Lo harus tahu, kenapa gue pindah ke sekolah ini? Yang pertama karena gue pintar. Yang kedua, saking pintarnya gue, kepala sekolah angkat tangan dan mengeluarkan murid pintarnya ini.
—Naomi Alma Kanendra—
"Lo nggak usah terkejut dengan aksi gue, ini belum seberapa," ungkap gadis itu sambil melompat turun.Beruntungnya perpustakaan sedang sepi sehingga aksinya tidak menimbulkan kericuhan. Murid baru sudah bikin onar. Yang benar saja. Dia berdiri di depanku, memberikan bungkus snack kentang yang masih tersisa setengah lagi.
"Hidup lo, jangan terlalu garing. Keripik enak. Lah lo, bikin perut gue tambah mules," katanya tidak nyambung. Apa urusanya hidup saya dengan hidup dia. Bukankah kita adalah sepasang orang asing yang akan tetap menjadi asing selamanya.
"Dari pertemuan pertama kita, gue udah nebak karakter lo. Flat, garing, dingin dan... Ah membosankan." Dia terlihat seperti menghitung menggunakan jemari-jemari lentiknya.
"Gue tebak lagi, sepertinya lo nggak punya teman sama sekali. Selain buku-buku tebal lo itu."
"Bukan urusanmu!" jawab saya cepat
"Kalo lo nggak punya teman, gue siap jadi teman lo." Dia memasukan tangannya ke saku rok selututnya.
"Saya tidak peduli."
Untuk apa mempunyai teman, jika suatu hari nanti mereka yang katanya 'teman' akan saling melupakan dan meninggalkan.
"Ouh begitu ya." Sekarang, dia melipat tangannya di atas dada.
"Tapi gue mau jadi temen lo. Gimana?"
Saya berdecih, penawarannya sangat tidak menarik. Asal kalian tahu, dia bukanlah orang pertama yang menawarkan pertemanan. Dan jawabanku tetap sama: TIDAK.
Saya tidak mau berteman dengan siapapun.
"Oke, gue tahu jawabannya. Karena lo diem berarti lo setuju," katanya membuat saya membulatkan mata. Gadis ini benar-benar membuat Saya emosi.
"Jika alasan kamu mau berteman dengan saya, hanya karena kamu belum mempunyai teman. Saya bisa mencarikan teman untukmu."
"Wow! 18 kata, gue baru mendengar lo ngomong sepanjang ini." Reaksi yang tertuga, dia malah tertawa. Padahal seingat saya, pertemuan kita di pagi hari, sudah terlalu banyak mengeluarkan kosa kata untuknya. Hanya untuk memarahinya.
"Saya tidak peduli!"
"Hahhaa! Seorang Gemintang adalah cowok teraneh yang sering mengatakan satu kalimat 'Saya tidak peduli' kaku, garing dan memiliki teman setianya yaitu buku dan ... earphone," ungkap gadis itu sembari mencopot earphone di telinga kiri Saya. Kontan saya terkejut untuk kesekian kali. Berani-beraninya dia menyentuh anggota tubuh orang lain, padahal dia bukan siapa-siapa, hanya orang baru yang sebentar lagi akan menghilang.
"Oh ya nama gue Naomi, jangan panggil gadis itu, gadis ini. Panggil gue Na-o-mi. Oke?" saya hampir tersedak saliva sendiri mendengar pengakuan gadis, ralat, Naomi. Darimana dia bisa tahu jika saya selalu menyebutnya 'gadis itu'
"Terlihat sekali dari sini." Dia menyentil kepala saya.
Lantas dia tertawa, dia tidak mempedulikan jika di perpustakaan dilarang bersuara, lebih tepatnya berisik.
"Hey, siapa itu?" teriak penjaga perpustakaan.
Saya langsung membubarkan diri, menjauhi Naomi. Hari ini, sudah terlalu benyak masalah yang disebabkan oleh dia.
Siapa sangka jika Naomi menarik tangan Saya, lalu membawa lari ke luar perpustakaan. Dia benar-benar gadis yang tidak bisa ditebak.
"Hei, kamu mau bawa saya kemana?" tanya saya, masih dalam keadaan berlari. Dia membawa saya menuju halaman belakang sekolah, saya pikir akan berhenti ketika melihat bunga-bunga yang tumbuh di sepanjang halaman. Bukankah perempuan sangat menyukai bunga?
Tapi perkiraan saya salah, justru Naomi membawa saya ke sebuah ruang yang terbengkalai, bisa dikatakan gudang sekolah. Padahal sebelumnya ruang itu pernah dijadikan kelas.
Dia berhenti, nafasnya terengah. Lantas melepaskan tangan saya dari genggamanannya.
"Lo tau tempat ini apa?" tanyanya.
"Gudang sekolah, memangnya apalagi," jawab saya cuek.
"Bukan hanya itu, nanti lo bakal liat, sesuatu yang tersembunyi di dalam gudang itu."
Saya berdecak malas. Apa lagi, selain tikus-tikus yang bersembunyi di dalam gudang itu? Nggak mungkin ada harta karun, ini dunia nyata bukan cerita. Yang bisa dikarang oleh penulisnya. Saya hendak berlalu, tapi Naomi membuka pintu gudang sehingga ruang itu terbuka sempurna.
Naomi melangkah masuk, sementara saya masih mematung di tempat semula. Terheran-heran, kenapa gudang itu tidak dikunci?
"Lo yakin, nggak penasaran sama sekali?" tanyanya membalikan badan menghadap saya.
Saya menghembuskan nafas, mengapa gadis seperti dia diciptakan tanpa memiliki ketakutan sama sekali terhadap keputusan yang diambil.
"Saya tidak peduli."
Naomi tertawa, padahal saya mengatakan kalimat itu dengan serius sama sekali tidak mengadung hal lucu.
"Lo bener-bener kaku," ucapnya masih tertawa. "Tapi gue suka," tutupnya.
Saya diam mematung tatkala mendengar kalimat akhirnya. Apa maksud Naomi, suka dalam artian apa?
"Hm ... Sudah lupakan, mata lo biasa aja kali. Jangan sampe keluar gitu." Naomi menunjuk tepat pada mata saya.
Gadis itu kembali membalikan badan, berjalan menyusuri sudut ruangan. Saya masih berada di posisi semula hanya sedikit lebih maju, tepat di ambang pintu. Saya memutuskan untuk memperhatikan Naomi dari jarak cukup jauh.
Naomi menghentikan langkah tepat di sebuah benda yang tertutup kain berwarna putih. Lantas ia sibakan hingga debu-debu berterbangan, Naomi menutup hidung.
Benda yang tertutup kain tadi, kini terlihat sempurna, saya menekan kacamata agar penglihatan ini lebih jelas lagi.
Sebuah piano usang.
Naomi menatap piano di depannya dengan berdecak kagum, tidak sabaran dia menekan tuts-nya hingga terdengar denting nada 'Do re mi'.
Piano itu masih berfungsi.
Saya menghampiri Naomi, sedikit penasaran dengan piano itu, mengapa pihak sekolah menyimpan alat musik yang masih berfungsi? Dari fisiknya mungkin terlihat jadul, tulisan di tuts-nya memudar. Selebihnya piano itu masih bagus.
Mata saya pun menelusuri setiap sudut ruangan, terdapat kain-kain putih yang menutupi benda di dalamnya.
"Benar kan, kata gue. Jika ruang ini bukan hanya sekedar gudang," ucap Naomi berdecak kagum.
Saya pun menyetujuinya, tentu dikatakan di dalam hati.
"Gue yakin, masih ada beberapa yang menakjubkan yang bisa didapatkan di ruang ini."
"Gimana, lo mau berteman dengan gue? Cara gue berteman dengan seseorang mungkin terlihat berbeda. Dan satu fakta yang harus lo tau dari gue." Naomi menatap Saya.
Terdengar menarik, apa yang akan dia lakukan ketika berteman dengan saya, sesuatu yang berbeda, Apa maksudnya?
"Lo harus tahu, kenapa gue pindah ke sekolah ini. Yang pertama karena gue pintar. Yang kedua, saking pintarnya gue, kepala sekola angkat tangan dan mengeluarkan murid pintarnya ini." kata Naomi berapi-api. Dia terlalu percaya diri.
"Ketika lo menjadi temen gue, lo akan melihat sisi dunia yang berbeda, mungkin belum pernah lo tau sebelumnya. Tenang, semuanya akan berkesan buat lo."
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Lurus
Teen FictionGaris Lurus. Jika Jarak tanpa tepi, maka garis lurus yang menjadi akhir dari segalanya. Namun, sebelum hari akhir itu tiba. Bisakah Saya merasakan kembali apa itu cinta. Meski Saya tidak yakin, cinta itu ada setelah Ibu dan adik perempuan Saya per...