4 : Prince

9K 1.2K 145
                                    

Disclaimer : Naruto bukan milik saya

Don't like don't read

Warning : Bahasa tidak baku, EYD tidak sempurna, karakter OOC

.

.

4 : Prince

.

.

Setelah berinteraksi beberapa hari dengan Sarada, Hinata mengambil kesimpulan jika Sarada adalah anak yang baik.

Dan pintar.

Dan manis.

Dan pendiam.

Dan imut.

Pokoknya, Sarada benar-benar baik meskipun sedikit dingin.

Lalu Sasuke...

Hinata menolak mengomentari pria dingin itu.

Kini Hinata sudah mulai terbiasa tinggal di kediaman Uchiha. Disini, kehidupannya terjamin. Ia bisa hidup dengan santai tanpa dibebani oleh apapun.

Benar-benar damai.

Apakah Cinderella juga merasa seperti ini ketika pada akhirnya bisa hidup di istana setelah si pangeran memakaikan sepatu kaca yang hanya pas di kakinya? Mungkin Cinderella juga merasa damai seperti ini setelah terbebas dari ibu tiri dan dua saudari tiri yang jahat.

Ah, bukan berarti ia menganggap dirinya sebagai Cinderella. Maksudnya adalah, Hinata tahu ia bukan Cinderella dan Sasuke bukanlah si pangeran. Kisahnya berbeda jauh! Dongeng Cinderella adalah sebuah kisah cinta. Sedangkan Hinata dan Sasuke? Tidak ada kisah, dan jelas-jelas tidak ada pula cinta. Sama sekali tidak mirip kan?!

Terkadang ia juga bertanya-tanya, apakah keluarga Hyuuga mencarinya? Apakah ada yang merindukannya?

Mungkin tidak.

Tidak ada seorangpun yang menginginkannya di keluarga itu. Mungkin semua orang saat ini justru merayakan kepergiannya. Ayahnya mungkin merasa lega karena telah berhasil menyingkirkan putrinya yang tidak berguna. Ibu tirinya mungkin merasa senang karena tidak perlu lagi menatap wajah Hinata. Adik seayahnya, Hanabi, mungkin juga akan merasa lega karena akhirnya bisa menjadi si pewaris tunggal perusahaan Hyuuga.

Terserah.

Apapun yang terjadi, Hinata yakin ia akan baik-baik saja.

.

.

"Aku tidak tahu jika kau sangat mahir bermain piano, Hinata-san."

Hinata hanya tersenyum tipis ketika mendengar ucapan Sarada yang duduk disampingnya. Jari-jari lentiknya sibuk memainkan piano, menciptakan alunan musik yang lembut. Tidak hanya piano, Hinata juga mahir memainkan biola. Ayahnya mewajibkannya untuk mahir memainkan dua alat musik itu meski Hinata tidak begitu menyukainya. Masa kanak-kanak harusnya dihabiskan dengan bermain riang, bukannya terkurung di rumah dan menghabiskan waktu berjam-jam belajar biola dan piano.

Lima menit kemudian Hinata selesai. Para maid yang tadinya diam terpaku karena menikmati alunan piano kini mulai kembali melanjutkan pekerjaan mereka.

"Tadi itu sangat indah." Puji Sarada.

"Terima kasih." Jari Hinata kembali memainkan tuts piano, kali ini hanya asal-asalan. "Apa kau bisa bermain piano?"

Sarada menggeleng. "Tidak. Papa juga tidak bisa."

Jari-jari Hinata membeku. "Lalu mengapa ada piano disini jika tidak ada seorangpun yang bisa memainkannya?"

Diamond (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang