tiga - bukan aku

2.7K 89 4
                                    

Seminggu berlalu, hari ini adalah hari di mana aku akan melakukan perjalanan yang kuharap bisa menyenangkan. Ray tidak lagi menghubungiku semenjak malam itu dia tidak membalas pertanyaan terakhirku. Kak Rezvan masih saja sibuk dengan pertanyaan untuk memahami perempuan Aquarius yang sedang dicintainya kini. Karena hal itu juga aku semakin dekat dengannya. Dia menceritakan semuanya, atau setidaknya sebagian besar dari apa yang dilaluinya selama hidup. Bahkan dalam seminggu ini, seperti sudah jadi kebiasaan, setiap jam lima sore, dia akan menghubungiku, kami berbincang menggunakan panggilan vidio.

Namun karena hari ini aku akan pergi bersama Tata dan Rendra, aku pun meminta izin kepadanya agar tidak menghubungiku sementara waktu. Setidaknya tidak untuk berbincang, namun masih bertukar cerita melalui kolom percakapan sederhana. Pukul delapan pagi kami memulai perjalanan. Selama di perjalanan aku banyak menutup percakapan, sedangkan Tata selalu saja memulainya. Akhirnya kuputuskan untuk menyetir mobil dan membiarkan perang dunia ketiga terjadi antara Rendra dan Tata. Itu cukup menghibur, setidaknya aku bisa melepaskan luka hatiku dengan tertawa melihat kelakukan mereka.

Sore hari kami sampai di hotel, tepat di tepai Pantai. Pemandangan yang sangat cantik, dan tenang tentunya. Karena aku memilih tempat yang lumayan ramai, itu membuatku menyesal, karena ternyata keramaiannya membuatku sedikit tidak nyaman. Banyak sekali pengunjung dan privasi terabaikan. Terlepas dari kekurangan yang ada, aku bahagia bisa kembali menikmati liburan bersama kedua sahabat gilaku. Kami pun masuk ke kamar masing-masing. Aku tidur satu kamar dengan Tata, sedangkan Rendra yang tadinya kupesankan kamar sendiri, memilih tidur dengan kami di kamar yang sama. Tentu saja, di tempat tidur yang berbeda.

Malam pertama kami diundang ke sebuah acara yang diselenggarakan oleh sebuah perusahaan yang menjual alat-alat pendakian, perkemahan, dll. Banyak sekali tamu undangan yang terdiri dari berbagai macam anak muda, dari berbagai macam usia. Terlihat satu kelompok anak-anak yang tidak asing di mataku. Karena salah satu dari mereka sudah kukenal, ya, dia teman lama kak Rezvan, Avisha Adam. Namun mataku ternyata tidak tertuju ke situ, mataku justru tertuju kepada seorang lelaki dengan potongan rambut bagus, yang di bleaching. Aku pun bergumam; "Masih ngetren emang warna rambut begitu?"

Rendra yang berada tepat di sebelahku sedang menuangkan segelas bir pun menyahut. "Siapa?"

Aku langsung menunjuk orangnya. Dan Rendra kembali mengomentari. "Norak."

Aku tertawa geli kemudian duduk di salah satu kursi mini bar yang tersedia di sana. Menikmati alunan musik yang sebenarnya mengganggu pendengaran. Orang-orang asik jingkrak-jingkrak tidak karuan. Ada beberapa pasangan yang saling berpelukan dalam tarian, seolah dunia hanya milik berdua, dan langit malam itu terlalu cerah untukku tinggalkan, meski kepalaku sudah pusing karena menenggak bir hitam terlalu banyak.

Tiba-tiba seseorang yang tadi kulihat, teman lama kak Rezvan menepuk pundakku.

"Alena, kan? Alena Sugandhi? Juniornya Rezvan waktu kuliah dulu, kan? Anak bahasa?"

"Iya." Jawabku. "Kamu? Adam, kan?"

"Panggil Avis, mereka nggak familiar sama nama Adam. Ntar malah kamu salah cari orang."

"Okay, Avis." Ucapku dengan lesu, karena sudah setengah mabuk. "Kamu jadi tamu undangan resmi atau hanya untuk meramaikan kayak aku dan temen-temen yang lain?"

Dia menenggak sisa anggur terakhirnya di gelas. "Aku ikut Deo ke sini." Dia menunjuk lelaki dengan rambut putih yang tadi kutertawakan. "Dia member perusahaan, biasa, anak gunung, kan. Kebetulan aku ngisi acara di salah satu club deket sini, sekalian temu kangen juga sama anak itu." jelasnya.

Akhirnya, aku tahu bahwa nama lelaki berambut putih itu adalah Deo.

"Oh, itu Deo." Ujarku. "Di club mana ngisi acara?"

Alena's SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang