5 - Kamar Mandi

32 3 3
                                    

Dinginnya air yang menusuk-nusuk kulitnya sudah tidak ia rasakan lagi, entah apa yang ada di pikiran gadis mungil itu hingga hampir semalam sudah ia berendam di bak mandi miliknya hingga kesadarannya hilang.

Asisten rumah tangganya sudah pucat ketika mengetahui sang majikan mengunci pintunya dari dalam, ketukan hingga gedoran pun sudah di lakukan. Pikirannya sudah tak karuan.

Dengan bantuan satpam kompleks untuk mendobrak pintu itu pun akhirnya dapat terbuka. Tampaklah wajah seorang gadis bernama Aren Quella yang sudah pucat pasi.

Dengan sigap mereka langsung membawanya ke rumah sakit, sang asisten rumah tangganya –Bi Tari– segera menelfon orang tuanya dengan wajah yang panik.

Sesampainya di rumah sakit gadis itu langsung di tangani oleh tim medis. Setelah itu Aren di pindahkan ke ruang rawat inap.

"Apa saya dapat berbicara dengan perwakilan keluarga?" Ucap Dokter Rio –Dokter keluarga yang biasa menangani keluarga Aren– dengan muka yang cukup serius.

"M maaf dok, orang tuanya sedang ada tugas di luar negeri. Jadi apa saya boleh mewakilinya?" Balas Bi Tari.

"Baik, sekarang ikut ke ruangan saya." Ucap Dokter Rio seraya memasuki ruangannya yang di ikuti oleh Bi Tari.

"Kondisi Aren semakin memburuk, bukan hanya fisiknya saja tetapi psikisnya juga." Ucap Dokter rio seraya menjatuhkan bokongnya ke kursi kerja miliknya.

"Dia tidak menjalani cuci darahnya pada tiga hari lalu, saya sudah berusaha menghubungi bahkan hingga datang ke sekolahnya tetapi hasilnya nihil." Lanjutnya.

"Saya mengerti, saya sudah mencoba memberi tahu kedua orang tuanya.  Tetapi lagi-lagi mereka berkata bahwa mereka sibuk dengan kerjaannya,"

Dokter Rio tampak gusar mendengarnya, entah apa yang ada di pikiran kedua orang tua gadis itu.

"Aren harus saya pantau terus perkembangannya, jadi saya mau dia tinggal bersama saya."

Bi Tari hanya dapat menganggukan kepalanya pasrah demi kebaikan anak majikannya itu. Setelah mendapatkan jawaban, dokter Rio pamit untuk kembali ke ruang kerjanya dan Bi Tari memutuskan untuk melihat kondisi anak majikannya itu.

Di kamar Mawar 3, gadis itu terrbaring lemah dengan muka pucat dan jarum infus yang ada di tangannya. Semakin hari tubuh mungil itu terlihat makin kurus karena penyakit yang di deritanya.

----

Lea tampak gusar mencari sahabatnya, Aren. Lea tidak lagi mendapat kabar apapun dari temannya itu semejak Aren menelfonnya beberapa hari lalu.

Lea berusaha menelfon, mendatangi rumah gadis itu bahkan hingga ke tempat kesukaannya, tetapi hasilnya nihil. Aren tidak ada.

Sudah tiga hari Aren tidak masuk ke sekolah tanpa keterangan, bahkan wali kelasnya kewalahan.

"Aren, lo kemana sih gue khawatir," Ucap Lea lirih.

Aren memanglah anak yang sangat periang dan ramah, ia mempunyai banyak teman tetapi untuk masalah sahabat ia sangat selektif. Hingga Lea lah sahabat satu-satunya yang Aren percaya. Lea sudah seperti keluarga bagi Aren, begitu pun sebaliknya.

Lea menjatuhkan bokongnya ke bangku yang ada di sampingnya, pikirannya melayang entah kemana memikirkan temannya itu.

Ponsel Lea bergetar, menampilkan nomor tak di kenal menelfonnya. Lea mengernyit bingung, ia menghiraukannya. Tetapi lagi-lagi nomor itu menelfonnya, merasa jengah ia pun menangakatnya.

"Ini siapa?!" Ucap Lea setengah kesal.

"Halo, ini Lea kan?" Balas seseorang di ujung sana.

"Aren ini lo?" Tanyanya sedikit berteriak.

"Iya ini gue, Aren."

"LO KEMANA AJA? YA ALLAH GUE NYARIIN LO KEMANA-MANA GAK KETEMU-TEMU DAN SEKARANG LO NELFON GUE PAKE NOMER GAK DI KENAL, ADA APA SIH SAMA LO REN?"  Cecar Lea kesal karena ulah sahabatnya yang satu ini.

Di seberang sana Aren menjauhkan sedikit telfon milik Bi Tari, karena suara yang di buat oleh Lea.

"Udah woi buset dah, nyesel gue nelfon lo. Ini nomer Bi Tari, gue gak papa jadi lo santai aja. Besok gue masuk sekolah jadi lo gak usah khawatir gitu. Gue telfon lo karena gue tau lo pasti mikirin cewe cantik ini kan?" Balas Aren panjang lebar seraya cekikikan.

"NAJIS TRALALA. YA UDAH BESOK MASUK GUE TUNGGU."

"Seriusan lo gak kangen gue?" Ucap Aren  menjahili sahabatnya itu.

"BACOT LO!" Balas Lea seraya menutup telfon dari sahabatnya itu.

Hilang sudah ke khawatiriannya akan Aren yang berhari-hari ini membuat pening kepalanya, karena terus berputar di kepala Lea.

----

Empat pria most wanted yang bersekolah di sekolah sekitaran Ibu Kota itu sibuk bermain bola basket, panas terik tak ada masalah bagi ke empatnya.

Ketika sudah puas, mereka langsung duduk di bawah ring basket, menurut ke empatnya itu merupakan tempat ternyaman.

"Panas bet buset dah," Ucap Revan seraya menyeka keringatnya.

"Lebay lo kayak cewe," Balas Rivan sekenanya.

"Alhamdulillah dong kalo gue cewe, gue bisa gebet Zaviel." Ucapnya seraya menaik turun kan alis setengah tebalnya.

Melihat teman yang satu itu makin menjadi, Zaviel menjentikkan jarinya ke dahi Revan seraya memelototinya. Yang di pelototi hanya menyengir kuda.

"Ven, Lea lewat tuh," Seru Revan ketika melihat degem Gaven melewati lapangan basket.

Dengan langkah secepat kilat Gaven langsung mendekati gadis itu. "Buset dah gercep amat kalo udah liat Lea," Komentar Rivan dengan sahabatnya itu seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Zaviel mengamati Gaven dan gadis di yang di hampiri oleh sahabatnya itu, Itu bukannya sahabat Aren? Tumben gak bareng sama Aren? Kemana dia? Batin Zaviel.

----

HELLO GENGS!!!

Sekarang uda masuk sekolah ya:v
Sedih gak si lo, baru masuk uda banyak tugas?
Apa cuma gue ya?:v

Oke, aku sudah publish lagi:))
Maaf ya kelamaan, aku harap kalian sabar menunggu layaknya menunggu doi:b

Terima kasih sudah membaca cerita ini, aku tunggu vommentnya ya:)) thank u:*

See u guys 💕

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ZARENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang