“Tinggalah walau sebentar saja. Aku tak akan memaksamu lebih lama lagi. Tapi, bila kau memang memilih orang lain, ku tak akan mengusikmu lagi. Asalkan kau tetap berada dalam jarak pandangku, melihatmu bahagia dengan seluruh keputusanmu. Itu pun sudah lebih dari cukup untukku.” Ezra Athmar - Hokitika, New Zealand
***
Isi notesnya hanya seperti itu, dan ada tanda tangan di pojok sebelah kanan bawah notes. Yang jadi pertanyaanku sekarang, aku serasa mengenali tanda tangan ini. Tetapi, siapa? Apa boleh buat, berhubung aku belum sarapan dan jam kerja di mulai 20 menit lagi, tidak ada salahnya untuk melahap sarapan ini bukan. Terlebih lagi di ruangan ini masih kosong juga. Aku pun membuka kotak bekal itu, dan menyantapnya dengan wajah sumringah. Tanpa aku sadari seseorang di balik pintu sedang tersenyum penuh arti.
Seseorang lantas masuk, dengan suara langkah kakinya, aku yakini dia adalah seorang wanita. Terdengar jelas dari suara hentakan high heels yang sedang di gunakannya.
“Hei, sarapan di sini ternyata. Tumben banget kamu bawa bekal? Perasaan, tadi pagi kamu gak bawa apa-apa deh dari rumah.” Ucap Carissa bersender di bilik sebelahku.
“Hahah, aku juga lagi beruntung kayaknya. Kebetulan belum sarapan, terus ada sekotak makanan di atas mejaku.”
“Hah? Lho, ku kira kamu bawa bekal sendiri.”
“Boro-boro mau bawa bekal. Orang niatnya mau berangkat lebih awal sendirian. Ini juga gak tau dari siapa. Baca deh. Orangnya cuman ninggalin ini aja di atas kotak bekalnya.” Ucapku seraya menyodorkan notes.
Mata Carissa pun terbelalak kaget. “Bentar deh, kamu liat gak inisial dari tanda tangannya?”
Aku pun lantas menoleh, dan mengambil kembali notes itu dan melihatnya dengan teliti. “Inisialnya ‘E’.”
“Tuh kan, di ruangan ini yang inisialnya ‘E’ cuman si keparat itu deh, Li.”
Aku pun mengerutkan dahi, berpikir tentunya. Tapi, ucapan Carissa memang ada benarnya. Di ruangan ini memang nyatanya hanya Ezra yang namanya berawalan huruf ‘E’.
Tak terasa, waktu menunjukkan pukul 07.50, satu per satu para karyawan divisi pemasaran memasuki ruangan ini. Carissa pun lantas kembali melangkah menuju meja kerjanya. Seharian ini mungkin aku kurang fokus. Memikirkan apa yang Carissa katakan juga.
◎◎◎
Ke esokan harinya sampai belasan hari berlalu, kotak bekal itu selalu ada di atas meja kerjaku. Membuatku semakin enggan untuk sarapan di rumah bersama teman-temanku. Bagaimana tidak, aku pernah mendapati isi kotak bekal itu seperti lasagna, sphagetti, dan makanan lainnya yang membuatku semakin penasaran dengan orang yang selalu memberiku sekotak menu sarapan ini.
Saat aku sedang menutup kembali kotak bekal yang isinya sudah aku lahap, aku mendapati sebuah notes lainnya di samping monitorku, aku mengambilnya dan membacanya seksama.
Isi notesnya adalah..
Hai, nona. Aku senang melihatmu setiap hari menghabiskan bekal yang sudah aku siapkan. Tenang rasanya melihatmu sarapan dengan lahap seperti itu. Tetapi, aku juga ingin bertemu, bertatap muka, dan mengobrol hanya berdua saja denganmu. Ku harap, kamu mau datang ke bukit belakang kantor sore nanti. Sendirian tentunya. Aku akan menunggumu, nona.
Kurang lebih isi notesnya seperti itu, dan seperti biasa ada tanda tangan yang di bubuhkan di sana. Ya Tuhan, aku benar-benar ingin tahu siapa orang ini. Tapi, aku sedikit takut untuk pergi seorang diri ke sana. Aku takut, bagaimana bila yang sedang menungguku di sana adalah laki-laki jahat? Oh ya ampun, sepagi ini aku sudah melantur. Tetapi, aku yakin bahwa orang itu bukanlah Rasya. Aku pernah menanyainya perihal kotak bekal itu. Tapi dia bilang, dia tidak mungkin memberikan sarapan untukku dengan notes seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between
Teen FictionKadang hidup itu selalu di warnai dengan berbagai pilihan. Entah itu baik ataupun buruk. Begitu pula kehidupan yang di jalani Cordelia. Berbagai konflik muncul di dalam hidupnya, akankah dia bertahan dan kembali bangkit? Atau hanya akan menyerah pad...