2.) mimpi buruk yang terbangun

204 22 39
                                    


Kepingan pendar mencuat dari titik balik kabut. Terkumpul sebilah kilat dan membentuk pusaran portal yang memunculkan sesosok ras Abra. Keseluruhan raganya seumpama manusia, tetapi berona lembayung. Ekor panjang makhluk berpunggung sekeras besi itu tengah membelit kuat si Bocah Kumuh untuk tetap tenang sepanjang perjalanan magisnya. Namun, Kiara terus menendang kaki Abra sesaat setelah mereka berpijak di bebatuan karang yang menyembul di tengah osean. Ia gelagapan, tak tahu-menahu apa yang terjadi, selain deru angin yang merampas daya pendengarannya beserta pandangan buram.

"Tenang saja, kau tidak akan berumur pendek jika berada di sini. Lihatlah ke sana, sebentar lagi Kota Pelabuhan-mu akan hancur."

Kiara tergemap begitu arah pandangnya meraup jauh pulau anemon yang membentuk kawasan perkotaan maritim itu. Bocah itu mampu menjangkau perawakan monster Sozorien yang kini tengah mengaduk tatanan kota pelabuhan selayaknya sup labu.

Sementara, Abra menelisik sesuatu yang menggantung di leher Kiara. Sebuah bandul kecil menyelinap di balik kerah baju kumalnya.

"Mana orang tuamu?"

Kiara menoleh lamat-lamat, sejurus menatap gemetaran makhluk yang tengah melilit tubuhnya hingga tergantung tak menapak gundukan batu.

"Jika aku tak punya mereka, apakah kau akan memakanku?"

Makhluk Abra terbungkam sejenak. Bibir hitamnya terkereseng tipis. "Aku bukan pemakan daging. Sainganku untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah lebah, bukan kalian; manusia."

Meski tubuh masih menuai gemetar, jari-jari terjepitnya masih mencoba melepaskan belitan seperti tali tambang itu.

"Lepaskan aku, perutku terasa kram!"

"Tidak, kau adalah tawananku sekarang. Aku tak peduli manusia yang lainnya di sana, selain kau."

Kiara semakin bergidik mendengarnya. "Kenapa harus aku? Ada banyak anak gemuk dan orang kaya di luar sana, kenapa harus aku yang tidak punya apa-apa ini?"

"Kau seharusnya berterima kasih, jika tidak, lonceng menara suar sudah melindasmu hidup-hidup," imbuh Abra mendelik, tak menjawab lugas. Ia justru membebat wajah Kiara dan disembunyikan di balik punggung berbilah besinya. Lantas mereka melenyapkan diri di balik kabut, seiring ngengat laut menyadari kehadiran mereka yang masih belum tersentuh.

 Lantas mereka melenyapkan diri di balik kabut, seiring ngengat laut menyadari kehadiran mereka yang masih belum tersentuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kereta laut menjadi satu-satunya juru selamat. Angkutan umum yang telah dipilih sebagai kepercayaan antargenerasi dalam menyeberangkan penumpang dari kota pelabuhan menuju Krios—ibukota Ampyr. Namun, rengkahan dataran kota pelabuhan sedikit banyak membuat warga mau tak mau harus memutari jalan pendakian lain untuk lekas tiba di jajaran gerbong. Belum lagi, pelahap lidah api menyapu kawasan perniagaan maritim terus-menerus, walau sisi lain yang diperoleh adalah menerangi setiap tapak kaki.

Sembari berbondong-bondong menyingkir dari amukan ngengat laut, pasukan keamanan tetap berlanjut mengarahkan arus pelarian warga agar tetap terarah langsung ke Bilik Timur Ampyr. Lokomotif telah mengepulkan uap batu bara, rel yang mengapung di permukaan selat turut serta berdesingan. Sedangkan, masinis beserta juru langsir tampak kepayahan mengoordinasi jalur evakuasi. Sebagaimana anak-anak dan wanita yang didahulukan, tetapi para laki-laki bugar juga tak mau kalah berebut.

REGTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang