“I think we’d rather break up.”
Aku membelalak. Penuturan Dokter Daniel yang tak sengaja kudengar masih menggema di telingaku. Rasanya, kecemasan masih mengendalikan kecepatan degup jantungku, menggila. Pada setiap tarikan napas, aku dapat merasakan pekatnya atmosfer di ruangan Dokter Daniel yang kutinggalkan belasan menit yang lalu. Aku belum lepas dari kekacauan atas sebuah informasi yang menakutkan.
“Kanker dalam tubuh Adam rupanya resisten terhadap berbagai obat kemoterapi. Lagi-lagi, rangkaian kemoterapi yang telah dijalankan tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pertumbuhan sel kanker tetap tidak terkendali. Kian waktu penyebarannya kian meluas. Sel-sel kanker itu telah bermetastasis hingga ke hati dan otak. Dengan kata lain, sudah memasuki stadium IV.”
Kabar itu dengan mudah memadamkan api dalam tubuhku. Semangat, harapan, bahkan hasrat untuk melanjutkan hidup tak lagi berkobar, layu, mungkin tak lama lagi mati. Sejatinya, aku memintanya menemuiku karena aku ingin mendengarkan motivasi darinya. Namun, aku malah harus memperoleh pernyataan yang mengakibatkan sesak dalam dada.
Kadang, aku tak benar-benar memahami keinginanku. Logikaku telah memutuskan bahwa meneruskan hubunganku dengan Catie tidak akan baik baginya. Telah lama kupikirkan bahwa Catie berhak mendapat orang yang lebih layak. Setidaknya yang memiliki masa depan pasti agar mampu membahagiakannya sepanjang sisa hidup. Apalagi setelah aku mengetahui tentang Wildan. Aku kian yakin keputusanku sangat tepat.
Akan tetapi, yang kurasakan saat ini adalah rasa sakit dari sebuah penolakan, keengganan. Meski perasaan dan logika ada dalam setiap individu untuk menciptakan sebuah keseimbangan, keduanya kerap kali sulit diselaraskan. Ada kalanya, antara perasaan dan logika menciptakan dua sudut pandang yang sama sekali berbeda. Saat itulah, perlu memaksa diri percaya pada sebuah keseimbangan semu dengan berdasar pertimbangan yang matang.
“Sebenarnya aku menyukai hubungan kita.” aku menggigit bibir dalamku. Untuk pertama kalinya, aku tak dapat merasakan energi dari kalimat yang kuucapkan. Hampa.
Aku menunduk. Dari atap rumah sakit, aku menonton orang-orang masuk dan keluar bangunan ini. Bunyi langkah kaki, kendaraan bermotor yang bersliweran di selasar rumah sakit dan di jalan raya, gumaman-gumaman orang-orang sepi saja di telingaku. Aku laksana sedang menciptakan dinding yang memisahkanku dengan mereka. Aku mati rasa atas keadaan sekitar. Inderaku seperti berhenti bekerja, menyisakan kedua mataku yang sekarang memandang Catie lekat. Tak mau kupalingkan walau satu hela napas.
“Aku juga,” Catie bergumam. Suaranya sangat lembut, nyaris serupa bisikan.
Demi mendengar ucapannya inderaku kembali merespons, khusus untuknya. Kuperdalam tatapanku dan aku tidak menemukan sedikit pun keraguan atas ucapannya. Adalah suatu kepatutan bagiku menyadari dalam situasi ini, yang menjadi muasal masalahnya adalah aku, hatiku yang tak bisa fokus pada satu cinta saja.
Aku melihat luka membalut wajahnya. Seseorang dapat menerima suatu pengkhianatan atas dasar cinta. Tapi, penerimaan itu bukan untuk dipertahankan selamanya. Hati memiliki batas untuk menampung luka. Ketika luka itu terlalu melebar, tak lagi diperlukan sebuah penerimaan. Tidak ada gunanya mempertahankan luka demi meraih kebahagiaan yang jauh lebih kecil.
“Tapi, kamu berhak bahagia, Adam.”
Aku mengangkat kedua alisku. Atas dasar apa pun, aku yakin kalimat itu seharusnya aku yang mengucapkan. Mendengar dia yang justru melontarkannya membangkitkan keheranan. Tak mampu kuselami makna di balik kata-katanya.
“Aku tahu, kamu sangat mencintai Riana, lebih dari yang kamu rasakan untukku. Tetapi, demi aku, kamu berusaha mengenyahkan itu. Kamu berusaha menjaga jarak darinya karena aku. Aku pikir aku ...”
YOU ARE READING
Chasing Tomorrow
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London. Namun, kanker paru-paru yang dimili...