Istrinya Adalah Selebriti ( Part 1 )

Bab 254

Bab 254

Itu adalah hari yang indah dan cerah di Pegunungan Alpen Swiss. Banjir salju yang halus mulai melayang turun, menambah keindahan alam pegunungan itu. Untungnya, tidak terlalu berangin sehingga suhunya lumayan dengan pakaian musim dingin yang tepat.

Kencan Iris dan Jin Liwei terdiri dari berjalan-jalan di pusat kota, menghargai alam, dan mengambil foto bersama di tempat yang begitu menakjubkan. Namun, mereka tidak tinggal di luar terlalu lama karena Iris perlu melindungi tenggorokan dan pita suaranya dari hawa dingin.

Mereka menuju ke dalam mal untuk pemanasan. Mereka tidak berbelanja, tetapi terus berjalan sambil berpegangan tangan. Iris sangat terganggu karena dia terus berpikir tentang bagaimana dia akan mengaku kepada Jin Liwei. Dia tidak tahu mengapa dia merasa sangat gugup.

'Katakan saja' Aku mencintaimu '. Apa yang sulit tentang itu? " dia menantang dirinya sendiri, tetapi dia masih tidak bisa menahan diri dari merasa gelisah.

"Ada apa, sayang?" Jin Liwei bertanya, memperhatikan kegelisahannya.

Dia menggelengkan kepalanya dan bertanya kepadanya, "Kamu hangat sekarang? Aku ingin membawamu ke tempat lain."

"Aku selalu merasa hangat denganmu. Sebenarnya panas," katanya dengan senyum seksi.

Matanya menjadi gelap karena keinginan. Tidak seperti ketika mereka baru pertama kali bertemu, dia sekarang bisa memahami beberapa sindiran seksual. Dia meraih kepalanya untuk ciuman keras di tengah mal. Orang-orang hanya melirik mereka dengan geli sebelum kembali memikirkan urusan mereka sendiri.

Ketika ciuman berakhir, mereka berdua terengah-engah.

"Bagaimana sekarang? Apakah kamu merasa lebih panas?" dia berbisik.

"Mendidih."

Dia terkikik dan kemudian menarik lengannya. "Kesibukan sudah berhenti. Ayo pergi sebelum salju turun lagi."

"Oke, sayang. Pimpin jalan."

Mereka naik bus antar-jemput lain ke tujuan berikutnya. Itu adalah taman alami di luar pusat kota.

Ketika keduanya turun, terdengar suara menderu dari kejauhan. Itu juga lebih dingin di tempat ini. Ada orang lain selain mereka berdua, kebanyakan pendaki. Beberapa dari mereka mungkin akan mendaki sampai ke daerah gletser pegunungan.

Iris menyeret Jin Liwei, hampir memantul dalam kegugupannya. Suara menderu semakin keras saat mereka mengikuti jalan setapak yang lebih dalam ke hutan. Akhirnya, mereka mencapai tempat terbuka dan air terjun bertingkat yang menakjubkan muncul di hadapan mereka.

Air gletser yang mengalir deras berkilauan di bawah sinar matahari yang cerah seperti kristal cair murni. Itu bukan air terjun besar tapi cukup untuk mengesankan orang-orang dengan keindahannya, ditekankan oleh lingkungannya yang masih alami.

"Itu indah," desah Jin Liwei, tapi dia masih mendengarnya meskipun ada air menderu.

Dia tersenyum, senang bahwa dia menyukai tempat itu.

Lalu dia memandangnya. "Tapi kamu lebih cantik."

Senyumnya melebar dan jantungnya berdetak lebih cepat.

"Liwei…"

"Ya sayang?"

"Mendekatlah. Aku perlu memberitahumu sesuatu."

Dia bersandar padanya.

"Lebih dekat," desaknya.

Membengkokkan kepalanya, dia mencondongkan tubuh lebih dekat sampai wajahnya hanya beberapa inci dari miliknya.

Dia menggunakan tangannya untuk dengan lembut memutar kepalanya ke samping sehingga telinganya langsung di depan mulutnya.

Lalu dia berbisik, "Aku mencintaimu, Jin Liwei."

Dia membeku. Kepalanya tersentak untuk menatapnya, matanya melebar karena terkejut. Dia tidak tahu lagi apakah raungan di kepalanya berasal dari air terjun atau dari pikirannya sendiri yang campur aduk.

Dia mulai merasa gugup. Kenapa dia tidak mengatakan apa-apa? Ketidakpastian mengencangkan dadanya, meremas jantungnya yang berdetak kencang.

"L-ayo ... Sudah mulai dingin," katanya, memaksakan senyum. Dia merasa kecewa dengan reaksinya, atau ketiadaannya. Dadanya sakit.

Dia berbalik dan mulai berjalan pergi, meninggalkannya membeku di tempat. Dia hanya berjalan lima langkah sebelum pelukan ketat menghentikannya dari belakang.

"Katakan lagi." Nada suaranya mendesak.

Ketidakpastiannya menghilang, digantikan oleh perasaan hangat. Senyum lembut menyentuh sudut bibirnya. Dia berbalik dalam pelukannya sampai dia menghadapnya. Membingkai wajahnya dengan tangan bersarung, dia mengulangi pengakuannya.

"Jin Liwei, aku mencintaimu."

Matanya bergetar ketika segudang emosi melintas di dalamnya.

"Lagi."

"Aku cinta kamu."

"Lagi."

Dia terkikik. Lalu dia berkata "Aku mencintaimu" kepadanya dalam berbagai bahasa. Ketika dia berada di bahasa kedelapan, dia menghancurkan bibirnya dengan mulutnya. Dia membuka untuknya, menerima invasi lidahnya. Tentu saja, dia juga menginvasi mulutnya.

Udara sangat dingin, terutama di dekat air terjun, tetapi tubuh mereka terasa panas. Mereka saling melahap, nyaris tidak bernafas dalam rasa lapar mereka. Ketika mulut mereka terpisah, mereka linglung untuk beberapa saat.

Jin Liwei menciumnya beberapa kali lagi, menatap ciuman di sela-sela. Dia tidak percaya bahwa dia hanya mengatakan kepadanya bahwa dia mencintainya. Hatinya terasa seperti akan meledak dari cinta dan kebahagiaan.

"Aku juga mencintaimu, sayang. Sangat," katanya, membelai pipinya yang sekarang merah dengan tangannya yang terbungkus sarung tangan. "Terima kasih sudah mencintaiku juga. Aku sangat bahagia. Aku merasa seperti sedang bermimpi."

"Kamu tidak sedang bermimpi. Aku mencintaimu, Liwei." Lalu dia menambahkan, "Kamu milikku."

"Aku milikmu, selalu." Ekspresinya berubah serius. "Dan kamu milikku."

"Ya, aku milikmu."

Anehnya, Iris tidak begitu menentang klaim seperti ini sebelumnya. Sekarang dia mengerti bagaimana rasanya sangat menginginkan seseorang untuk membuat klaim pada orang itu. Itu bukan masalah kepemilikan atau kepemilikan, seperti yang dikeluhkan banyak orang. Tidak semuanya. Mereka bukan budak atau tuan satu sama lain. Sebaliknya, mereka adalah sepasang kekasih.

Mengklaim adalah pernyataan perasaan dan keinginan mereka untuk saling memiliki. Mereka adalah pria dan wanita yang setara dalam cinta. Klaim ini adalah janji dan komitmen satu sama lain dan untuk tidak membiarkan orang luar datang di antara mereka. Sesederhana itu.

Jin Liwei melemparkan kepalanya kembali dengan gembira ketika dia mendengar kata-katanya. Dia telah menunggu hari ini. Akhirnya.

"Ini adalah hari paling bahagia dalam hidupku," katanya. "Dan aku yakin bahwa hari terindah selanjutnya juga bersamamu."

Senyum manis muncul di wajahnya, membuatnya semakin cantik. Lalu kilatan peringatan muncul di matanya. "Lebih baik bersamaku atau kamu akan berada dalam masalah."

Dia terkekeh, mencintai sisi baru dari dirinya.

"Tentu saja, sayang. Hanya ada kamu di sini," katanya, meraih tangannya dan menekannya di dadanya.

Salju mulai turun lagi. Seolah-olah surga menghujani mereka berdua. Itu membuat momen lebih berkesan, selamanya menanamkannya dalam ingatan mereka