Namanya Angkasa. Orang-orang lebih memilih memanggilnya Asa. Seperti namanya, orang tua Asa menggantungkan harapan mereka ke Asa setinggi langit, setinggi angkasa. Uniknya, Angkasa diterima sebagai calon pilot di salah satu sekolah pilot negeri yang terletak di Banyuwangi.
Asa yang biasanya paling bijaksana dalam menghadapi berbagai persoalan kini diam tergugu tidak mampu berkata-kata lagi.
"Jadi?" Aku menunggunya berbicara, menjelaskan sesuatu, apa saja ... setidaknya bukan keheningan yang tidak jelas seperti saat ini.
"Gimana rasanya Ge?"
"Ya biasa aja. Cepat atau lambat kan harus mempersiapkan mental." Aku tertawa kecil yang juga dibalas tawa miris Asa.
"Iya sih." Asa bergumam kembali.
"Kalian kenapa putus emang?" Mereka pacaran lima tahun, lalu Asa memutuskan untuk menyudahi hubungan itu tanpa alasan yang jelas. "Udah pacaran lama, udah saling kenal."
"Kita nggak menginginkan hal yang sama." Punggungku menegak mendengar penuturan Asa.
"Lu baru curhat masalah ini." Tanganku yang mengenggam ponsel sedikit bergetar. "Kalian nggak menginginkan hal yang sama?"
"Jarak. Waktu. Begitu banyak hal yang terlewatkan selama gue belajar di Banyuwangi." Asa mengucapkannya perlahan. "Gue menyadari kita udah nggak menginginkan hal yang sama. Gue masih mau sekolah, dia udah siap nikah."
"Lu nggak siap nikah?"
"Belum. Sekarang aja masih belum. Gue belum kerja, baru aja selesai sekolah." Asa mendesah keras. "Susah ya jadi cowok. Harus siap ini itunya, siap mental aja nggak cukup. Harus siap ekonomi juga."
"Oh ... " Aku hanya bisa terdiam mencerna perkataannya, teringat perkataan Juan beberapa hari yang lalu. Nyaman aja gak cukup. They need to share the same dream, they need to want the same things.
"Dua tahun di Banyuwangi, gue sadar lingkaran kita udah beda. Gue dengan cita-cita gue, dia dengan teman-temannya. Jarak dan waktu memisahkan kita."
"Tujuan kalian udah beda? Padahal masih satu Indonesia ya."
"Nah iya." Aku bisa membayangkan Asa yang tengah tersenyum di ujung sana. "Tujuan kita udah beda, cita-cita kita udah beda. Gue nggak bisa buat dia nungguin gue sampai gue siap. Itu nggak adil."
"Lu pernah nanya ke dia nggak maunya dia apa?"
Kali ini Asa terdiam cukup lama mendengarkan perkataanku. "Percuma Ge. Dia udah mau nikah."
"Bener sih. Tapi lu mutusin begitu aja tanpa tanya pendapatnya dia, maunya dia gimana."
Aku mendengar tawa miris Asa yang ku balas dengan segaris senyuman yang tentu saja tidak bisa ia lihat. "Kalau lu Ge? Mau lu apa?"
"Gue? Kok jadi gue?"
"Jadi mau kamu apa?" Asa bertanya kembali.
"Hmm ... " Aku memikirkannya sejenak lalu tertawa kecil. "Gue mau semuanya jadi lebih sederhana."
Sekarang aku tahu Juan dapat ide darimana untuk kata-katanya waktu itu. Juan oh Juan. Pantas saja bocah itu tiba-tiba dapat ilham tidak terduga.
***
Pamungkas - I Love You But I'm Letting Go
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Letter
Short Story"Do you know that words can cuts deeper than the knives?"