Tatiana dan Purnama

3.7K 305 39
                                    

H-10. London. Winter 2015.

Aku mengambil sebuah cup berwarna merah khas natal berisikan kopi dengan susu, segelas Espresso dengan banyak gula dan susu.

Sebelah tanganku memegang cup kopi hangat sementara tangan satunya mengapit tas berisikan laptop dan buku. Mataku berkeliling mencari tempat duduk kosong di antara kerumunan manusia hingga akhirnya berhenti ketika melihat dua orang gadis remaja beranjak dari kursi yang mereka tempati. Di pinggir jendela, dengan pemandangan salju yang dingin.

Aku membuka laptopku dan mulai mengerjakan materi kuliah yang sebentar lagi harus dikumpulkan ketika sebuah email masuk di alamat email outlook ku.

Dari misspurple. Sebuah nama yang unik untuk wanita dewasa. Teringat wanita itu membuat emailnya saat usianya masih belasan tahun, masih mengenakan seragam putih biru. Aku membuka email itu, tidak ada tulisan di subject nya.

G, sebentar lagi aku nikah.

Waktu serasa berhenti beberapa detik. Gerakan orang-orang di sekelilingku serasa melambat, suara pembicaraan yang berisik dan musik Justin Bieber yang diputar terasa berdengung. Bisa-bisanya Justin Bieber menyanyikan 'What Do You Mean?' pada saat-saat seperti ini. Ingin rasanya aku memaki pegawai Starbucks yang tega memutar lagu itu di sini.

"GE!" Aku menolehkan kepalaku dan melihat Juan. Teman seperjuangan sekaligus orang terkocak yang pernah ku kenal. "Gue suka banget Justin Bieber! Hebat yah pegawainya tau selera gue." Dasar kutu kupret.

***

Jakarta.

"Pengen kemana kalau lo kuliah nanti?" Aku memainkan sedotan yang berada di hadapanku.

"UI. Usahain dulu." Tatiana membaca journal berisi catatan-catatan maha dahsyat yang ia kumpulkan sejak ia bertekad ingin masuk Universitas Indonesia. Salah satu universitas paling bergengsi di Indonesia.

"Susah tauk."

"Makanya diusahain." Ucap Tatiana acuh tak acuh. Ia mengambil minuman yang berada di hadapanku lalu menyeruputnya.

"Itu minuman gue!"

"Gue minta. Pelit amat." Tatiana mendelik kesal kepadaku. "Lo mau lanjut di mana?"

"Nggak tahu." Aku nyengir kepadanya lagi-lagi Tatiana mendelik marah.

***

"New York gimana?" Tanpa tedeng aling-aling, Juan duduk di hadapanku. Ia menaruh kumpulan kertas dan journalnya ke atas meja lalu nyengir lebar kepadaku. Berlagak polos tanpa mengetahui kesalahan apa yang sudah ia lakukan.

"Good." Ucapku singkat sembari menyeruput Espresso yang berada di hadapannya. Panasnya membakar lidahku, tapi hatiku terasa lebih perih dibanding lidahku pada saat ini.

"Oleh-oleh gue mana?" Aku menarik nafas panjang. Tuhan menciptakan dua jenis manusia di dunia ini, yang kalem dan tenang seperti Tatiana atau yang cablak dan kocak seperti Juan. Sayang sekali Juan belum menyadari kesalahannya hingga detik ini.

"Ini." Aku mengeluarkan sekotak coklat dan kaos serta gantungan kunci lalu menyerahkannya kepada Juan. Dia menerimanya dengan senang hati. Mulutnya nyengir, menampilkan gigi-giginya yang rata akibat behel selama tiga tahun. Hingga detik ini ia selalu mengingatkanku bagaimana behel merupakan salah satu penemuan paling besar abad ini.

"Makasih yah Ge, gue sayang banget sama lo." Aku mengernyitkan dahiku jijik sementara Juan tertawa kecil. "Lo kenapa?"

Kenapa? KENAPA?! "Lo nanya ke gue setelah lo terima oleh-olehnya?"

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang