Tentang Asa

1.2K 204 6
                                    

asa : [n] harap(an); semangat: ia sudah putus -- dl menghadapi persoalan itu

"Lebih baik kita jaga jarak saja mulai saat ini." Kamu mengucapkannya dengan tenang, tetapi bahkan matamu tak sanggup menatap langsung ke mataku.

"Baiklah." Baiklah. Aku mengucapkannya dengan getir di dalam hati. Baiklah. Terserah kamu sajalah.

"Aku harap kamu bisa bertemu dengan orang yang lebih baik lagi." Kamu lalu berbalik pergi. Kamu bahkan tak pernah membalikkan punggungmu itu hanya untuk sekedar memastikan keadaanku yang kamu tinggal pergi.

Ini tentang asa. Tentang harapan. Tentang aku. Tentang kamu. Tentang kita. Dulu.

"Apa kabar?" Kamu mengucapkannya kembali setelah nyaris setahun berlalu sejak kamu membalikkan punggungmu dan tak pernah berbalik lagi.

"..." Aku terdiam. Berusaha mencerna keberadaanmu yang berada di hadapanku. Nyatakah ini?

"Apa kabar?" Kamu mengulanginya lagi. Kali ini dengan seulas senyum di bibirmu.

"Baik." mungkin. "Kamu?"

"Aku juga baik." Kamu tersenyum lagi. Senyum yang selalu berhasil membuatku jatuh berulang kali. Lagi, lagi, dan lagi.

Kamu menghubungiku lagi. Seolah-olah tidak pernah ada jarak yang terbentang diantara kita. Bukan hanya tempat, tetapi juga waktu.

"Apa yang kamu lakukan setahun ini?" Kamu membuka topik yang sedikit menyinggung perasaanku.

Aku? Merindukanmu. Sembari melupakanmu, tambahku di dalam hati. "Belajar." Jawabku singkat. "Kamu?"

"Aku? Aku merindukanmu." Kamu terdiam sesaat kemudian menatapku. Kenapa dulu kamu tak berani menatapku?

"..." Aku terdiam kemudian memalingkan wajahku ke arah lain. Sungguh? Kenapa kau datang kembali?

Kamu seperti bintang jatuh. Membuatku berharap.

Dengan secangkir teh dan kopi hitam yang terkepul hangat di cangkir. Rinai hujan yang menari-nari dibalik jendela kaca bening.

"Sekarang kamu suka minum kopi hitam?" Kamu bertanya. Garis-garis halus terbentuk di sudut matamu. Garis-garis yang selalu terbentuk ketika kamu tersenyum atau tertawa geli.

"Iya." Aku mengangguk ragu-ragu kemudian meraih kopi hitam itu lalu menyesapnya sedikit.

"Kukira kamu suka teh?" Itu dulu. Karena itu minuman favoritmu. Kamu meraih sesendok gula lalu memasukkannya ke dalam cangkir teh yang masih terkepul hangat. Bulir-bulir gula itu berlarian masuk ke dalam cairan berwarna pekat dengan aroma chamomile hangat yang menenangkan.

"Nggak lagi." Lagi-lagi aku meraih kopi hitam yang tersaji kemudian menyesapnya pelan. Berusaha menenangkan detak jantungku yang tak menentu karena mendengar suaramu lagi.

"Kenapa harus kopi?" Kamu bertanya lagi. Kenapa harus kopi? Karena rasa pahit kopi bisa mengalihkan rasa sakitku.

"Kenapa bukan kopi?"

"Kamu berubah sekarang."

"..." Aku terdiam. Dalam setahun, tiap orang bisa berubah menjadi apa saja. Dulu aku suka yang manis-manis, sekarang tidak lagi. Kamu juga berubah, kamu bukan orang yang kusukai dulu. Seandainya saja, setahun yang dulu kamu sempat berbalik. Mungkin aku masih menyukaimu.

Dulu. Dulu. Seandainya dulu ...

Bagimana pun, ada beberapa hal yang tidak bisa kita dapatkan kembali.

Salah satunya, waktu.

"Kamu juga berubah.." Dibalik detak jantungku yang bertalu-talu, samar-samar aku bisa mendengar lagu favorit kita dulu.

Well you only need the light when it's burning low

Only miss the sun when it starts to snow

Only know you love her when you let her go

Only know you've been high when you're feeling low

Only hate the road when you're missin' home

Only know you love her when you let her go

And you let her go

Mungkin sekarang kamu sedang berada di titik jenuh. Kamu merindukanku ketika kamu tak memiliki seorang pun untuk merindukanmu.

"Aku berubah di bagian mananya?" Gerak badanmu tak lagi sesantai saat kita berpapasan tadi.

Kamu yang dulu adalah orang yang ku sukai. "Kamu makin tinggi sekarang." Aku mengabaikan kata hatiku yang terus berteriak agar tidak jatuh dan kembali mengenang masa-masa itu. Di saat kamu dan aku adalah kita.

"Kamu udah ketemu orang yang lebih baik sekarang?" Kamu bertanya dengan resah. Kenapa? Bukankah kamu dulu yang memintaku, bahkan menyuruhku mencari orang yang lebih baik?

Aku mengangguk. Wajahmu pias, pucat. Meskipun kamu berusaha menyembunyikannya dengan segala cara. "Aku akan menikah bulan depan. Ini undangannya." Aku menyerahkan sebuah amplop berwarna krem dan emas. Namaku dan dia tertulis jelas di sampulnya.

"Ka-kamu.." Kamu menatap tak percaya ke arah amplop itu.

"Aku harap kamu bertemu yang lebih baik." Aku segera bangkit berdiri. Meskipun hujan masih menari di luar sana. Meskipun teh mu masih terkepul hangat dan belum habis separuhnya. Kali ini aku menatap langsung ke matanya, lalu menepuk bahunya sekilas sebelum pergi dan tak berbalik lagi.

*****

Dedicated to my friend VenusMars yang memberikanku ide tentang Ge dan Na, juga inspirasiku untuk Tentang Hujan, kali ini Tentang Asa.

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang