Chapter 3: Gunshot Case

174 23 1
                                    

Menekan tombol pada alat komunikasinya berulang kali seolah itu akan ada gunanya, Jiang WangYin berteriak dengan putus asa pada alat tersebut, "Wei WuXian! Kau dengar aku?! Kembali ke mobil sekarang juga atau kau berhenti jadi partner-ku!"

Hanya ada suara 'xi……' panjang gelombang elektromagnetik yang menandakan alat komunikasi lawan bicaranya sedang tidak memiliki jaringan atau terhubung dengan baik dengan alat komunikasinya. Jiang WanYin mendecak untuk kesekian kalinya hari itu dan membanting alat komunikasinya ke samping, "ck, sialan."

Dia berbelok ke kanan secara acak dan menambahkan gigi pada mobilnya, berkendara gila-gilaan mengejar rekan yang bahkan tidak dia ketahui keberadaannya. Sementara itu, dua orang mafia yang belum mendapatkan kabar terkini dari anggota satu timnya terkejut ketika melihat mobil 'gila' tersebut melintas di hadapan mereka.

Su She berkata, "apa-apaan mobil tadi? Tidak tahu apa ini daerah kekuasaan polisi militer?"

Pria yang lainnya menanggapi, "kakak, aku rasa mobil tadi tidak asing. Apa kau pernah melihatnya di suatu tempat?"

Su She mengernyit seketika dan membentaknya, "kau bodoh atau apa? Kau yang bilang tidak asing, lalu kenapa aku yang kau tanyai? Tanya pada dirimu sendiri, dasar bodoh!"

Bawahannya, pria dengan rambut botak dan berkacamata hitam itu, belum sempat bereaksi ketika tiba-tiba saja sebuah sirine yang mirip seperti sirine pemadam kebakaran terdengar memenuhi sekeliling tempat itu dan sebuah pengumuman yang disampaikan melalui toa terdengar setelahnya, "terjadi penembakan di sebelah utara! Semua pasukan harap bergegas ke sana dan mengamankan TKP!"

Su She dan bawahannya terkejut mendapatkan kabar yang begitu mencengangkan itu. Bagian utara… bukankah itu tempat pertemuan antara A Mao dan awak kapal yang bersedia bekerja sama dengan mereka? Mengapa kejadiannya kebetulan mengambil tempat yang sama dengan tempat kesepakatan A Mao? Su She tidak bisa tidak merasa khawatir untuk anak buahnya yang satu itu.

Baru saja dia hendak menyuruh A Lao, anak buahnya yang satu lagi itu, untuk menyetir dan segera membawanya ke bagian utara pelabuhan itu ketika tiba-tiba ponselnya berdering dan nama yang muncul di layar adalah A Mao.

Su She segera mengangkatnya, "kau di mana? Ada penembakan di sana. Berhati-hatilah dan cepatlah kembali─"

"Kakak…" A Mao berkata dengan susah payah. Napasnya terdengar terputus-putus di telepon, membuat Su She terbelalak dan hampir mati di tempat karena serangan jantung.

"Ka-Ka-Ka-Kau kenapa?! Ada apa?! Kenapa dengan suaramu?!"

A Mao, di lain sisi, masih sempat-sempatnya tertawa kecil ketika mendengar Su She terbata-bata menanyainya begitu. Dia kemudian berkata, "segera tinggalkan tempat ini, kak… jangan pedulikan aku. Aku sudah tamat."

Segera setelah dia mengatakan itu, terdengar suara lain di telepon yang berkata, "hei! Kau tidak apa-apa? Gawat. Pendarahannya cukup hebat. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit."

"Kapten, aku menemukan sejumlah narkoba di dalam tas ini. Mereka…"

"Aku tidak bersalah! Tolong jangan tangkap aku! Mereka… mereka yang ingin menyelundupkannya ke dalam! Aku tidak ada hubungannya dengan ini! Tolong jangan tangkap aku!"

Dengan demikian, Su She mengakhiri pembicaraannya dengan A Mao. Wajahnya terlihat kusut ketika berpikir.

"…" Mereka ketahuan! Sialan, sialan, sialan! Apa-apaan dengan plot yang tidak terduga-duga ini? Bagaimana bisa… bagaimana bisa A Mao tertembak dan mereka ketahuan ingin menyelundupkan barang ilegal?! Suara orang terakhir yang terus-menerus mengatakan dirinya tidak bersalah di telepon itu pasti adalah suara si awak kapal yang berbalik menyerang mereka. Sedangkan untuk dua orang lainnya, tidak perlu dipertanyakan lagi siapa mereka. Siapa lagi kalau bukan anggota kepolisian angkatan laut? Pantas saja A Mao memaksakan diri untuk menghubunginya terlepas dari kesadarannya yang setengah-setengah! Ternyata mereka sudah ketahuan…

Su She tampak berpikir keras. Dia tanpa sadar mengepal erat kedua tangannya dan menggertakkan giginya. Sudah lama sekali sejak terakhir kalinya dia merasa setegang ini. Terakhir kalinya dia seperti ini adalah sekitar dua atau tiga tahun yang lalu ketika bos Jin GuangYao tertembak di dada kirinya dan mereka sedang berada di posisi dikejar-kejar oleh sekelompok polisi lokal. Saat itu merupakan saat-saat paling menegangkan dalam hidupnya. Kalau saja bosnya tidak cukup pintar, mereka mungkin sudah ada di penjara saat ini.

A Lao yang sedari tadi menantikan perintah dari Su She akhirnya tidak tahan lagi dan mendesaknya, "kakak, kita harus bagaimana?"

Tetapi sepertinya Su She tenggelam terlalu jauh dalam pikirannya, sehingga dia tidak membalas apapun dan tetap diam dalam posisinya semula.

Apa yang dilakukan A Mao adalah benar. Dia memberitahu mereka untuk kabur berhubung keberadaan mereka belum diketahui oleh polisi-polisi itu. A Mao benar. Dia sudah tamat. Dia… sudah tidak bisa diselamatkan lagi.

"Kakak, aku menunggu perintahmu."

Pilihan terbaik adalah kabur secepatnya dari sana sebelum tertangkap. Masalah A Mao dan produk yang disita itu bisa dibahas nanti bersama bos. Ya, bos pasti tahu jalan keluarnya karena dia pintar. Su She seharusnya tidak perlu mengkhawatirkan apapun.

"Apa yang harus kita lakukan─"

"Kau tidak bisa lebih ribut dari ini lagi? Kakak, kakak. Aku sedang berpikir, dasar bodoh! Bawa aku ke utara! Ck." Su She terlihat kesal bukan main untuk alasan tertentu. Pada akhirnya, dia tetap tidak mampu meninggalkan bawahannya.

A Lao awalnya tidak menyangka dengan keputusan Su She yang menyuruhnya untuk pergi ke bagian utara. Tetapi kemudian dia tersenyum dan berkata dengan patuh, "aku mengerti," sebelum melaju dengan kecepatan luar biasa ke bagian utara.



Jiang WanYin mempercepat kecepatan laju mobilnya ketika matanya menangkap sosok Wei WuXian yang sedang berlari mengejar sesuatu atau seseorang. Kepalanya dia keluarkan dari balik jendela mobilnya ketika dia berteriak dengan keras, "WEI WUXIAN! KEMBALI SEKARANG JUGA ATAU KAU KUPECAT JADI TEMANKU!"

Wei WuXian yang merasa terpanggil olehnya menoleh sebentar sebelum kemudian kembali fokus ke depan, "maaf, Jiang Cheng! Dia adalah penjahat yang harus kutangkap! Urusan denganmu… akan kuurus nanti! Haah… hah… malam ini… aku yang masak… jadi…"

Napasnya mulai tersenggal-senggal pada titik ini. Jiang WangJi sekali lagi mendecak ketika melihat kekeraskepalaan Wei WuXian yang mendarah daging. Dia awalnya ragu, namun dengan enggan berkata juga, "naiklah! Kau beruntung aku baik! Masak untukku seminggu ke depan!"

Wei WuXian, seperti merasa terbiasa dengan sifat tsundere-nya Jiang WanYin, hanya bisa tersenyum lebar menanggapinya. Sudah cukup bagus dia tidak menggodanya untuk hal itu. Wei WuXian biasanya tidak akan diam saja, tetapi mengingat situasi mereka yang mendesak, dia terpaksa menahan keinginannya menggoda Jiang WanYin. Dengan demikian, Wei WuXian masuk ke dalam mobil dan mereka melaju dengan kencang sesuai instruksinya.

"Siapa penembak itu dan apa yang sebenarnya terjadi?" Jiang WanYin yang pertama buka suara.

Menanggapi hal itu, Wei WuXian hanya bisa geleng kepala dan menjawab, "entahlah. Kalau aku tahu, aku sudah memberitahumu dari tadi. Dia sepertinya sudah merencanakan ini dari awal dan berniat membunuh mafia itu."

"Musuh dari para mafia? Selain kita, para polisi, hanya ada satu kemungkinan yang tersisa…"

Baik Wei WuXian maupun Jiang WanYin saling menukar pandangan satu sama lainnya sebelum menjawab dengan serempak, "mafia lainnya."

Tepat setelah itu, Jiang WanYin yang menangkap siluet beberapa orang beberapa meter di depan mereka langsung menghentikan mobilnya seketika itu juga, menyebabkan mereka terhempas ke depan dan terbentur bagian-bagian mobil.

Wei WuXian yang pertama buka suara setelah mengelus-elus kepalanya yang terbentur kaca depan mobil, "Jiang Cheng, kau ingin membunuhku atau apa?"

Keadaan Jiang WanYin yang kepalanya terbentur stang mobil tidak jauh berbeda dari Wei WuXian. Dia menggerutu sambil mengelus-elus dahinya, "bukan salahku. Siapa orang gila yang berdiri di tengah jalan?"

Ketika dilihat, mereka yang dimaksud oleh Jiang WanYin itu ternyata adalah polisi-polisi angkatan laut yang sudah siap berbaris di depan, menghalangi mereka. Salah satu dari antaranya yang sepertinya memiliki pangkat paling tinggi maju beberapa langkah dan mengetuk kaca jendela mereka.

Jiang WanYin yang duduk di bangku supir menurunkan kaca jendelanya dan berkata, "apa yang kalian inginkan?"

Petugas kepolisian itu sepertinya tidak senang dengan nada bicaranya Jiang WanYin dan membalas, "terjadi penembakan barusan saja. Semua jalan di sekitar sini diblok untuk menghindari pelaku kabur dari tempat. Kalian," dia memberikan kode mata kepada para petugas kepolisian lainnya untuk maju dan melanjutkan, "periksa mereka dan pastikan apakah mereka memiliki senjata yang berbahaya atau tidak."

"Dimengerti."

"Apa? Tunggu dulu! Kami─"

Wei WuXian belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika seorang polisi angkatan laut lainnya tiba-tiba muncul dan membuka pintu mobil di sebelahnya yang tidak terkunci.

Jiang WanYin tidak tahan lagi dengan penghinaan yang diterimanya dan meledak saat itu juga, "kami adalah detektif polisi! Tentu saja kami memiliki senjata tajam! Kalian salah orang!"

Namun petugas polisi yang berdiri di sebelah Jiang WanYin membalas dengan sarkastik, "hah. Kerja bagus untuk mengelabui kami. Siapa yang akan percaya kalau kalian tidak memiliki tanda─"

Jiang WanYin menyodorkan tanda pengenalnya sebagai seorang detektif pemerintahan tepat ke wajah polisi dengan pangkat tinggi itu tadi dan membuatnya terdiam seketika.

"Puas? Sekarang berkat kalian, kami gagal menangkap pelaku penembakan yang sebenarnya," sindir Jiang WanYin.

Belum sempat membalas perkataannya, Wei WuXian, di sisi lain, membentak ketika diperiksa, "lepaskan aku! Hei, jangan sentuh sana. Apa yang─hei! Ahaha… ahahahaha. Hentikan, tolong. Aku tidak tahan geli. Henti─ahahaha."

Petugas kepolisian yang tadinya adu mulut dengan Jiang WanYin itu, setelah diskakmat oleh Jiang WanYin dan setelah mendengar perkataan Wei WuXian yang ambigu, akhirnya tidak tahan lagi dan berkata, "lepaskan mereka."

Polisi yang sedang memeriksa tubuh Wei WuXian itu akhirnya berhenti sesuai yang diperintahkan dan mundur beberapa langkah darinya, memberikan ruang kepadanya agar bisa bernapas dan mengatur kembali dirinya.

Jiang WanYin menghela napas, berpikir bahwa petugas kepolisian angkatan laut itu akhirnya menyerah untuk memeriksa mereka dan membiarkan mereka pergi, tetapi dia salah karena di detik berikutnya, polisi yang tadinya sempat adu mulut dengannya itu kembali membuka suaranya, "kalian, detektif kepolisian, untuk apa datang ke sini? Ini wilayah kami. Tidak seharusnya kalian berada di sini tanpa melapor pada kami terlebih dahulu."

Tentu saja mereka di sana untuk menyelesaikan tugas mereka menyelidiki bandar narkoba yang beberapa tahun yang lalu mulai merajalela di Hongkong, dan alasan mereka tidak melapor terlebih dulu adalah tentu saja karena mereka tidak bisa mempercayai kepolisian angkatan laut tersebut. Jiang WanYin takut kalau-kalau mereka hanya akan menghalangi rencananya untuk menggerebek dalang utama di balik penyelundupan ini. Tetapi kenyataan malah berkata lain. Bukan mereka yang seharusnya ditakutinya, tetapi Wei WuXian-lah yang harus ditakutinya karena bertindak di luar rencananya. Siapa yang mengira bahwa Wei WuXian berencana untuk menangkap mafia-mafia itu begitu saja? Dan siapa yang sangka akan ada orang luar yang ikut terlibat dan malah menyebabkan kekacauan ini?

Jiang WanYin mengerutkan alisnya dan membalas, "kami diperintahkan untuk menangkap dalang di balik pengedaran narkoba yang terjadi belakangan in─"

Matanya membelalak. Jiang WanYin baru saja mengingat sesuatu yang penting yang seharusnya tidak boleh dilupakannya! Dia meninggalkan kedua orang mafia lainnya itu!

"Aku meninggalkan mereka!" teriaknya kepada Wei WuXian.

Wei WuXian membalas, "kau baru sadar sekarang? Lupakan saja. Sudah terlambat untuk mengejar mereka."

Polisi angkatan laut yang tidak mengerti dengan topik pembicaraan mereka hanya bisa menatap bingung pada mereka, bertanya, "apa yang sedang kalian bicarakan? Siapa 'mereka' yang kalian maksud?"



Su She bersembunyi serendah mungkin di balik bangku penumpangnya, sesekali mengeluarkan tangan kanannya keluar jendela dan menembaki belakang mereka yang kini ramai dipenuhi anggota-anggota kepolisian yang mengejar mereka. Napasnya tersenggal. Jantungnya berdetak kencang sekali. Suara tembakan terdengar dari segala arah; kanan, kiri, belakang. Hanya bagian depan mereka saja yang kini masih aman dari kepungan polisi-polisi keparat itu. Di sebelah kanannya tergeletak seorang pria berwajah runcing yang perut bagian bawahnya mengalami pendarahan hebat. Pria itu adalah A Mao yang berhasil mereka selamatkan dari polisi-polisi itu.

"A Lao, kau dapat barangnya?!" Su She berteriak. Nada bicaranya terdengar kasar dan tergesa-gesa, mungkin karena situasi yang sedang mereka hadapi sehingga suasana hatinya tidak bagus, atau mungkin juga karena suara-suara peluru yang ditembakkan tiada habisnya oleh pihak kepolisian tersebut terlalu ribut sehingga dia harus menguatkan suaranya. Yang manapun itu, mereka memang tidak sedang ada dalam keadaan di mana mereka bisa berbicara sambil tertawa. MEREKA MATI KALAU MEREKA TERTANGKAP.

"Aku tidak tahu, kak! Tasnya terbuka tadi. Mungkin ada beberapa yang terjatuh."

DOR DOR DOR!

Su She menunduk lebih rendah lagi, "kau tidak bisa lebih cepat sedikit?! Mereka semakin mendekat!"

A Lao yang ada di posisi pengendara membalas, "ini sudah yang paling cepat, kak! Mau secepat apa lagi?"

Su She mengeluarkan tangannya ke luar jendela dan membalas tembakan-tembakan itu.

DOR DOR! CK! CK!

Pistolnya kehabisan peluru di saat yang tidak tepat. Su She mendecak, suasana hatinya benar-benar sedang tidak bagus saat ini. Singgung dia sedikit, dan dia akan memastikan orang yang menyinggungnya itu bolong di kepala.

Su She membuang pistolnya ke samping dan berkata, "biar aku yang mengemudi. Kau, tukar tempat."

A Lao meliriknya sebentar melalui kaca depan mobilnya, sepertinya mencoba memahami apa yang dipikirkan oleh Su She saat ini. Dulu, saat bos mereka terluka dan mereka berada di situasi yang sama dengan saat ini; dikejar-kejar polisi, kakak tertua mereka inilah yang mengemudi saat itu. Dan meskipun mereka berhasil lolos dari kejaran polisi-polisi itu berkat bos mereka, Su She bisa dibilang juga mengambil bagian dalam menghilangkan jejak mereka sementara.

"Aku mengerti," A Lao menjawab dengan patuh. Su She dengan hati-hati menyelinap ke depan dan bertukar posisi dengan A Lao. Posisi mereka saat ini adalah Su She di bangku pengemudi, sedangkan dua anak buahnya yang lain berada di bangku penumpang dengan A Lao yang duduk merosot untuk menghindari tembakan dan A Mao yang sampai saat ini belum sadar juga.

Su She tidak menunda lebih lama lagi dan langsung menginjak gas, melaju dengan kecepatan tertinggi. Tangannya gemetar saat berkemudi. Akan tetapi setakut dan setegang apapun dia saat ini, menyerahkan diri jelas bukan jalan keluarnya. Dia menggertakkan giginya saat dia dengan tiba-tiba memutar stang ke arah kanan. Mobil mereka kini berbalik arah dan melaju dengan cepat menuju kumpulan polisi yang menembaki mereka itu.

Seolah mengerti dengan maksud dan tujuan Su She, satu per satu dari polisi itu mulai berhenti mengejar dan menembak. Sebaliknya, mereka menyingkir jauh-jauh ke samping ketika mobil gila itu tanpa ragu ingin melindas mereka. Sayangnya, memang itulah yang diinginkan Su She.

Su She tersenyum melihat polisi-polisi itu tertipu oleh trik sederhananya. Ketika perhatian polisi-polisi itu teralihkan, dia tetap dengan kecepatan maksimumnya melaju kencang meninggalkan area tersebut.



Jin GuangYao mengambil sebuah lipstik dari atas meja dandan yang tengah dia tempati saat ini. Dia dengan perlahan mewarnai bibirnya yang pucat dengan lipstik di tangannya. Gerakannya begitu gemulai bak penari bertalenta yang terbiasa mendandani diri. Hari ini warna merah. Karena orang itu inginnya begitu.

Selesai dengan aktivitasnya mewarnai bibir, Jin GuangYao meluruskan pandangannya ke depan, berhadapan dengan cermin besar yang merupakan bagian dari meja riasnya. Di hadapannya terpampang sosok seorang pria yang wajahnya lebih cantik dari wanita manapun. Kelopak matanya diwarnai dengan warna merah muda pudar, alisnya yang sudah hitam dipertebal dengan warna hitam gelap, bulu matanya lebih lentik daripada yang biasanya, bibirnya diwarnainya, wajahnya dibedaki dan diberikan sentuhan sedikit warna merah muda di kedua pipinya. Namun semua itu tetap tidak menghilangkan kesan seorang gentleman dari Jin GuangYao. Rahangnya yang lebih besar dari wanita pada umumnya jelas adalah pembedanya.

Jin GuangYao menghela napas ketika dia rasa persiapannya menuju neraka akan segera berakhir. Tinggal satu sentuhan lagi dan semuanya akan beres. Tangan kanannya menyentuh ikat rambutnya yang masih mengikat kuat rambut panjangnya yang indah. Baru saja dia akan melepaskan ikatan tersebut ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi nyaring dari sudut meja rias tersebut. Tertera nama si penelepon di layarnya; Su She.

Jin Guang Yao membatalkan niatnya untuk melepaskan ikatan rambutnya dan lebih mementingkan untuk mengurusi urusan anak buahnya terlebih dahulu. Dia mengangkat teleponnya.

"Ada apa?"

"Bos! Untunglah kau mengangkatnya! Kami… kami…"

Jin GuangYao menghela napas sekali lagi dan berkata, "tenangkan dirimu dan bicara yang jelas."

Orang di seberang teleponnya, Su She, tampaknya mengikuti saran Jin GuangYao dan mencoba menenangkan dirinya dengan mengatur pernapasannya sebelum kembali berkata dalam satu tarikan napas, "A Mao tertembak di perutnya dan saat ini sedang dirawat di rumah sakit!"

Jin GuangYao membelalakkan kedua matanya mendengar kabar itu, "bagaimana bisa? Jangan bilang kalau dia ditembak oleh polisi?"

Saat Jin GuangYao mengatakan untuk 'menyerang polisi-polisi itu kalau perlu', dia tidak benar-benar mengira bahwa anak buahnya akan benar-benar melakukannya. Sesetia apapun mereka, lebih baik mengambil resiko menyelundupkan barang-barang itu ke kapal dengan tingkat keberhasilan yang hanya dua puluh persen saja, daripada mencari mati dengan menyerang polisi-polisi itu. Dia tidak menyangka anak buahnya benar-benar akan melakukannya. Dia tidak bermaksud untuk membuat A Mao atau siapapun itu mati karena ucapannya yang sembarangan. Targetnya hanya anggota utama keluarga Jin. Bukan A Mao, bukan Su She. Dia benar-benar tidak bermaksud…

"Aku tidak tahu, bos! Tapi dilihat dari kejadiannya, sepertinya bukan polisi-polisi itu yang melakukannya. Ada seseorang yang menembak A Mao dan berhasil lolos sebelum polisi menemukannya."

Jin GuangYao menguatkan cengkeramannya pada ponselnya. Alisnya menekuk, seolah dia sedang memikirkan sesuatu.

"Baiklah. Aku mengerti. Kirimkan padaku lokasi tempat kalian berada. Aku akan tiba secepatnya."



Langit mulai terlihat gelap karena matahari sudah terbenam beberapa saat yang lalu. Waktu kira-kira menunjukkan pukul tujuh kurang beberapa menit. Xue Yang dan Lan XiChen, dua orang pria dengan perawakan bertolak belakang itu─tinggi dan pendek─sedang duduk santai di dalam mobil hitam mereka. Tidak sepenuhnya santai sebetulnya. Mereka sedang mengawas. Hanya saja kelakuan mereka juga tidak bisa sepenuhnya dikatakan 'mengawasi'. Pasalnya, Xue Yang yang duduk di bangku pengemudi tampak begitu santai dengan setangkai ilalang di mulutnya yang entah dia dapat dari mana dan hanya menatap kaca spion mobilnya dengan tenang. Sedangkan Lan XiChen─pemuda itu lebih tidak bisa dikatakan 'mengawasi' lagi. Alih-alih mengawasi target, pandangannya justru dilemparkan ke Xue Yang. Alisnya mengerut.

Apa ini yang disebut dengan 'taktik melumpuhkan lawan'? Mereka sudah di sana sejak dua jam yang lalu dan tidak ada apapun yang terjadi. Xue Yang bilang rumah tua yang sedang diawasi mereka itu adalah tempat pertemuan rahasianya anggota keluarga Nie dengan pelanggan yang mengikat kerja sama dengan mereka. Akan tetapi, sedari tadi Lan XiChen tidak melihat satu orang pun yang keluar-masuk rumah tersebut. Kalaupun memang tidak ada transaksi yang berlangsung hari ini, alih-alih menunggu sekian lama, bukankah akan lebih baik mereka beranjak dari sana dan memantau tempat lain yang mungkin disinggahi oleh anggota keluarga Nie?

Baru saja Lan XiChen hendak mengemukakan pendapatnya tentang hal itu ketika tiba-tiba saja ponsel Xue Yang bergetar dari balik saku jasnya. Xue Yang merogoh sakunya dan mengambil ponselnya dari balik sana, mengangkatnya, "ada apa?"

Lan XiChen tidak bisa mendengar suara lawan bicara Xue Yang di telepon apalagi mengetahui siapa dia. Tetapi dia menyadari ketika ekspresi rileks Xue Yang sedikit terdistorsi dan cara duduknya yang semula bersandar agak ditegakkan setelah mendengar ucapan lawan bicaranya itu.

"Baiklah. Aku akan segera ke sana," kemudian Xue Yang menyeringai, "pastikan untuk tidak mati terlalu cepat."

Tuut tuut tuut

Sambungan terputus. Xue Yang menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jasnya dan mencuri pandang ke arah Lan XiChen sebentar.

"Mata-matanya kita sudahi hari ini. Ada urusan yang lebih penting yang harus diurus," katanya.

Lan XiChen menatap curiga padanya dan bertanya, "siapa yang menelpon barusan tadi?"

"Kau jelas tahu siapa yang menelpon."

Lan XiChen sudah menduganya, tetapi dia tetap mengatakan, "aku tidak tahu."

Xue Yang mengangkat sebelah alisnya, merasa bingung dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Lan XiChen, tetapi tidak berkomentar banyak dan hanya menjawab, "Jin GuangYao yang menelponku tadi. Salah satu anak buahnya tertembak saat sedang bertugas dan saat itu sedang dirawat di rumah sakit. Dia menyuruhku datang dan mencari tahu siapa dalang di balik kejadian ini."

"Ada yang mengincar nyawa anak buahnya?" Lan XiChen bertanya.

Xue Yang tertawa meremehkan, sementara tangannya mulai sibuk memutar-mutar stang dan menambah gigi pada mobil, siap meluncur ke tujuan mereka berikutnya. Xue Yang membalas, "siapa yang mau mengambil nyawa ikan kecil seperti A Mao? Yang mereka incar adalah majikannya, Jin GuangYao sendiri atau bahkan seluruh anggota keluarga Jin. Siapa yang tahu apa yang diinginkan si penembak?"

Lan XiChen terdiam. Otaknya berputar dan dia mulai berpikir, bukankah dia akan diuntungkan jika si penembak memiliki motif yang sama dengannya; menghancurkan keluarga Jin? Ada yang bilang: 'musuh dari musuhmu adalah kawanmu'. Mungkin kata-kata itu ada benarnya juga. Jika saja Lan XiChen tahu siapa dalang di balik semua ini dan bekerja sama dengannya, bukan hal yang mustahil bahkan bagi mafia besar seperti keluarga Jin untuk hancur dan musnah. Ditambah lagi, pemuda di sampingnya ini, Xue Yang, sepertinya tidak berencana untuk ikut campur dalam urusannya membalas dendam. Dia mungkin akan menutup sebelah mata, sama seperti saat dia dengan sengaja menerima Lan XiChen masuk terlepas dari fakta bahwa Lan XiChen adalah musuh keluarga Jin. Atau mungkin Xue Yang justru meremehkan kemampuannya dan mengira bahwa dia bukan ancaman sama sekali?

Lan XiChen menyeringai ketika dia memikirkannya. Satu alasan lagi mengapa dia harus menghancurkan keluarga Jin, yaitu sebagai pembuktian bahwa keluarga Lan belum hancur seutuhnya. Ini mungkin akan menjadi karma buruk bagi keluarga Jin karena sudah bertindak semena-mena terhadap keluarganya. Mata harus dibalas dengan mata, tangan harus dibalas dengan tangan, begitu juga nyawa harus dibalas dengan nyawa. Dia boleh jadi adalah seorang dokter yang seharusnya mengobati pasien, tetapi keluarganya dibantai dan dihabisi dengan kejam dalam satu malam. Orang suci mana yang tahan diperlakukan sedemikian? Lihat saja Jin GuangYao─kau beserta seluruh keluarga besarmu, bahkan seluruh anak cucumu akan mati di tanganku. Itu sumpahku yang akan kupegang selama aku masih hidup.

I Fall in Love With My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang