TUHAN BEKERJA DENGAN CARA YANG MISTERIUS

10.4K 207 5
                                    

Nabi Muhammad saw. bersabda: "Seburuk-buruk ulama adalah ulama yang mengunjungi penguasa, dan sebaik-baik penguasa adalah penguasa yang mengunjungi ulama. Berbahagialah seorang penguasa yang berada di depan orang miskin, dan celakalah orang miskin yang berada di depan gerbang penguasa."

Seklias, hadits Nabi itu seakan-akan bermakna bahwa 'tidak layak bagi seorang ulama mengunjungi pemerintah.' Perbuatan seperti itu menjadikan seorang ulama menjadi ulama terburuk. Tapi, Hadis itu tidak bermakna sedemikian dangkal. Makna sebenarnya dari Hadis itu adalah seburuk-buruknya ulama adalah ulama yang menerima sokongan dari penguasa. Dia melakukannya karena ingin memperoleh penghidupan dari sang penguasa. Anugerah serta pemberian penghidupan dari seorang penguasa dijadikan tujuan utama kehidupan dan pencarian ilmunya. Dia ingin, agar sang penguasa memberinya berbagai hadiah. Dia selalu memuji penguasa dan berkata kepadanya dengan berbagai penghargaan yang tinggi. Ketika menjadi ulama, dia mempelajari tata cara untuk bisa melepaskan diri dari ketakutan dan kekuasaan setiap penguasa. Ulama-ulama seperti akan membiasakan dirinya dengan berbagai tingkah laku yang akan disukai oleh setiap penguasa. Dalam kehidupan ini mungkin ada ulama yang mengunjungi penguasa, dan ada pula penguasa yang mengunjungi ulama. Tapi, ulama-ulama buruk itu akan selalu menempatkan dirinya sebagai tamu, dan selalu menganggap penguasa sebagai tuan rumah.

Pada sisi lain, ketika seorang ulama yang sudah mengenakan jubah keilmuannya, dia melakukannya bukan demi seorang penguasa, melainkan, pertama dan paling utama, karena Tuhan. Ketika seorang ulama berperilaku dan berjalan sepanjang jalur kebenaran, sebagaimana yang semestinya dilakukan oleh seorang ulama, dan tidak berperilaku untuk alasan lain, maka semua orang akan berdiri hormat terhadapnya. Semua orang merasa mendapatkan limpahan cahaya yang memantul darinya. Baik mereka sadar ataupun tidak. Segala perilaku ulama itu, selalu diatur oleh nalar dan naluri kebaikan. Dia hanya bisa hidup di dalam kebaikan, seperti ikan yang hanya dapat hidup di dalam air. Apabila ulama seperti itu pergi kepada seorang penguasa, maka dialah yang bertindak sebagai tuan rumah dan penguasa sebagai tamunya. Karena, sang penguasa akan memperoleh bantuan darinya dan bergantung padanya. Ulama seperti itu jiwanya merdeka dan tidak terikat kepada seorang penguasa. Dia akan selalu melimpahkan cahaya bagaikan matahari. Hidupnya semata-mata untuk memberi dan memberkahi. Matahari mengubah bebatuan biasa menjadi rubi dan permata carnelin. Matahari akan mengubah gunung-gunung di bumi menjadi tambang tembaga, emas, perak dan timah-timah.
Matahari membuat bumi hijau dan segar, menghasilkan bermacam buah-buahan dan berbagai tanaman. Tugasnya hanyalah memberi dan membekali; dia tidak mengambil apa-pun. Ada sebuah pepatah Arab yang berbunyi: "Kami telah belajar untuk memberi, tidak untuk mengambil."Ulama seperti itu akan selalu menjadi tuan rumah dalam keadaan bagaimana pun. Dan penguasa akan selalu menjadi tamu mereka.

Suatu ketika aku pernah berhasrat untuk menafsirkan ayat Al-Qur'an, walaupun ayat tersebut tidak berhubungan dengan pokok perbincangan ini. Bagaimana pun, hasrat itu telah datang padaku. Aku harus melakukannya. Tuhan berfirman: "Hai Nabi, katakan kepada tawanan-tawananmu bahwa, Tuhan mengetahui kebaikan yang ada dalam hatimu. Dia akan memberimu suatu yang lebih baik daripada yang telah diambil darimu; dan Dia akan mengampunimu, karena Tuhan Maha Pengampun dan Maha Penyayang." (QS.8:70). Sebab turunnya ayat ini adalah sebagai berikut: Suatu ketika, Nabi Muhammad berhasil mengalahkan orang-orang kafir. Banyak orang yang terbunuh dalam peperangan itu. Kaum Muslim mendapatkan banyak barang rampasan perang. Nabi memiliki banyak tawanan yang terikat kaki serta tangannya. Salah satu tawanan itu Abbas, paman Nabi sendiri. Sepanjang malam para tawanan itu meratap dalam belenggu, mereka berputus asa dan berhenti berharap. Tak ada lagi yang mereka nantikan kecuali tebasan pedang di batang leher mereka. Nabi mengetahui hal itu lalu melihat mereka dan tertawa.

"Kalian lihat itu", para tawanan itu berkata, "dia memiliki kemanusiaan dalam dirinya. Pernyataan bahwa dia bukanlah manusia tidaklah benar, karena di sini, ketika dia melihat kita terikat sebagai tawanannya, dia
merasakan kenikmatan yang sangat seperti manusia lain bergembira dalam suka cita, apabila telah menaklukan musuhnya dan melihat mereka terkalahkan."

Jalaludin Rumi, Fihi ma FihiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang