Satu Tahun

20 2 0
                                    

"Setahun bukan waktu singkat buat nahan gue. Lo gak tau gimana rasanya jauh dari dia yang biasanya dekat. Asing dari dia yang biasanya gak pake jaim." - Ardhan

"Lo juga gak tau rasanya udah nyaman tapi terpaksa jauh demi teman." - Alan

------------------------------------------------------------
Ardhan bergegas masuk ketika tiba di rumah Anita. Rasa sakit yang menjalar dan keringat bercucuran tadi telah berkurang setelah meminum obat seperti biasa ia lakukan.

Di belakangnya, Razqil menggerutu melihat sikap kekhawatiran Ardhan yang terlampau kelihatan itu. Rizra menegurnya untuk mengerti keadaan. Sedangkan Nal dan Diyo menggeleng-geleng melihat hal tersebut.

Mereka bergegas menyusul Ardhan yang melesat ke kamar Anita

Keempatnya disuguhi pemandangan ala drama. Ardhan yang menatap prihatin pada Anita yang terbaring. Wajah gadis itu pucat. Mungkin akibat pingsan terlalu lama dengan posisi tidak elit.

"Sst stttt Nita! Lo pingsan apa tidur si?! Masa dari semalem!?," Rizra berbisik pelan. Walau percuma saja, orang tua dan teman temannya mendengar perkataan konyol gadis itu.

Mama Anita memijat pelipis bingung sendiri. Ia tidak menghiraukan percakapan sahabat Anita.

Diberinya kode pada Ardhan untuk mengikuti wanita itu keluar. Ardhan mengangguk singkat.

Papa Anita menepuk bahu Ardhan dan tersenyum menenangkan. Ardhan mencoba membalas tersenyum sebelum akhirnya berlalu mengikuti Mama Anita.

"Kamu lihatkan konsekuensi dari hal yang kamu lakukan?," Mama Anita tetap berusaha menggunakan intonasi lembut. Walau jiwa Ibunya meronta untuk membentak pemuda yang menjadi penyebab putrinya terbaring lemah sekarang.

"Hm," Ardhan menenangkan diri bisa menebak lanjutan perkataan Mama Anita.

"Jadi tante mohon, jauhi Anita. Biarkan semua berjalan seperti setahun belakangan. Tante tidak bisa membayangkan jika hal ini lagi ataupun lebih akan terjadi. Kamu,"

Mama Anita menunjuk Ardhan dengan jari bergetar akibat menahan tangis "Orang pertama yang akan tante salahkan jika hal ini terulang."

|~|


Ardhan berbalik dengan tampang datar saat bahunya ditepuk dari belakang. Padahal, ia sempat terkejut tadi. Ahli nya emang ganti muka,*eh.

Ia mengangkat alis dan tersenyum miring melihat orang tersebut ternyata Alan, si ketua OSIS.

"Kenapa lo kembali maksa Anita?,"

"Kenapa lo yang sibuk" balas Ardhan datar

Alan menghela napas tak bisa menahan untuk tak banyak berekspresi.

"Setahun belakangan lo udah nyerah." pernyataan paksa tersebut membuat Ardhan tersulut.

"Setahun bukan waktu singkat buat nahan gue. Lo gak tau gimana rasanya jauh dari dia yang biasanya dekat. Asing dari dia yang biasanya gak pake jaim."

"Lo juga gak tau rasanya udah nyaman tapi terpaksa jauh demi teman."

"Ha.ha." Ardhan tertawa paksa

"Emang Anita nyaman juga?."

Alan mendelik samar tak terima walau memang begitu faktanya. Tapi, ia tak tinggal diam.

"Untuk saat ini, lo gak bisa berbuat apa apa. Kesempatan ada ditangan gue. Seiring berjalannya waktu, Anita bakal gue bikin nyaman."

"Terserah. Lo bisa coba." Ardhan mengangkat bahu tak peduli

Ia berbalik dan masuk ke halaman rumahnya meninggalkan Alan yang meredam emosi di depan gerbang.

|~|

Anita menjejaki tangga menuju ruang makan. Terlihat, Papa dan Mama nya sudah duduk menanti.

"Pagi pa," Anita mengecup singkat pipi Andra,Papanya.

"Pagi ma," Ia mengecup singkat pula pipi Tasha,Mamanya.

"Pagi juga sayang." balas Andra dan Tasha kompak.

Anita menduduki bokongnya di hadapan Tasha, sedangkan Andra berada pada kursi utama. Posisi biasa saat mereka berkumpul. Walau tetap rasanya kurang lengkap tanpa Arnate, Abang kandung Anita yang sedang berada di Malang. Dimana Rumah Sakit milik abangnya berada. Yang memang, Arnate adalah seorang dokter spesialis saraf.

kringg..

Dering telepon rumah menggema mengusir hening. Anita bangkit tanpa  intruksi untuk menerima panggilan.

"Halo?"

'oii dekkk'

"EH? BANG NATEE!!"

'Lusa Nate pulang ya Nitakkk, mari kangen kangen-an! sekalian ke makam ....'

"Siapa Nita..?" pertanyaan Tasha menggema, membuat Anita menjauhkan sedikit telepon yang digenggamnya.

"Bang Nate Ma.."  hal tersebut mengakibatkan Anita tak dapat mendengar jelas apa yang dikatakan Nate.

'oke?!'

"Iya oke,deh!"

klik.

Tak lama setelah Anita kembali ke meja makan, terdengar suara langkah kaki mendekati ruang makan.

Ardhan..

Anita mengerjap bingung.

"Mulai sekarang, lo ke sekolah bareng gue aja. Boleh,kan tante?" Lelaki itu mengalihkan pandangan pada Tasha yang sudah memberikan pandangan tak enak.

Andra menggenggam tangan Tasha dan menganggukkan kepalanya seraya tersenyum untuk meyakinkan Sang Istri. Mau tak mau Tasha tersenyum "Iya, sekalian aja ya Nita?"

Walau bingung dan ingin menolak, Anita tetap mengangguk dan pamit mengambil tas sekolahnya, mengatakan agar Ardhan menantinya di depan saja.







Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

He is Jaim BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang