CT3: Friends

479 27 0
                                    

---------

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

---------

Sahabat Sejati milik Sheila On 7 mengalun nyaring di kamarku. Liriknya yang bersemangat bertalu-talu di telingaku, menawarkan kerinduan yang menggebu-gebu. Aku ikut bernyanyi, pelan. Samar-samar, percakapan Wildan dan Dad di ruang depan terdengar. Hanya serupa kumur-kumur. Tidak jelas, tapi cukup mengganggu. Tak pelak kepalaku teracuni oleh suatu pemikiran yang selalu kutentang.

Wildan benar, aku egois, memilih tiduran di kamar daripada menemui Dad yang telah meluangkan waktu singkatnya untuk datang ke sini. Berani bertaruh, pasti Dad terlibat percekcokan kecil dengan Annabeth sebelum pergi. Atau malah bertengkar hebat dengan Wesley. Dua hal itu sangat mungkin terjadi, kecuali Dad datang diam-diam.

Wildan benar tentang hal lainnya. Aku lebih egois lagi. Aku jelas-jelas menerima seluruh bantuan Dad, semua bentuk kasih sayang yang coba dia berikan. Namun, aku sama sekali enggan membalasnya. Aku malah membela diri, menganggap yang dilakukan Dad semata adalah sebuah kewajiban atas ayah kepada anaknya. Aku menolak memandangnya dari sudut lain. Tidak peduli siapa pun yang coba memengaruhiku, Wildan, Yasmin, Mama sekali pun, aku sulit membuka diri.

Tok. Tok. Tok.

Aku menoleh pintu. “Aku sedang sibuk, Wil,”  berteriak, mencoba meredam musik yang kuputar keras-keras.

Pintu tetap terbuka. Tentu saja. Wildan tidak akan menghiraukanku. Lagi pula, sejak kapan dia bertindak sopan, mengetuk pintu? Sangat bukan Wildan yang biasanya menerobos masuk tanpa permisi. Wildan bahkan sering masuk ke kamarku diam-diam pada tengah malam hanya untuk memastikanku baik-baik saja.

“Masuk saja, Dad!”

Aku memutar pandanganku menyusul ucapan Wildan. Wildan sudah tidak ada di depan pintu, tersisa Dad yang berdiri dengan senyum merekah. Ragu-ragu, Dad melangkahkan kakinya, masuk.

“Bagaimana keadaanmu, son?”

Aku tidak mengubah posisiku, pun tidak berniat mengecilkan volume ponselku. Lagu itu habis. Dentuman drum yang tidak kalah semangat terdengar, mengawali lagu selanjutnya, lagu yang tidak kalah bersemangat ‘Melompat Lebih Tinggi’.

Dad hanya berdiri di samping tempat tidurku. Ia bukan Mama yang tidak akan meminta izin untuk duduk di tepinya. “Apakah dadamu terasa sakit?”

Aku menggeleng.

Dad menekuk lututnya, merendahkan tubuhnya. Aku menolak mempertemukan wajahku dengannya, berpura-pura memeriksa ponselku. Sesekali kapalaku bergoyang dan jariku mengetuk-ngetuk kasur, seirama dengan musik ceria yang terdengar.

“Jika kamu membutuhkan sesuatu, jangan sungkan.”

“Wil menyediakan semua yang kubutuhkan,” jawabku datar, tanpa merasa perlu menatap lawan bicara.

Chasing TomorrowWhere stories live. Discover now