"Sudah tiga hari. Kapan akan bangun, son?"
Samar-samar, suara itu merasuk telingaku. Aku ingin melihat seseorang yang tengah berbicara. Namun, kelopak mataku berat sekali. Aku tidak mampu mengangkatnya meski hanya semili.
"Dad tidak suka melihatmu begini." Sebuah tangan menyentuh telapakku, menggenggamnya. Ibu jarinya mengusap-usap punggung tanganku lembut.
Dad.
"Lebih baik Dad yang berada di posisimu." Menghela napas. Tangannya yang lain bergerak, menyentuh keningku. "Seharusnya, ini menjadi masa-masa yang menyenangkan untukmu, son." Getar dalam suaranya terdengar jelas. Dad mulai menggerakkan jemarinya di atas keningku, mengusap lembut.
Aku terdiam dalam keinginan yang besar untuk membuka mata. Dad telah berkali-kali menunjukkan kepeduliannya padaku. Baru saat ini aku terpengaruh. Kata-kata Dad menghantam kepalaku, membuatku berpikir keras. Semua yang kuperoleh dari proses yang singkat itu membentuk rasa bersalah dalam dadaku.
"Kamu pasti sembuh, son. Dad akan melakukan apa pun untuk kesembuhanmu."
Aku mencoba mengangkat kelopak mataku lagi. Lebih ringan kali ini. Pelan-pelan, aku membuka mataku. Kabut abu-abu berkumpul di depan mataku, tersapu perlahan.
"Adam? Kamu bangun, son?"
Aku mengedipkan sekali. Kabut abu-abu itu menghilang seluruhnya. Figur Dad diterjemahkan pandanganku pelan-pelan. Dengan semua yang telah kulakukan padanya, semua tingkah kurang ajarku, Dad masih menatapku dengan penuh kasih sayang. Rasa bersalah itu membesar demi menyadari kesalahan yang selalu kuanggap benar.
"Dad." Suaraku terserap oleh masker oksigen yang menyelubungi separuh wajahku. Aku tak tahu apakah Dad dapat mendengar bisikanku, tapi Dad mengangguk,
"Dad di sini, Adam. Dad akan selalu menemanimu."
Aku menatap wajahnya. Keriput menggaris di kening, serta bawah kelopak matanya. Senyum melengkungkan bibir merah mudanya. Caranya menatap seolah ingin menunjukkan bahwa Dad lebih serius dari ucapannya. Aku tahu itu benar.
Aku mendengar ketulusan di setiap huruf yang ia lepaskan. Ya, Rabb. Aku terlalu dibutakan oleh kebencian sehingga sulit memahaminya. Aku terlalu fokus pada kesalahan Dad tanpa mau melihat semua kebaikannya. Padahal kesalahan itu harusnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan semua yang telah Dad korbankan untukku. Dad bahkan ingin bertukar posisi denganku.
Cukup sudah aku menjadi bebal. Aku telah berada pada batas paling dangkal. Saatnya untuk menjauh, kembali ke permukaan pikiranku yang jernih. Sekarang aku memahami, sungguh, aku memahami betapa Dad melakukan segalanya untukku. Dad tidak sepatutnya mendapat balasan sikap dingin dariku.
Detik ini, aku berjanji akan menjadi putra yang lebih baik untuknya, termasuk tidak melakukan hal-hal aneh yang dapat berdampak buruk pada kondisiku sehingga secara otomatis membuat Dad sedih.
***
Seharusnya, siang ini aku pergi kemoterapi. Tetapi, aku benar-benar tak berselera menjalaninya. Beberapa hari belakangan, aku mulai jengah. Aku muak dengan semua efek yang harus kurasakan. Lemas, mual, muntah-muntah ... rambutku bahkan sudah lama habis. Dan tentu saja, faktanya sudah menanggung semua itu sel kanker ini masih hidup dalam tubuhku, semakin membesar, semakin menyakiti.
Aku semakin enggan beranjak setelah Robert mengirim pesan, mengajak bermain futsal. Semenjak tinggal di Brixton, belum pernah sekali pun aku menggiring bola di lapangan futsal. Padahal saat masih di sekolah di Indonesia, hampir setiap istirahat kakiku menyentuh bola. Ah, aku rindu rasanya berlari sambil menggiring bola, juga rindu sensasi senang saat mencetak gol. Di samping itu, aku juga rindu Robert. Sudah lama kami tidak bertemu. Dia sibuk sekali dengan kuliahnya di Paris dan tentu saja dengan gadis-gadisnya.
YOU ARE READING
Chasing Tomorrow
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London. Namun, kanker paru-paru yang dimili...