“Lia, kamu baik-baik saja?” Tanya Ezra dengan khawatir.
“Aakh, ini perih.” Ucapku sembari memegangi luka di lututku. Sedangkan Ezra semakin menampakkan wajah khawatirnya.
Aku pun berusaha untuk kembali berdiri. Tetapi, saat aku hendak berdiri rasa sakit di sekitar lutut dan telapak tanganku semakin terasa, aku hampir saja terjatuh kembali. Namun, Ezra dengan sigap menangkap tubuhku yang limbung, lalu membantuku duduk sembari bersandar ke pohon tua yang berada tepat di belakang kami. Sedangkan Ezra langsung mengambil handphoneku yang tadi terjatuh, dan sedikit menepuk-nepuk layarnya. Sepertinya amat kotor, melihat tempatku terjatuh tadi banyak dedaunan kering. Lalu Ezra pun kembali menghampiriku dan menyodorkan handphoneku, aku lantas mengambilnya.
Ezra pun duduk tepat di sebelahku, lalu menarik tanganku dan membaliknya. “Kalau jalan, bisa gak sih hati-hati? Kamu tau, kamu cuman nyakitin badan kamu sendiri kalau kayak gini caranya.” Ucapnya sembari mengusap telapak tanganku yang lecet dan sedikit mengeluarkan darah.
“Aku baik-baik saja.” Ucapku, sembari menarik tanganku dari genggamannya.
“Maaf.” Ucapnya. Lalu suasana di antara kami menjadi canggung. Aku hanya menatap kakiku yang lama-kelamaan rasa sakitnya semakin terasa.
Aku pun menatap layar handphoneku, agak kotor memang. Tapi, tidak terjadi masalah sedikit pun dengan kinerjanya. Aku masih beruntung. Aku pun lantas menelepon Carissa. Beberapa kali terdengar nada sambung, dan akhirnya Carissa pun menjawab panggilan teleponku.
“Lia, kamu ada di mana? Dan kamu bersama siapa?” Tanya Carissa dari sebrang sana.
“Carissa, kalian ada di mana? Aku tadi sempat terjatuh,-” Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, Carissa langsung menjawab dengan nada sangat khawatir.
“Ya Tuhan, kamu sekarang ada di mana?”
“Aku berada tepat di belakang wahana Bianglala. Cepatlah...” Ucapku dengan nada lemas.
“Baiklah, tunggu kami. Dan kamu, jangan kemana-mana. Tetaplah di situ..” Ucap Carissa yang langsung menutup sambungan teleponnya. Aku hanya mendengus kesal dengan perlakuan salah satu sahabatku itu.
“Bagaimana? Apa Carissa akan ke sini?” Tanya Ezra.
Aku pun lantas menoleh ke arahnya. “Ehm, sepertinya begitu. Kita di minta menunggunya di sini.” Ucapku yang langsung mengalihkan tatapanku ke arah wahana Bianglala yang ada di depan kami. Suasana pun kembali canggung. Hanya terdengar suara binatang-binatang di malam hari yang suaranya saling bersahutan.
“Lia, aku tak tau harus mengatakan apa lagi. Tapi, aku benar-benar minta maaf atas kejadian beberapa tahun lalu. Aku menyesal telah meninggalkanmu begitu saja.” Ucap Ezra setelah beberapa saat kami saling terdiam.
“Sudahlah, tak perlu membahas hal itu berulang kali. Mau bagaimana pun, itu hanya sebuah masa lalu. Yang sudah seharusnya kita lupakan. Aku juga sudah mengatakan berkali-kali, bahwa aku sudah memaafkanmu. Hanya saja, hati kecilku tak bisa melupakan kejadian pahit itu begitu saja.” Ucapku masih dengan tatapan lurus menatap Bianglala.
“Aku sadar atas kebodohanku di masa lalu. Tapi sekarang, aku mohon beri aku kesempatan untuk menebus rasa bersalahku, Lia..” Ucap Ezra.
“Kau ingin aku memberimu kesempatan untuk apa? Untuk kembali menghancurkan hidupku?” Tanyaku dengan nada dingin.
Jujur, aku muak harus berulang kali membahas hal ini. Ayolah, itu hanya masa lalu kelam yang aku alami. Walaupun aku tahu bahwa dia bukanlah pelakunya, tetapi kakak kelasku itu mengatas namakan dia saat itu. Bagaimana aku bisa melupakan semua kejadian itu? Tubuhku terluka, begitu pun dengan hati dan perasaanku yang hancur tak tersisa. Lantas, aku harus memberikan kesempatan apa lagi untuknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Between
Teen FictionKadang hidup itu selalu di warnai dengan berbagai pilihan. Entah itu baik ataupun buruk. Begitu pula kehidupan yang di jalani Cordelia. Berbagai konflik muncul di dalam hidupnya, akankah dia bertahan dan kembali bangkit? Atau hanya akan menyerah pad...