Benang Takdir

1.4K 136 2
                                    

Noura merasa kebas, tangannya yang sedaritadi menahan kepalanya terasa sakit karena terus ditindih oleh kepalanya yang berat. Entah sudah berapa lama ia menangis, air matanya telah lama mengering membuat sebuah aliran menyerupai sungai di pipinya. Kepalanya pusing dan badannya terasa menghangat, mungkin karena sudah beberapa hari belakangan ini ia tidak makan dengan baik. Semua makanan terasa hambar di mulutnya, tidak membuatnya bergairah untuk menghabiskan makanan yang di sediakan oleh pembantunya di rumah. Belakangan ini juga rumah terasa kosong, Papa sibuk dengan pekerjaannya sementara Mama yang biasanya betah di rumah kini juga sibuk dengan pekerjaan barunya.

Noura mengangkat kepalanya, telapak tangannya mengecek suhu badannya yang menghangat. Dengan langkah gontai dan lunglai, ia hendak berjalan menuju dapur mengambil segelas air untuk meringankan dahaganya. Langkahnya terhenti ketika mendengar suara bisik-bisik dari lantai bawah, ia mendengar suara Papa dan Mama berbicara dengan nada yang semakin keras. Noura hendak menyapa keduanya ketika langkah kakinya terhenti, ia memilih untuk duduk di lantai dan diam mendengarkan percakapan kedua orang tuanya.

"Aku mau Noura ikut denganku!" Mamanya berbicara dengan nada tegas, tak seperti biasanya. Mama Noura adalah orang yang penuh dengan aura keibuan dan kelembutan, tapi kali ini ia terdengar putus asa dan pasrah.

"Terserah kamu sajalah." Hati Noura terasa seperti tertohok mendengar nada acuh tak acuh Papa. Ini kali pertama ia mendengar kedua orang tuanya berbicara lagi setelah sekian lama, tetapi pembicaraan mereka membuat kepala Noura yang sudah sakit terasa semakin sakit. "Bagaimana dengan Dimas?"

"Dimas sudah kuliah, dia selama ini tinggal di kos-kosan. Dari mana saja kamu? Masa kamu tidak tahu anak kamu sendiri ada dimana?!" ucapan Mama mulai terdengar keras, membuat Noura tersentak kaget.

"Kecilkan suaramu! Anak-anak bisa bangun nanti!" Papa membalas ucapan Mama dengan suara yang lebih pelan.

"Pokoknya Noura ikut denganku. Dimas bisa mengatur dirinya sendiri, dia bisa pergi ke kamu atau aku kalau dia mau." Mama mengecilkan suaranya.

"Rumah ini akan ku jual, uangnya nanti kita bagi dua. Kau bisa membeli rumah dengan uang hasil penjualan rumah ini."

"Bisa-bisanya kamu! Bagaimana dengan Noura? Apa dia harus pindah sekolah juga?!"

"Aku peduli kepada Noura ...."

"Kalau kau peduli seharusnya kau tidak memulai semua ini." Mama memotong perkataan Papa. "Noura sebentar lagi masuk SMA, kau pikir mudah mencari sekolah dan rumah baru?"

"Aku akan mengusahakan kalian mendapatkan rumah secepatnya ..." kedua orang tuanya kembali berdebat dan sakit di kepala Noura semakin terasa.

"Noura?" suara Kak Dimas membuat Noura mengangkat kepalanya dan melihat kakaknya yang berdiri di ujung lorong. Mungkin ia terbangun karena suara perdebatan kedua orang tuanya. "Ayo masuk ke kamar." Kak Dimas memanggil Noura kembali. Noura hanya mengangguk lesu, seandainya saja ia bisa seperti Kak Dimas yang terlihat lebih tegar menghadapi perceraian kedua orang tuanya.

Noura bersyukur Kak Dimas berada di sebelahnya saat ini, membantunya melewati hari-hari menjelang sidang cerai orang tuanya, tapi tidak seperti Noura yang akan terus bertahan hingga akhir, melihat salah satu orang tuanya pergi dan ia sendiri ikut tinggal dengan orang tuanya yang lain. Bila semester baru di mulai, Kak Dimas akan pergi meninggalkannya sekali lagi dan ia akan kembali sendiri.

*** 

Ini mungkin akan menjadi terakhir kalinya Noura melihat Papa sebelum Papa tinggal di kota lain. Papa duduk di hadapan Noura melihat Noura menikmati segelas es krim yang dingin membeku, mungkin Papa tidak tahu kalau Noura sekarang sedang pilek dan tidak bisa memakan es krim. Noura tetap diam menikmati es krimnya, mungkin ini cara Papa untuk mengenang kembali masa-masa dimana saat itu hanya ada Papa, Mama, Kak Dimas dan Noura. Mereka sering duduk di sini, menikmati segelas es krim bersama di tempat yang sama.

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang