Pagi itu suasana dapur sangat berisik karena kedua orangtuanya tengah sibuk menyiapkan makanan di dapur.
Menjadi anak tunggal bukanlah sebuah hal yang patut di banggakan seperti kata orang-orang diluaran sana. Menjadi anak tunggal juga bukanlah suatu hal yang patut untuk dijadikan objek perbandingan kasih sayang.
Kasih sayang orang tua tak akan mampu dihitung banyaknya, karena mereka tidak ingin menominalkan kasih sayangnya. Biarkan semuanya berjalan, bersama waktu, canda, tawa, dan kebersamaan yang ada. Sehingga menciptakan kenangan indah yang tiada tara.
Hari ini adalah hari senin. Dan hari senin adalah hari dimana Erin sangat malas untuk segera beranjak dari tempat ternyamannya yaitu kamar, beserta kasur dan isinya.
Namun, sepertinya dia tidak bisa bermalas-malasan karena kedua orang tuanya tidak akan memperbolehkan membolos sekolah tiap senin, katanya,
"Kamu ini! Tinggal sekolah saja malas,mending ayah sama bunda nikahin kamu aja sama anak kampung nenek. Biar sekalian ndekem di rumah, ngurus kambing, sapi, sama momong anak!"
Yaahhhh begitulah ancaman yang selama ini menjadi momok bagi Erin akan niatnya untuk membolos.
Sebenarnya, bisa saja dia berpamitan untuk berangkat sekolah tapi kenyataannya adalah membolos. Sayangnya, ide itu harus dibuang jauh-jauh karena kedua orangtua Erin punya mata-mata yang bisa diandalkan.
Disinilah Erin berakhir. Mengendap-endap menuruni satu per satu anak tangga seraya mengendong sakteborad kesayangannya. Dia tidak ingin kehadirannya di ketahui oleh kedua orangtuanya atau oleh seorang cowok yang Erin lihat sedang duduk di kursi ruang makan. Seolah menunggu hidangan sarapan pagi seperti balita yang menunggu makanan datang.
Cowok itu adalah Kenzie. Sahabat sehidup-semati Erin dari bayi sampai sekarang. Cowok yang bisa membuatnya jatuh dalam pesona. Kenzie itu penuh pesona menurut Erin. Dia punya kepribadian yang baik dan penampilan yang menawan. Kulitnya putih, tubuhnya tegap gagah, senyumannya seperti sinar mentari, dan suara deep yang mampu meluluh lantakkan hati Erin.
Erin, sambil mengendong skateboardnya berjongkok dan merangkak menuju pintu keluar rumahnya. Dipertengahan jalan, Erin lekas merapatkan diri di sofa tak jauh darinya karena merasa akan ada pergerakan dari Kenzie.
Erin berusaha sekuat tenaga untuk bersembunyi, ia berfikir, mengapa ruang makan dan ruang tamu berdekatan? Mengapa tidak ada sekat pembatasnya? Jika seperti ini, bagaimana bisa kabur dengan mudah?
Setelah merasa aman, Erin menyembulkan kepalanya untuk mengecek apakah Kenzie tidak menyadari keberadaannya. Syukurlah, Kenzie kembali dengan ponselnya dan fokus menunggu hidangan sarapan pagi.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Erin cepat-cepat melangkah dan langsung keluar begitu berhasil mencapai pintu rumahnya.
Suara dentuman pintu terdengar membuat Kenzie –yang tadinya sibuk dengan ponselnya di ruang makan— serta kedua orangtua Erin yang berada di dapur segera melihat ke arah pintu.
Sambil mendengus Ema --- Bunda Erin --- berteriak lantang. "Erinnnn!!! Sarapan dulu, nak!"
Erin yang sudah berada di depan rumah menghentikan langkahnya lalu menengok ke belakang, tepatnya ke arah rumahnya.
"Malas, Bun! Erin berangkat dulu, Assalamuallaikum!" balasnya ikutan berteriak.
Setelah itu, Erin segera melesat menggunakan skateboard kesayangannya, skateboard pemberian Ayahnya saat dia berusia lima tahun sebagai hadiah ulang tahun.
Erin menaiki skateboardnya menuju sekolahnya yang berjarak dua kilometer lebih sedikit dari rumahnya. Untung saja ada skateboard jadi dia tidak perlu harus menumpang pada Kenzie.
Jantungnya kan sering bereaksi berlebihan jika sudah dekat dengan Kenzie.
KAMU SEDANG MEMBACA
REGRET
Teen FictionSELAMAT MEMBACA! s i n o p s i s. Erin Faressya Aldarasya, anak tunggal dari keluarga harmonis yang tidak pernah merasa kekurangan. Termasuk kasih sayang. Dia punya sahabat yang selalu ada disaat apapun. Suatu hari Erin mendapati sahabatnya menjau...