PROLOG

133 36 162
                                    

GADIS keturunan campuran Belanda, Korea, dan Indonesia itu terlihat sedang memetik senar ukulelenya dengan asal. Ia memutar kursi kantor Treviso miliknya. Seolah kursi itu adalah tempatnya bermain.

Kursi itu memang kursi kantor, khususnya bagi pimpinan. Namun, gadis itu tidak bekerja di kantor. Hanya saja ia mempunyai kursi itu dan ia taruh di sebuah ruangan kecil miliknya yang hanya berisikan meja besar dan kursinya itu. Sisanya adalah barang pajangan.

Rokok yang masih terbakar di antara bibirnya itu mulai mengeluarkan asap, gadis itu menjentikkan abunya di sebuah asbak Jack Daniel's berwarna hitam. Mata berlensa merahnya menatap santai pada seorang pria di hadapannya.

"Apa maksudnya dengan ia mati?"

"Wa-wanita itu.. meninggal. Mungkin ia kehabisan darah karena kedua tangan dan kakinya yang dipotong.."

"Siapa yang memotongnya?"

"A-A-Andrew.."

Gadis itu kembali menjentikkan abu rokok, ia tersenyum samar, "Dimana Andrew?"

"Su-sudah terbang kembali ke Indonesia."

"Kau tidak pandai berbohong padaku, Simon." ucap sang gadis dengan telak. Pria berusia 33 tahun di hadapannya ini akhirnya mengangguk pasrah. Ia segera meminta maaf karena sudah berbohong, apalagi kepada seorang Cataleya.

"Andrew ada bersama Marcus. Ialah yang membawa Andrew."

"Bawa Andrew padaku dalam waktu tiga menit. Aku menunggu mulai dari sekarang."

Simon panik bukan main, matanya mendelik, tubuhnya segera bersujud menghadap Cataleya. "Ka-karena ia mati? Bukankah... kau memang menginginkannya untuk mati...?"

"Ya, aku memang menginginkan wanita hamil itu mati. Tapi, bukan ditangan Andrew. Harusnya ditanganku sendiri."

Cataleya, gadis itu berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah Simon dengan perlahan. Di setiap langkahnya seolah diikuti oleh hawa kematian. Siapapun yang sudah menginjakkan kakinya di kediaman Cataleya, berarti ia sudah menjemput ajalnya sendiri.

Ia berdiri tepat di belakang Simon yang sedang menunduk takut. "Kau tahu akibatnya kalau kau berbohong padaku, Simon?"

"Y-ya! Aku tahu.. Mohon.. ampuni aku, Cataleya.. Aku masih ingin hidup untuk keluargaku.." jawabnya semakin pelan.

Cataleya mengeluarkan sebuah pisau lipat dari kantung celananya, satu tangannya mengalungi leher Simon dan dengan cepat ia tancapkan pisau itu di leher Simon.

Crot!

"Katakan selamat tinggal pada dunia. Dan salam untuk Ibu dan Ayahmu."






※ ※ ※
t b c.
🌷, from Cataleya.

CATALEYA || BTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang