------------
105
Penghujung musim semi. Aku mungkin menjadi satu-satunya orang di Brixton—atau di London, atau di dunia—yang tidak menyukai musim dingin. Musim dingin Sudan lama berakhir, aku masih menggigil kedinginan setiap malam. Mantel dan selimut tebal yang membungkus tubuhku tidak mampu mencegah dingin menyusup sampai ke kulitku. Berat berpisah dengan musim semi. Aku belum puas menikmati musim yang romantis ini. Terlebih, di awal datangnya musim semi aku harus meringkuk lima hari di rumah sakit.
Di Indonesia sedang musim panas. Di sana, aku tinggal di kota hujan. Hampir setiap sore hujan mengguyur kota, tidak ada istilah musim panas. Cerah di siang hari, tidak menjadi jaminan sore matahari tetap akan bersinar sampai menghilang ditelan malam. Aku sampai hafal siklus cuaca di sana. Biasanya, pagi-pagi cerah, siang terik, lalu sore hari tiba-tiba awan mendung menggumpal di langit kota. Jalanan yang baru saja kering segera basah lagi. Udara lembap. Malam akan terasa lebih dingin dari biasanya. Aku rindu Indonesia.
“Apakah di sana sedingin itu?” Wajah Yasmin yang menghabiskan hampir seluruh monitor laptoku menampakkan mimik ingin tahu. Terakhir kali dia ke London saat masih SD. Cukup lama. Sulit untuk merasakan kembali suhu udara waktu itu hanya lewat kenangan.
Aku melihat tampilan diriku di layar kecil, di sudut kanan bawah. Pagi ini, masih di dalam rumah aku sudah mengenakan jaket dan sarung tangan.
“Datang langsung ke sini kalau kamu ingin tahu!”“Tunggu aku juli nanti!” Yasmin antusias. Bibirnya melebar dan lesung pipitnya tampak.
Aku mengangkat alis, tidak percaya mendengar jawaban itu. Tentu saja, aku tidak sungguh-sungguh mengatakan itu.
“Aku juga ingin kuliah di sana.”
“Itu masih setahun setengah lagi.” Aku tidak perlu lama menghitung. Yasmin terpaut usia satu tahun denganku. Dia baru kelas sebelas.
Yasmin menjauhkan wajahnya dari monitor laptop. Aku mendapat pandangan yang lebih luas. Dia sedang berada di kamarnya, di kasurnya. Semua yang kulihat di layar monitor masih sama dengan yang kulihat enam bulan yang lalu. Sketsa wajahnya yang kubuat di awal SMP masih menghiasi dinding di belakang dipan. Lampu-lampu kecil yang dirangkai menjadi namanya pun masih ada di sana. Yasmin memang terlalu malas mendekor ulang.
“Kamu memang tidak seperti Wildan. Tidak perhatian. Mana pernah kamu bertanya ‘bagaimana sekolahmu?’ atau ‘sekarang kelas berapa?’. Aku ikut program akselerasi, Dam. Sebentar lagi aku lulus. Kamu lupa itu?” Yasmin memberenggut.
Aku mengernyitkan kening. Samar-samar, aku ingat Yasmin pernah membahas soal itu. Namun, aku tidak pernah berpikir dia serius. Keterlaluan sekali, aku akan lulus SMA di tahun yang sama dengannya. Bukankah itu hal yang memalukan untuk seorang kakak? Aku tidak terima!
“Tapi, aku tetap kakakmu yang tampan.” Aku menyeringai, memutuskan tidak perlu memarahinya.
“Kamu botak sekarang.” Yasmin nyengir lebar.
YOU ARE READING
Chasing Tomorrow
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London. Namun, kanker paru-paru yang dimili...