-----------
Tiupan angin semakin dingin. Perlahan tetes-tetes air dijatuhkan awan-awan kelabu yang menggantung di atas sana. Rerumputan, pohon-pohon mulai basah. Tanah pun mulai becek. Atap-atap rumah berair. Jalan beraspal ini juga basah, menjadi sedikit licin. Petir sesekali menyalak. Aku memandang melewati titik-titik air di kaca mobil yang segera disapu oleh windscreen wiper.
Rumah yang kutuju sudah terlihat dari kejauhan. Semakin lama semakin jelas. Kuparkirkan mobil di depan salah satu rumah bernuansa victorian itu. Walau tetesan hujan sudah seukuran dua batang lidi, aku tidak ragu melangkah keluar dari mobil. Tampias langsung menyerbu tubuhku. Aku terus melangkah. Hujan mengguyur tubuhku, membuat kuyup hanya dalam hitungan detik. Aku mati rasa atas dingin yang ditebarnya. Sebaliknya, aku merasa seluruh tubuhku sedang dididihkan oleh amarah.
Aku tidak punya waktu mengamati rumah bercat abu-abu yang sejak sebulan lalu dipasangkan sebuah papan bertuliskan ‘for sale’ di jendelanya. Perhatianku langsung tertuju ke pintu. Kuputar gagangnya. Tidak bisa dibuka. Tentu saja, Wesley menguncinya. Aku memindahkan tanganku, mulai menggedor.
“Wesley!” panggilanku bersamaan dengan bunyi gelegar guntur. “Wesley, keluar, kamu idiot!”
Tetap tidak ada jawaban. Aku menggedor lebih keras, berteriak lebih kencang. Yang terdengar hanyalah bunyi hujan dan guntur. Mungkin itu pulalah yang dapat didengar Wesley. Teriakanku teredam oleh bunyi hujan. Maka, aku beralih ke cara yang lebih tidak sopan. Kutendang pintu itu beberapa kali hingga kuncinya rusak. Aku melangkah masuk melewati pintu yang sudah terbuka sebagian.
Panggilan yang hendak kuucap, kutahan. Mungkin akan lebih aman jika Wesley tidak menyadari kedatanganku. Kutajamkan telinga, mencoba mendengar apa pun yang bisa menuntunku ke tempat Wesley dan Catie. Anehnya, yang kutemukan hanya kesunyian. Aku berusaha lebih keras menahan lidahku melepaskan teriakan. Mungkin ini jebakan. Artinya, aku harus bersiap dengan segala kemungkinan.
Aku menyatroni satu per satu ruangan di lantai satu. Dari depan hingga tiba di dapur, aku tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Wesley atau Catie. Sempurna sepi. Rumah ini seakan tidak pernah didatangi oleh siapa pun dalam kurun waktu yang lama. Pikiran itu segera kutepis begitu aku mendengar jeritan perempuan. Hatiku mencelos. Tidak salah lagi, itu suara Catie. Asalanya dari ... ruang bawah tanah.
Aku menyambar sebuah pisau sebelum bergegas ke sana, untuk jaga-jaga—siapa yang tahu, Wesley satu-satunya yang harus kuhadapi? Ruangan itu kucapai kurang dari lima detik. Aku membuka pintu yang tampak tidak terkunci. Pemandangan yang disuguhkan di dalam membuatku mematung. Wesley ada di sana, di atas Catie yang meronta-ronta, berjuang melepaskan diri. Tanpa kusadari, aku menjatuhkan pisau dari genggaman tanganku.
Bunyi kelontang itulah yang menyadarkanku. Aku melompat ke dekat mereka. Sebelum Wesley sempat mengantisipasi, kutarik bagian belakang pakaiannya dengan kuat hingga dia terbanting ke belakang. Aku tidak menunggu waktu untuk menyerang Wesley. Satu pukulan kudaratkan di wajahnya, menghasilkan rona merah padam. Tanpa jeda, kulayangkan pukulan-pukulan berikutnya. Terhitung lima kali. Aku memberikan kesempatan untuk Wesley menarik napas.
YOU ARE READING
Chasing Tomorrow
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London. Namun, kanker paru-paru yang dimili...