Prologue: Say what you want, vagabond!

4.2K 339 21
                                    

Yokohama saat sore tampak cukup ramai. Kereta listrik penuh dengan pegawai kantoran pulang kerja. Dunia malam sebentar lagi akan dimulai. Kedai minum akan penuh dengan orang-orang sibuk yang butuh penghiburan.

Tidak dengan Nakahara Chuuya. Ia memilih untuk tetap di rumahnya, menimbun keuntungan untuk dirinya sendiri. Mabuk itu merepotkan- setidaknya bagi lelaki bersurai sinoper itu.

Ia selalu ingin cari aman dengan berangkat kerja dan menyelesaikan tugas tepat waktu. Minum-minum hanya akan menghambatnya, mengurangi waktu tidur serta kesadarannya di waktu pagi.

"Menyebalkan," sinis Chuuya ketika menemukan seorang pegawai mabuk si halte bus. Kepalanya terus mencari sandaran, berakhir terbangun karena tubuhnya limbung ke tanah.

Chuuya mengabaikan pria itu dan berjalan menyusuri trotoar. Ia baru saja turun di halte terdekat rumahnya. Lelaki itu hanya perlu berjalan beberapa meter lagi untuk sampai di pintu rumahnya.

Tepat tiga gang sebelum persimpangan menuju rumahnya, Chuuya berhenti. Ia berbelok ke arah jalan sempit, pintasan yang tembus ke pagar samping rumahnya. Sedikit kumuh mengingat di sana tempat pembuangan sampah rumah tangga.

Di tengah jalan ia berhenti, menemukan sesuatu yang mencurigakan. Seseorang berpakaian resmi― bukan setelan yang biasa dikenakan pegawai kantoran. Lelaki yang terduduk di samping tempat sampah itu mengenakan jas panjang hitam.

Ada hal lain yang membuat sosok asing itu terlihat mencurigakan. Darah di bagian bahu, pinggang, dan kakinya. Itu luka yang parah. Mungkin berasal dari tembakan atau luka tusuk yang terbuka. Ekspresinya tampak sangat kesakitan.

"A-aku akan menelepon rumah sakit," tangan kanan Chuuya gemetar seraya merogoh ponsel di dalam tasnya.

"Jangan rumah sakit," tahan sosok itu. Suaranya terdengar parau dan tersiksa.

"T-tapi―,"

"Bawa aku ke rumahmu," mintanya.

Chuuya mengerutkan dahinya. Ia merasa takut dan bingung. Kediamannya hanya tinggal beberapa langkah lagi, namun membawa orang asing ke rumahnya juga bukan hal yang bisa dilakukan tanpa pertimbangan matang.

Ketika melirik ke arah lelaki itu, ia sudah memejamkan kedua matanya. Chuuya makin tersudutkan. Orang asing itu mungkin sudah tak sadarkan diri karena kekurangan darah.

Chuuya mendengus pelan. Ia menyentuh wajah sosok itu dengan ujung jarinya, memastikan apakah ia benar-benar pingsan atau tidak.

"Tidak ada pilihan," kesal Chuuya sambil mengangkat tubuh sosok itu.

Posturnya lebih tinggi dibanding Chuuya, membuat kaki lelaki asing itu terseret di tanah. Chuuya beberapa kali berhenti di jalan karena keberatan. Tapi ia masih cukup kuat untuk menyeretnya dengan hati-hati.

.

.

.

Samar-samar, sebuah pemandangan menyambut kesadarannya. Kamar bernuansa kelabu dan selimut hitam. Juga perban yang menyelimuti lukanya. Lelaki itu memegangi kepalanya sendiri bingung. Hal terakhir yang ada dalam kepalanya hanya gang. Itu tempat terakhirnya sebelum tumbang.

"Akhirnya," interupsi Chuuya dari sebelah ranjangnya.

Lelaki itu menoleh, memperhatikan penampilan Chuuya dari atas ke bawah. Surai sinoper dan sepasang manik azure yang tengah memperhatikannya. Chuuya balas mengernyitkan dahi.

"Apa?" tanyanya.

Sepasang tatapan polos bertemu dengan kedua manik itu, "Aku melihatmu."

Chuuya terdiam selama beberapa saat. Bingung dengan percakapan seperti apa yang baru saja mereka lakukan. Ia balas memperhatikan perawakan orang asing di kamarnya itu. Surainya brunette menutupi sebagian dahi. Manik sewarna itu masih menatapnya tanpa dosa.

"Bagaimana kau bisa terluka seperti itu?" Chuuya melipat kedua tangannya.

Lelaki di atas ranjangnya balas memalingkan tatapannya. Rautnya berubah menjadi sangat serius.

Chuuya memijat keningnya sendiri, "Siapa namamu?"

"Dazai," jawab lelaki itu.

Chuuya menghela napas lega. Ia kira lelaki itu baru saja kehilangan kemampuan berpikirnya.

"Dazai-san, kau tidak mungkin mendapatkan luka-luka itu tanpa sebab."

Dazai menelan ludahnya. Ekspresinya masih menunjukkan bahwa ia tengah berpikir keras.

"Aku tidak menemukan jawabannya," gumamnya pelan.

Chuuya mengernyitkan dahinya, menatap lelaki itu tidak percaya.

"Aku tidak mengingatnya," jelas Dazai lagi.

Lelaki itu tidak lagi mengenakan setelan kemejanya semalam. Chuuya sudah melepaskannya dan menaruhnya di bak cuci, bersama dengan jas hitam panjangnya. Ia yakin pakaian itu sudah robek, namun ia tidak bisa membuangnya tanpa seizin pemilik. Sementara alas kaki orang asing itu ditaruhnya di bawah rak sepatu.

"Kuberi tahu, kemarin kau berpakaian sangat resmi. Mungkin kau pergi ke suatu tempat? Tidak bisakah kau mengingatnya, Dazai-san?" paksa Chuuya dengan pertanyaan. Ia tidak bisa menolerir amnesia, sangat rentan untuk kenyamanan hidupnya.

Dazai menoleh keluar jendela. Saat ia terbangun, tirainya memang sudah terbuka, menampilkan pekarangan belakang rumah itu.

"Aku bisa," balasnya seraya balik menatap Chuuya, "Tapi tidak tahu kapan."

"Dan selama itu kau ingin tinggal di sini?"

Dazai mengangguk mantap, seolah-olah teman lama yang meminta untuk menginap. "Tentu saja. Aku akan tinggal di rumahmu-"

"Chuuya. Nakahara Chuuya," timpal lelaki bersurai sinoper itu.

"Ah, Chuuya," sesaat Dazai memberikan tatapan serius, "Terima kasih."

.

.

.

To be continued

[√] mikrokosmos | soukokuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang