Ch. 9

14 2 0
                                    

“Cordelia, tunggu sebentar.” Suara seseorang menginterupsiku untuk berhenti melangkah, aku pun lantas menoleh dan mendapati Ezra berdiri tidak jauh dari tempatku dan Carissa berada.

“Ada yang mau aku bicarakan berdua saja denganmu.” Ucapnya sembari menatap mataku dalam.

Apa yang akan Ezra katakan? Dan kenapa harus berdua saja?

“Baiklah. Carissa pulanglah duluan. Aku nanti akan menyusul.” Ucapku sembari menatap Carissa.

“Kau yakin?”

“Iya, tentu saja.”

“Baiklah kalau begitu, aku pergi duluan. Jaga dirimu baik-baik, Lia.” Ucap Carissa sembari melangkah pergi. Aku masih memperhatikan Carissa sampai dia berbelok di ujung koridor sana. Dan mau tak mau membuatku mengalihkan pandanganku kepada Ezra.

“Ada apa? Apa yang ingin kamu bicarakan?”

“Aku gak tahu kenapa kamu akhir-akhir ini kelihatan menjaga jarak. Entah aku yang salah atau ada apa?”

“Hm? Gak juga kok. Biasanya kan kamu yang nyamperin aku duluan.”

“Iya, ya. Biasanya aku yang selalu mendatangimu duluan. Sampai aku lupa dan gak sadar diri bahwa aku sekarang bukan siapa-siapamu lagi.” Ucap Ezra dengan nada pelan.

“Iya memang. Tapi kita juga harus sama-sama menyadari bahwa sekarang kita adalah rekan kerja. Jangan sampai karena hubungan kita di masa lalu, menghambat pekerjaan kita sekarang ini.” Ucapku sembari menatapnya dalam. “Kenyataan yang pahit memang. Kita harus mengahadapi masa lalu yang sangat ingin kita lupakan, tetapi dia malah akan selalu berada di hadapan kita, entah sampai kapan.” Lanjutku.

Ezra pun menatapku dengan tatapan bingung dan kecewa. “Sebenci itukah kamu terhadapku, Lia?”

“Tidak. Aku tidak pernah membenci siapapun sampai sedalam itu. Aku hanya kesal dengan waktu, karena dia kembali mempertemukan aku dengan masa lalu terpahit yang pernah aku alami.”

“Lia, aku mohon maafkan aku. Aku tidak pernah memiliki pikiran untuk menyakitimu, bahkan untuk meninggalkanmu saja itu di luar kehendakku. Aku mohon untuk kali ini saja, tetaplah.....”

Aku pun menyela perkataan Ezra dengan nada sedikit meninggi. “Berhentilah memohon-mohon seperti ini, Ezra. Aku sudah muak mendengar perkataan maafmu. Aku sudah pernah menjelaskan bahwa aku memaafkanmu, tapi kenangan buruk itu tidak mungkin hilang dalam hitungan menit. Ketahuilah bahwa aku di sini juga merasa terluka. Aku lelah dengan semua ini. Dan kenapa juga aku harus tetap berada di sini? Untukmu? Kau yakin bahwa aku akan melakukan itu? Apa kau sadar dengan semua perkataan dan permintaanmu terhadapku?” Aku merasa hatiku sakit, dadaku bergemuruh, dan tak sadar bila air mataku mulai menetes.

“Lia, maafkan aku....” Ucap Ezra menunduk.

“Berhentilah melakukan semua ini. Maaf...” Ucapku memutar badan, sembari menyeka air mata aku melangkah meninggalkan Ezra.

Aku berjalan sembari menangis sesenggukan, sembari tetap menyeka air mata aku melangkah dengan gontai. Entahlah, pikiranku saat ini entah pergi kemana. Aku pun tak tahu. Saat berbelok di koridor depan ruangan Rasya aku kaget karena sepasang tangan kekar menarikku ke dalam pelukannya. Aku meronta minta di lepaskan, namun seseorang yang memelukku tak bergeming.

“Tenanglah.. Kenapa juga kamu malah sengaja berbincang-bincang dengan dia. Kau bodoh apa bagaimana, hm? Sudah tau luka itu tidak bisa di sembuhkan dengan mudah. Bahkan kau butuh waktu 8 tahun untuk berusaha menguburnya..” Aku mengenali suara ini. Ini adalah Rasya. Akupun memeluknya erat, menangis tersedu-sedu di pelukannya. Hingga sekitar 15 menit berlalu, tangisku pun reda.

BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang