Rasa yang paling berat di pikul itu bukan rasa rindu, melainkan rasa dimana setiap waktu harus terbelenggu dengan sebuah harapan yang semu.
🌸🌸🌸
Erin tengah sibuk merapikan kamar karena mungkin Kenzie akan masuk ke kamarnya untuk saling membantu mengerjakan tugas sekolah.
Sastra Inggris, pelajaran yang paling menyesakkan otak Erin, menyiksa dan bahkan meminta ruang khusus dalam otak. Erin meruntuki Kenzie yang dengan mudahnya mendapatkan kertas ulangan dengan nilai merah di tasnya.
Karena takut Kenzie akan mengadukan nilai jeleknya itu pada kedua orangtuanya, jadilah Erin harus mengikuti keputusan Kenzie untuk di ajari pelajaran Sastra Inggris ini.
Erin mengingat kembali saat dulu kedua orangtuanya menyuruh mengikuti sebuah kursus bahasa inggris setelah Kenzie memberitahukan nilai-nilai jelek dari ulangannya. Rasanya benar-benar membosankan! Apalagi guru kursusnya banyak berbicara bahasa Inggris, jadi, bagaimana bisa Erin mengerti?
Erin berdiri di atas kasur sambil menatap sekeliling kamar, kepalanya mengangguk tanda semua sudah beres. Erin menuruni kasur dan beralih menatap pantulan dirinya di cermin. Sepertinya ada yang kurang, tapi apa? Karena tidak tau apa yang kurang dan otaknya sedang blank, Erin memutuskan untuk turun ke bawah.
Namun, saat di ambang pintu Erin berhenti, dia mencium bau masakan bundanya, seketika Erin langsung kembali masuk ke kamar. Erin meraih parfum yang berada di meja riasnya lalu menyemprotkan cairan tersebut pada setiap sudut kamar hingga setengah parfum yang ia punya terkuras.
Sambil sibuk menyemprot seluruh ruang di kamarnya Erin bermonolog.
" Wahai segala bau busuk dari kentut yang Erin keluarkan, wahai bau busuk dari remahan makanan yang Erin makan. Enyahlah! Enyahlah!!!!"
Erin terdiam lalu membatin. Kenapa gue kayak lagi ngusir setan?
Sebuah ketukan pintu membuat Erin buru-buru meletakkan parfumnya kembali di meja rias, ia sempatkan mengaca untuk mengoreksi penampilannya dan membenarkan tata letak poni panjang yang ia kuncir.
Erin membuka daun pintu kamarnya dan menemukan Kenzie tampan dengan balutan kaus navy serta celana hitam selutut beserta nampan di tangannya?
"Nggak disuruh masuk, nih?" Erin terkesiap dan membuka pintunya lebar-lebar untuk memberikan ruang bagi Kenzie masuk ke dalam kamarnya.
Kenzie terbatuk merasakan bau semerbak yang menusuk hidungnya. "Lo pake berapa liter parfum, Rin? Nyengat banget tau!"
Erin mendengus. "Yeee... kamar gue udah dari sananya harum seharum parfum mewah paris. Lo aja yang nggak sadar dengan keharuman ruangan ini!" sewotnya.
"Ngapain lo bawa-bawa makanan kesini?" lanjutnya dengan nada bicara sebal. "Kalo kamar gue bawa gimana?!"
"Sewot banget, lo," Kata Kenzie sambil menyuapkan makanan pada mulut Erin yang diterima Erin dengan terpaksa. "Bunda, nyuruh gue ngasih lo makan. Katanya, anaknya belom makan." Lanjutnya sambil kembali menyuapi Erin.
"Ywee! Uve vah, bisa sendiri. Uhukk... uhukk... "
Kenzie menutup matanya kala makanan yang Erin kunyah menyiprat kewajah, tau bawa Erin tersedak buru-buru Kenzie mengelap wajahnya dan meraih gelas minum kemudian memberikan pada Erin.
"Makannya kalo makan tuh jangan disambi ngomong. Kesedak kan lo."
Erin lagi-lagi hanya bisa mendegus kesal. "Kayaknya, kita tukeran aja deh." Kenzie mengernyit.
"Tukeran orang tua maksudnya. Lo, jadi anak ayah sama bunda. Gue, jadi anak mama sama papa lo. Gimana? Ide bagus nggak, tuh? Lo bisa di manja disini, gue bisa maen sama Rendi sama Yura."
Kenzie menghentikan suapannya membuat mulut Erin terbuka nganggur, Erin dengan mulutnya yang masih terbuka terpaksa menutupnya perlahan sambil mengecap sebentar saat tau bahwa suapan terakhir itu tak jadi disuapkan ke mulutnya.
Kenzie menatap manik mata Erin, wajahnya tiba-tiba mendekat membuat Erin membelalak namun dia mematung, rasanya tidak bisa menjauh maupun melawan untuk protes.
Hembusan napas Kenzie terasa hangat saat menerpa wajah Erin. Seakan waktu berhenti kala keduanya saling diam dan menatap.
Kenzie menangkup pipi Erin dan menatapnya lembut. "Gue suka sama lo." Erin langsung membelalak tak percaya, "Jadi? Mau nggak, jadi pacar gue?"
Desiran hebat menjalar keseluruh tubuh Erin, benar-benar tak bisa di duga! Kenzie menembaknya?
Astaga! Erin tersenyum senang. Akhirnya, perasaannya mampu terbalaskan.
"Rin, Erin!"
"ERIN!"
Erin tersadar akan khayalannya mengenai Kenzie. Sedangkan Kenzie buru-buru menempelkan telapak tangannya di dahi Erin, membandingkan dengan suhu dahinya. Kenzie merasakan panas, pipi Erin pun terlihat memerah, apa Erin sakit?
"Lo, sakit?" Erin tak bergeming dan masih menatap Kenzie lalu tersenyum aneh.
Kenzie menggelengkan kepalanya. "Gak bener, nih. Oke! Hari ini gak jadi belajar"
Senyum Erin luntur digantikan wajah terkejut, mengapa Kenzie membatalkan janji belajar bersamanya?
"Kok dibatalin, sih?!" potongnya cepat.
"Kayaknya lo sakit, mending lo isirahat terus belajarnya bisa besok-besok aja."
"NGGAK! Siapa bilang, g-gue sakit!"
"Badan lo panas, pipi lo juga sampe merah! Kok lo nggak bialng ke gue kalo nggak enak badan? Kita kan bisa re-schedule belajar hari ini."
Erin mendongak menatap Kenzie yang berdiri sambil membawa nampan berisi mangkuk kosong dan gelas yang airnya sudah Erin habiskan.
"Nggak! Gue sehat, kuat, kokoh, dan tangguh! Ayo, belajar! Biar gue pinter!"
Kenzie berdeham seraya menggeleng. "Udahlah jangan maksa, nanti tambah sakit," Kenzie menatap mangkuk yang terlihat masih ada sisa suapan terakhir yang ia tunda tadi. "Nih, terakhir," ucapnya sambil menyuapkan makanan yang tersisa itu pada mulut Erin sehingga Erin yang hendak membantah gagal.
Erin mendesah kecewa saat pintu kamarnya tertutup, Erin menampar dan mengelus pipinya sendiri.
Huh! Kenapa saat di dekat Kenzie dirinya selalu saja begini, sih! Kan jadi gagal modusnya!
Erin langsung merambat dari tempatnya dengan Kenzie tadi yaitu di karpet tebal di lantai kamarnya menuju kasur, dia kecewa karena kesempatan modusnya gagal. Erin menarik selimut hingga ke bawah dagu.
Berselang beberapa detik Erin segera menyibakkan selimutnya dan berlari keluar kamar. Sebelum mengejar Kenzie, Erin menyempatkan diri untuk menghadap Ema. Erin menyembulkan kepalanya menatap bundanya yang sedang menggoreng apa itu, Erin tak tau.
"Bunda!"
"Allahhuakbar! Erin! Kamu ngagetin, bunda aja sih!"
Erin menyengir dan memasang tanda peace. "Maaf, bunda. Oiya! Erin mau kerjain Ken, bunda diem ya, jangan ketawa, jangan ngasih tau si Ken. Koe?"
Ema menggelengkan kepalanya melihat kelakuaan anak semata wayangnya itu. "Yang bener itu "Oke" sayang..."
Erin mengangguk. "Oke! Bunda barusan bilang oke, kan? Oke kalo begitu."
Erin segera berlari menuju teras untuk mengejar Kenzie, ia memiliki rencana untuk memperoleh modus menghabiskan waktu dengan Kenzie. Yakni dengan berpura-pura pingsan saja, bagaiamana? Cerdas bukan otaknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
REGRET
Teen FictionSELAMAT MEMBACA! s i n o p s i s. Erin Faressya Aldarasya, anak tunggal dari keluarga harmonis yang tidak pernah merasa kekurangan. Termasuk kasih sayang. Dia punya sahabat yang selalu ada disaat apapun. Suatu hari Erin mendapati sahabatnya menjau...