Bab 18

4.9K 245 2
                                    

“Permisi, ini kartu nama saya. Saya ingin bertemu dengan Pak Michael. Saya sudah membuat janji jam sembilan.”

“Oh! Kalau begitu, Ibu silahkan langsung saja naik ke lantai dua puluh. Ruangan Pak Michael ada di sana.” Kata wanita yang menjaga meja resepsionis itu dengan ramah.

Segera saja, gue melenggang masuk ke dalam lift yang terbuka lalu menekan angka dua puluh. Saat pintu lift terbuka, seorang wanita yang gue yakini sebagai sekretaris Mike, menyambut gue ramah.

“Silahkan, Anda sudah ditunggu oleh Pak Michael.” Kata wanita tersebut.

Setelah mengucapkan terima kasih, gue langsung mengetok pintu dan melenggang masuk ke dalam ruangan itu.

“Selamat pagi, Pak Michael!”

Mike memutar kursinya, dan langsung menghadap ke arah gue. Saat dia melihat gue, muka kekagetan tergambar jelas.

Ha! Gotcha!!!

“Kay-la?” kata Mike terbata-bata.

“Perkenalkan, nama saya Rhea Pratama. Saya mewakili perusahaan saya untuk datang membicarakan proyek kerja sama dengan Anda.” kata gue dengan penuh keyakinan.

Wajah ga percaya langsung tercetak jelas di muka Mike.

“Boleh saya duduk?” kata gue masih dengan sikap profesionalisme yang tinggi.

“Si-silahkan!” kata Mike salah tingkah.

“Terima kasih.” Kata gue sopan.

Gue langsung duduk tepat di hadapan Mike, lalu mengeluarkan semua dokumen penting dari tas gue.

“Ini proposal proyek kerja sama perusahaan kita, silahkan Anda lihat.” Kata gue sambil nyerahin map biru yang berisi kertas yang tebalnya ga kira-kira.

Mike ambil map itu tanpa melepaskan matanya dari mata gue.

“Apa ada yang salah dengan saya, Pak Michael?” Tanya gue tanpa mengurangi rasa hormat.

Gue tau, sebenernya Mike kaget setengah mati. Tapi dia harus professional dong!

“Kay, kamu … pemilik perusahaan Pratama?” Tanya Mike hati-hati.

“Iya. Saya pemilik dari perusahaan Pratama. Apa ada yang salah?” Tanya gue.

“Perusahaan Pratama itu bukannya milik….” Mike berhenti sejenak dan berpikir.

“Maaf Pak, kalau ini menyangkut masalah pribadi, saya tidak bisa menjawab. Bapak bisa memulai membaca dokumen tersebut, dan kita bisa segera membahas hal selanjutnya.” Kata gue menatap Mike tajam.

Mike jadi salah tingkah, dan segera menenggelamkan diri dalam isi dokumen itu.

Gue terus perhatiin wajah Mike yang serius.

Gue ga bisa bohong. Mike emang ganteng banget! Bahkan, saat dia serius seperti sekarang, dia terlihat lebih ganteng!

Fokus Kay! Fokuuuussss!

“Sudah selesai, Pak?” Tanya gue saat gue udah liat Mike menutup map biru tersebut.

“Sudah.” Jawab Mike serius.

“Jadi, apa bapak setuju?” Tanya gue yang juga serius.

Mike menyenderkan punggungnya ke kursinya dan menatap gue lekat-lekat.

“Saya menyetujuinya atau tidak, akan saya pikirkan terlebih dahulu. Karena saya harus bertanya kepada calon istri saya, apa dia mau menikah dengan saya atau tidak. Karena hal itu sangat berpengaruh terhadap proyek ini.” Kata Mike tegas.

Calon istri?

“Baik. Kalau begitu, saya tinggalkan dokumen ini. Saya harus pergi. Saya punya janji dengan calon suami saya jam sembilan nanti. Selamat pagi.” Kata gue yang sudah beranjak dari kursi gue dan berjalan ke arah pintu keluar.

Baru aja gue memegang kenop pintu, Mike udah angkat suara.

“Sekarang udah jam Sembilan. Lu nunggu apa lagi?” Tanya Mike.

Gue langsung balikin badan dan menghadap ke arah Mike.

“So… masalah pribadi ada sangkut pautnya sama masalah kerjaan ya?” Tanya gue sinis.

“Ngga juga. Harusnya ga pernah kayak gitu.” Kata Mike membela diri.

“Jadi harusnya kayak gimana?” Tanya gue yang udah mengambil tempat duduk di sofa kantornya Mike.

“Kenapa lu ga bilang kalo lu pemilik perusahaan supplier barang-barang konstruksi?” tanya Mike yang udah menyodorkan gue secangkir teh hangat yang baru aja dia buat.

“Buat apa?” Tanya gue balik.

“Gue jadi makin bingung. Lu ini misterius banget!” kata Mike jujur.

Gue mengambil cangkir teh itu dan menyesap teh hangat itu perlahan. Hm... harum dan nikmat!

“Karena misterius, makanya banyak yang tertarik. Iya kan?” kata gue menantang Mike.

“Terserah!” kata Mike sedikit kesal.

Gue kembali menyesap teh gue. Rasanya sangat menenangkan.

“Jadi, apa jawaban lu?” Tanya Mike tanpa basa basi lagi.

“Lu yakin mau nikah sama orang yang lu ga kenal sama sekali?” tanya gue sambil menatap Mike serius.

Mike balik membalas tatapan gue tanpa ada keraguan.

“Nih, kotak cincinnya. Gue balikin.” Kata gue sambil menyodorkan kotak cincin kemarin ke arah Mike.

Mike terkaget, dan ragu mengambil kotak itu.

“Lu nolak gue?” tanya Mike menyakinkan.

Gue ga jawab dan hanya nikmatin teh hangat dengan cangkir yang antik ini.

Mike terlihat lesu, sampai akhirnya Mike membuka kotak cincin itu dan kaget!

“Gue ga bilang gue nolak lu. Lu sendiri yang bikin kesimpulan!” kata gue di tengah-tengah acara minum teh gue.

Mike menatap gue ga percaya sekaligus bahagia. Matanya berbinar-binar. Kotak cincin yang udah ga ada cincinnya itu langsung diletakkan di meja sembarangan. Mike langsung mengambil cangkir dari tangan gue, taro di meja, dan menarik gue ke pelukannya!

“THANK YOU!!!!” bisik Mike yang kelewatan keras.

Gue hanya tersenyum.

Yah, mungkin ini pilihan terbaik. 

My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang