Selama ini aku berada dalam ruang sepi
Lalu kamu hadir membawa secercah bahagia.
Dan hidupku sudah tak lagi sama.---
"Ketika lo menjadi temen gue, lo akan melihat sisi dunia yang berbeda, mungkin belum pernah lo tau sebelumnya. Tenang, semuanya akan berkesan buat lo."
Tettt ... Tettt ... Tett
Bel pertanda masuk terdengar nyaring, meskipun ruang ini berada di pojok. Tapi suara bel masih bisa terdengat cukup jelas. Saya tidak mengatakan apapun kepada Naomi. Keputusan saya sudah bulat, tidak menerima pertemana dari siapapun. Termasuk Naomi.
Iya, saya tahu, saya egois.
Tapi itulah prinsip hidup saya. Tidak ada yang bisa mengubahnya.
Saya berlalu meninggalkan Naomi di belakang, sempat terdengar helaan nafas. Mungkin ia kecewa, karena untuk kedua kali usahanya gagal, meminta saya menjadi temannya.
Jarak antara gudang ke kelas cukup jauh, membutuhkan waktu sepuluh menit, apalagi harus menaiki tangga karena kelasnya berada di lantai dua. Semoga saja belum ada ada guru yang masuk mengisi pelajaran jam ketiga.
Saya tidak tahu, apakah Naomi menyusul atau tidak di belakang? Saya meninggalkan dia tanpa sepatah kata.
Sesampainya di kelas, pintunya sudah tertutup. Sepertinya sudah ada guru yang masuk, lagi-lagi saya terlambat. Dan penyebabnya adalah Naomi.
Gadis itu benar-benar membuat saya, seharian ini menjadi sial. Jam tangan berwarna hitam di pergelangan tangan saya menunjukan saya terlambat 13 menit.
Tiba-tiba terdengar langkah terburu-buru dari arah tangga. Tak lama kemudian satu hentakan kaki di pijakan terakhir. Saya melirik ke kiri, menemukan Naomi terlihat kelelahan di anak tangga teratas. Dia berhenti sejenak, menetralkan nafasnya yang tidak beraturan dan menatap sengit ke arah saya.
Saya mengendikan bahu tak acuh, siapa suruh mengajak saya pergi ke tempat yang jauh, berakhir keterlambatan.
Naomi berjalan ke arah saya, sementara itu pintu kelas dari dalam terbuka menampilkan wajah Bu Nadin dengan mata yang hampir keluar dari tempatnya.
Saya menahan nafas. Seumur-umur baru kali ini merasakan sensasi nyawa di ujung tanduk hanya karena ditatap oleh Bu Nadin, guru biologi yang tekenal dengan galak, cerewet, sangar dan tatapan mautnya, siapapun yang melihat, bisa pingsan di tempat. Semoga saya tidak termasuk orang-orang itu.
Naomi berdiri di depan saya, tatapan Bu Nadin beralih pada Naomi. Dan gadis itu malah memasang wajah tanpa dosa. Menampilkan deretan gigi putihnya lantas melambaikan tangan.
"Kalian habis dari mana?!" tanya Bu Nadin dengan nada tinggi, berkacak pinggang menusuk kita dengan tatapannya.
"Habis istirahat, Bu." Jawab Naomi membuat saya geram. Apalagi Bu Nadin, sepertinya jika di film-film terdapat animasi wajah memerah dan asap mengepul dari kepalanya, kareba wanita berusia 37 tahun itu hampir menelan Naomi bulat-bulat.
"SAYA TAU!" katanya tegas.
Naomi mengangguk, cengiran kembali dilontarkan, sama sekali tidak ada rasa takut terhadap ekspresi Bu Nadin.
"Iya, kan sekarang udah masuk. Jadi kita boleh bergabung, kan?" tanya Naomi masih dengan tampang tidak berdosanya, saya hanya menatap lurus ke depan. Tidak mau ikut campur dengan mereka.
Melakukan pembelaan? Oh tentuk tidak.
"Siapa yang nyuruh?" Bu Nadin melipat tangan di atas perutnya . Dia menunjuk Naomi dengan dagunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Lurus
Teen FictionGaris Lurus. Jika Jarak tanpa tepi, maka garis lurus yang menjadi akhir dari segalanya. Namun, sebelum hari akhir itu tiba. Bisakah Saya merasakan kembali apa itu cinta. Meski Saya tidak yakin, cinta itu ada setelah Ibu dan adik perempuan Saya per...