Aku mematut diri di depan cermin. Aneh sekali melihat bayanganku mengenakan jersey lengan panjang berwarna merah dengan logo Arsenal di dada sebelah kiri. Lebih aneh lagi mengingat bahwa aku rela menelusuri London hanya untuk membeli jersey tersebut. Kalau bukan karena janji, aku tak akan mau mengenakan jersey klub, selain yang berlogo Juventus.
Puas berkaca, aku mengambil ponsel. Kuhubungi nomor perempuan penggila Mesut Özil itu. Sebenarnya, aku sudah mencoba menghubunginya sejak berbulan lalu. Entah kenapa nomornya selalu tidak bisa dihubungi. Semalam, belasan kali aku mencoba menelepon. Tetap tidak dapat terhubung. Sekarang, aku harus mencobanya lagi. Lagi-lagi yang menjawab operator. Aku mendesah. Akan sulit menemukannya jika datang tanpa menentukan lokasi pertemuan. Tapi, walau bagaimanapun, aku harus tetap datang. Pasti ada cara agar aku dapat menemukannya di antara puluhan ribu orang yang memadati Stadion Emirates.
Aku beralih ke ranselku. Kuperiksa kembali barang-barang yang sudah kumasukkan ke dalamnya. Sebuah syal dan jaket dengan logo Arsenal yang kubeli khusus untuk Riana. Tabung kecil berisi obat. Sudah lengkap, kututup ritsleting ransel. Aku menyampirkan ransel. Belum tepat menggantung di bahu, ranselku terjatuh lantaran kedua tanganku spontan memegang dada. Membiarkan ransel tergeletak di lantai, aku terduduk di kasur. Nyeri yang tajam. Dadaku bagai sedang dikoyak oleh belasan pisau sekaligus. Refleks, aku mencengekram dada. Keringat dingin mulai membanjir di sekujur tubuhku. Tenagaku terkuras melawan sakit. Tubuhku melemas.
Aku merenggut ransel, mengambil tabung kecil dari dalamnya. Kukeluarkan sebutir pil. Aku menelannya tanpa air. Pahit yang menguar di lidahku langsung kuabaikan. Kumasukkan kembali tabung itu ke dalam ransel. Rasa nyeri itu belum juga mereda. Aku berkonsentrasi mengalihkan pikiranku dari rasa sakit fisik, melawannya dengan memikirkan sesuatu yang menyakiti batin.
Kebakaran. Aku mengingat kembali peristiwa bertahun silam itu. Api membara, jingga menjilat-jilat udara. Asap mengepul, hitam pekat menggumpal naik ke angkasa. Orang-orang berlarian dengan ember besar, menyiram air terus-menerus. Tangisan histeris Mama. Wildan menatap sendu bangunan yang telah kita tinggali selama bertahun-tahun sambil berusaha menenangkan Mama. Yasmin yang tergugu dalam pelukanku. Aku dilahap amarah, meremas sepucuk surat dari Annabeth yang mendeskripikan betapa dia bersorak atas kebakaran yang akan segera—sedang—terjadi. Potongan itu kuulang-ulang dalam kepalaku. Pedih. Mengingat peristiwa kelam itu selalu meninggalkan kepedihan yang sama.
Setengah jam berjuang, akhirnya nyeri mereda perlahan. Aku memaksa berdiri. Bagaimana pun, aku harus datang ke Emirates. Aku tahu sekali, Riana salah satu orang aneh yang entah dengan cara apa selalu bisa mewujudkan mimpi-mimpinya yang menurut orang lain mustahil. Aku juga yakin benar bahwa tantanganku setahun sudah Riana jadikan sebuah impian, sebuah janji. Mungkin, dia sudah tiba di London sejak kemarin dan sedang berjalan-jalan di sekitar Emirates. Tak bisa ditawar lagi, Aku harus menunaikan janji yang kuucap kurang setahun lebih yang lalu.
Sekali lagi, aku berkaca. Kupastikan tampilan wajahku tidak kusut, lantas kudorong kakiku melangkah. Masih sedikit lemah, tapi aku bisa melakukannya. Perlahan-lahan aku menuruni tangga.
YOU ARE READING
Chasing Tomorrow
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London. Namun, kanker paru-paru yang dimili...