Jendela itu, entahlah

21 2 2
                                    

Aku tahu, bahwa cinta tak menyakitiku.
Namun harapanku yang salahlah yang melakukannya.
~entahlah~


~

Kini, sendiri. Sepi kembali.

Aku duduk di tepi pantai. Menikmati ombak yang berderai. Melihat cahaya senja yang terakhir. Redup. Hampir punah.

~

Aku ingat pada hari ketika aku sendirian. Aku duduk di dekat jendela ditemani dengan beberapa cemilan di depanku. Menikmati turunnya hujan sebagai tanda aku bersedih.

Waktu itu, aku masih sangat kebingungan. Aku tahu, bahwa cinta itu tidak menyakitiku. Namun harapanku yang salah lah yang melakukannya.

Kenyataan bahwa dia telah pergi untuk bersama dengan orang lain membuatku merasa tak berharga. Dengan kata lain, aku putus asa atas hidupku ini.

Mengapa aku masih hidup? Toh tak ada yang menginginkanku kan.
Pikirku.

~

Splash..

"Hehehe..." tawa itu masih terngiang-ngiang di kepalaku saat kami bermain hujan. Waktu itu, kami masih kecil dan tak tahu apa-apa. Orang tua kami mengawasi kami dari kejauhan.

Kami sangat senang waktu itu. Tanpa tahu apa yang akan terjadi saat kami besar nanti.

~

Aku rindu hari itu. Ketika kami bersama tanpa ada yang lain. Itulah mengapa aku menyukai hujan.

Karena itu juga, aku senang melihat hujan dengan duduk di dekat jendela.

Aku mengamati setiap tetes dari hujan itu. Begitu lembut, namun tegas. Menyenangkan.

Aku tahu, bahwa perpisahan yang sesungguhnya adalah perpisahan tanpa kata 'selamat tinggal' atau 'sampai jumpa'.

Itulah yang kualami.

Dia pergi tanpa mengatakan selamat tinggal atau sampai jumpa. Tidakkah dia tahu bahwa aku menolak semua orang demi bersamanya?

Tapi dia malah menolakku untuk bersama dengan semua orang.

Air mataku menolak untuk berhenti. Ia terus saja membasahi pipiku. Hingga mataku menjadi sembab. Tapi tak masalah, takkan ada orang yang mengetahuinya.

Aku menangis di tengah-tengah lamunanku. Aku tak tahu apa yang aku lakukan hari itu.

~

"Loh? Arion? Kamu ngapain di sini? Mau kuliah di sini juga?" Sapaku.

Ia menoleh, dan berkata, "iya, aku di sini untuk mendaftar."

"Semoga kita berdua bisa keterima ya," ucapku riang.

Arion hanya tersenyum. Aku bisa merasakan, senyumnya itu dingin. Tak seperti dahulu lagi. Namun aku berusaha untuk berpikir positif.

Ah, mungkin dia lagi kecapekan atau apa.. pikirku.

Sudah lama aku merasakan dia tak seperti dahulu lagi. Jujur saja aku sedih, namun aku tetap berharap semoga dia tak menjauhiku.

Namun, sepertinya aku salah.

~

Tutt... tutt.. tutt...
Maaf, nomor yang anda tuju sedang sibuk. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.

Aku mematikan telepon itu. Aku tak bisa menghubunginya. Aku tak tahu dia di mana atau sedang apa. Aku rindu dia.

"Sudah, jangan menangis lagi." Kata Desy, sahabatku.

"Huhuhu.. sejak dia diterima di kampus itu, dia tak menghubungiku," aku menangis di pundak Desy. Aku sangat mempercayai Desy. Sudah lama juga aku bersahabat dengan Desy.

Kami bekerja di tempat yang sama. Aku tak bisa masuk perguruan tinggi, karena itu aku harus bekerja. Pada hari kami bertemu, kami langsung akrab seakan kami pernah saling mengenal sebelumnya.

Ya, aku sedih aku kehilangan Arion. Namun aku senang karena aku bertemu dengan Desy. Setidaknya saat itu.

~

Desy.. Arion.. ugh..

Sakit. Aku tak menyangka bahwa rindu bisa sangat menyakitkan seperti ini. Aku menangis sendirian di dekat jendela itu.

Hujan masih saja turun. Tanpa berpikir genangan macam apa yang akan hadir. Namun bagiku, hujan tak hanya mendatangkan genangan, tapi juga kenangan.

Kenangan manis di masa lalu, telah berubah menjadi kenangan yang pahit. Entahlah. Setiap kali aku mengingatnya, dadaku sesak.

Keripik yang ada di depanku sekarang, belum tersentuh sama sekali. Dari tadi aku hanya menangis dan menangis. Merenungi nasibku.

Aku ingat hari itu.

EntahlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang