------------
Aku duduk di depan televisi yang menyala. Sebuah buku gambar besar ada di pangkuanku. Tanganku memegang pensil yang ujungnya kubuat sangat runcing. Setengah jam, pensil itu tidak kunjung kugunakan. Kertas gambarku masih bersih. Bukan tidak tahu apa yang harus kugambar. Objek dalam kepalaku segan kupetakan dengan sebuah pensil.
Aku sudah berhenti menggambar sejak bertahun lalu, masih karena alasan yang sama. Jika kemampuan menggambarku dapat disebut bakat, aku harus mengakui bakatku itu kudapatkan dari Dad. Kurasa itu sudah sangat jelas memberatkan tangan ini untuk digerakkan. Setiap kali ujung pensil hendak kupertemukan dengan kertas, aku melihat sebuah gambar mengerikan pada kertas kosong itu: peristiwa kebakaran rumah kami.
Aku harus membujuk kepalaku untuk menyimpan dulu kenangan kelam itu, menguncinya di dalam ruang yang jauh dari jangkauan ingatanku. Agar lebih mudah, kujadikan objek yang ingin kugambar sebagai kuncinya. Aku membuat objek itu dominan di kepalaku. Kudetail kenangan manis berbulan lalu hingga tanpa sadar aku tersenyum menyaksikan betapa indah masa itu.
Pertemuan dengan Laras beberapa waktu lalu menambah hasratku untuk pulang ke Indonesia. Namun, baik Mama maupun Dad tidak memperbolehkanku. Tidak selama aku masih menjalani rangkaian kemoterapi-ya, prosedur itu kujalani lagi setelah operasi, untuk menghabisi sel-sel kanker yang mungkin masih tersisa. Kabar itu tentu saja mengesalkan, memaksaku untuk menahan rindu sedikit lebih lama.
Tanganku mulai bergerak. Perlahan, tapi pasti, rindu yang menumpuk dalam dadaku kusalurkan ke tanganku. Pensilku bergerak lincah membuat garis melengkung, membuat titik, menghitamkan ... Kenangan yang kuputar memanduku dengan baik. Apa yang kulihat darinya, kugoreskan pada kertas ini. Pelan-pelan, rindu itu dapat kulihat wujudnya.
Aku butuh lima belas menit untuk menyempurnakan sketsa yang kubuat. Lihatlah, rindu itu fisiknya nyata sekarang, tersenyum padaku dengan mata berbinar. Aku memerhatikan gambarku, cukup puas dengan hasil pekerjaan tanganku. Setelah lama tidak kugunakan untuk menggambar, tanganku masih dapat menghasilkan sketsa yang lumayan mirip dengan sosok aslinya. Aku tidak percaya, aku sungguh menggunakan pensil ini untuk menggambar.
"Kamu melukis lagi?"
Aku terhenyak. Spontan, buku gambar itu kubalik. Wildan berdiri di sampingku. Kedua matanya mengarah ke buku gambarku. Tidak gunanya kubalik. Wildan pasti sudah melihat gambarku.
"Siapa dia?" Wildan menatap ingin tahu. Kedua alisnya terangkat.
"Temanku." Aku membalik kembali buku gambar, menutupnya.
Wildan masih belum beralih satu senti pun. Keingintahuannya yang abnormal sedang bekerja. Dia mungkin sedang mengingat-ingat kemungkinan pernah bertemu dengan sosok yang kugambar. "Yang tidak sengaja kamu temukan di Trafalgar?"
Aku berdiri, mengabaikan pertanyaan Wildan. Membahas soal ini dengan Wildan bukanlah kebiasaanku.
"Hari ini kamu masak?" aku menunjuk karton belanjaan yang dipeluknya, antusias melihat beberapa batang wortel menyembul. Wildan pandai memasak. Kelezatan masakan Wildan diakui Mama yang juara urusan memasak. Aku beruntung dengan keahlian Wildan. Dulu, waktu Wildan belum tinggal di London untuk kuliah, aku suka meminta Wildan memasak tengah malam untuk camilan menonton pertandingan sepak bola.
YOU ARE READING
Chasing Tomorrow
Romansa"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London. Namun, kanker paru-paru yang dimili...