkin benar kata orang kalau Dyra selalu menyusahkan Bun..." Ucapan Dyra terhenti saat bunda melepaskan pelukannya dan menatapnya.

"Gak ada di dunia yang mau ada di posisi Dyra seperti sekarang, kalau Tuhan menciptakan kelemahan buat kamu berati Tuhan mau Dyra menjalaninya dengan iklas. Begitu pun juga buat Bunda, kalau Tuhan menitipkan kamu ke Bunda, berati dia mau Bunda menjaga Dyra sepenuh hati, kamu itu gak pernah menyusahkan Bunda."

Mendengar hal itu membuat Dyra terdiam padahal ia tau betul dirinya selalu merepotkan bundanya hingga usianya kini menginjak 16 tahun ia masih belum bisa hidup mandiri, ia masih bergantung pada Bunda dan orang sekitarnya.

"Takdir memang kejam sayang, kamu harus rela diejek karena kelainan kamu, tapi Bunda yakin kamu pasti bisa melewatinya karena Bunda tau Dyra anak yang hebat, Dyra tak akan pernah lelah untuk mencoba dan mencoba, terus berusaha ya sayang, Bunda yakin kamu bisa melewati semua."

Dyra menganggukkan kepalanya, sampai hari ini ia masih kuat menghadapi semua karena ada Bunda disampingnya. Entah sampai kapan kekuatan itu bertahan, padahal sampai sekarang pun rasanya ia sudah tak mampu menjalaninya. Dyra kembali memeluk bundanya, ia selalu berharap Tuhan menjaga bidadari tak bersayap dihadapannya ini.

ooOoo

Halo ketemu lagi
Bagaimana dengan chapter ini?
Moga suka ya

Kira-kira Dyra kenapa ya? wkwk

Jangan lupa voment, karena itu berharga buatku.

See you again

Rahayurahani

RELEASE ITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang