1. Pertemuan yang buruk

36 5 0
                                    

Pada hari yang panjang dan melelahkan
Aku mengumpulkan hatiku yang dipenuhi dengan helaan nafas
Hari ini dan besok, aku akan bangun lagi
Dan hidup sepanjang hari
[D.o Crying out]


Saya benci sekolah. Tempat dimana menemukan banyak orang, namun penuh dengan kepalsuan. Drama. Pertemanan yang rumit, kisah cinta yang jadul. Katanya untuk mengukir kenangan di masa putih abu-abu. Di masa depan kita akan bercerita bagaimana manisnya masa itu. Sayang, tidak berlaku untuk saya.

Masa SMA adalah masa penentuan masa depan, jika diwaktu itu kita berleha-leha belum menemukan tujuan hidup, ketika waktu berakhir, kita akan terbawa arus kehidupan. Entah sesuai dengan harapanmu atau berbanding terbalik.

Mungkin jika kontrak hidup saya di dunia ini diberi sedikit lebih lama lagi, harapan Saya cuman satu.

Ingin bertemu dengan adik perempuan saya yang telah lama menghilang. Waktu itu, sepulang dari pemakamanan mendiang Ibu, Naura—nama adik saya, dibawa oleh Tante dan Paman ke Jakarta. Sementara Saya ditingal bersama Ayah di Bogor karena laki-laki itu tidak mau berpisah dengan anak laki-lakinya.

Alasan Ayah memberikan Naura, tak lain adalah karena Adik perempuan saya sangat cengeng, tidak mau berhenti menangis jika bukan karena Ibu. Waktu itu, Naura menangis histeris ketika melihat jasad Ibu di kebumikan, lantas Tante Mira datang dan merengkuh tubuh mungil Naura. Tanpa diduga, Naura berhenti menangis dan menautkan jemarinya di pundak Tante Mira, mungkin dia membutuhkan sosok seorang Ibu.

Maka, Ayah sepakat untuk memberikan Naura kepada Tante Mira dan Paman Edi, untuk sementara waktu menunggu Naura tumbuh sedikit besar lagi.

Namun nyatanya setelah Tante Mira membawa Naura pergi, sama sekali tidak mendapatkan kabar tentang mereka. Seperti ditelan bumi.

Padahal jarak antara Bogor dan Jakarta tidak terlalu jauh.

Sampai pada akhirnya ketika Ayah pergi ke Jakarta bersama Saya berniat menyusul Naura, rumah yang ditempati Tante Mira dan Paman Edi terbengkalai kosong tanpa penghuni, dari situlah kita benar-benar kehilangan harapan untuk bertemu Naura.

Waktu terus bergulir selama dua bulan kita tinggal di Jakarta, Ayah bekerja serabutan dan Saya memulung barang rongsokan untuk dijual dan mendapatkan uang pecahan seribu.

Kita benar-benar hidup susah saat itu, hingga akhirnya Ayah bertemu dengan seorang Wanita kaya sedang frustasi karena ditinggal pergi suaminya dari dunia, siapa sangka jika Suaminya itu mirip dengan Ayah saya, seperti mendapatkan setitik cahaya di hidup mereka. Simbiosis mutualisme. Ayah menginginkan kehidupan sejahtera dengan berkecukupan sementara Wanita itu mendapatkan kembali sosok Suami seperti prianya dahulu.

"Ayah sangat mencintai ibumu, tapi kita tidak bisa hidup seperti ini terus, Gemintang. Kamu harus sekolah, mendapatkan masa depan yang lebih baik dari sekarang," kata Ayah dulu sewaktu Saya bertanya mengapa ia mau menikah dengan Wanita itu.

Saat itu Saya masih terlalu kecil untuk membantah, padahal tidak masalah kita hidup susah namun bersama-sama, tidak mengapa saya tidak sekolah tapi sikap Ayah tidak berubah.

Sekarang, Saya bukan hanya kehilangan Ibu dan Naura, melainkan Ayah juga. Karena selepas ia menikah dengan istrinya barunya itu, ia sangat berubah. Tidak seperti Ayah yang dulu.

Sibuk tak punya waktu, menjadi tidak peduli apapun tentang Saya. Hingga Saya tumbuh menjadi laki-laki dewasa berumur 18 tahun, Ayah tetap menjadi asing, sepertinya untuk selamanya.

Garis Lurus Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang